Mohon tunggu...
Humaniora

Vox Habib Vox Dei

25 Februari 2017   16:04 Diperbarui: 25 Februari 2017   16:47 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mari hilangkan label agama kita, mari hilangkan label keimanan kita masing-masing, mari kita memakai akal pikiran dan logika kita masing-masing dalam membaca tulisan ini.

Apakah seseorang dinilai benar salah atau baik buruk karena KEDUDUKANNYA, ataukah karena UCAPAN dan PERBUATANNYA?” Lebih jauh lagi kita dapat persempit sebagai, “Sudahkah kita mengukur seseorang dari perbuatan dan ucapannya TANPA melihat LABELNYA?

Saat seseorang berlabel presiden yang disanjung rakyat negaranya, membuat sebuah keputusan yang merugikan negara lain; seperti misalnya, membom negara lain; apakah dia menjadi BENAR HANYA karena rakyat negaranya mengagungkannya sebagai presiden? Apakah setiap perbuatannya LANTAS BENAR, hanya karena dia merupakan seorang presiden?

Saat seorang pendeta membuat keputusan bahwa Pengampunan dosa dapat ditebus dengan “persembahan di gereja” dalam bentuk Surat, apakah keputusannya lantas benar secara umum? Dengan standar kitab suci, kita mungkin bisa mengelak bahwasannya ia benar, karena ia wakil Tuhan di dunia ini dan sebagainya dan sebagainya. Toh, kitab suci tidak dapat berubah dan relatif multitafsir (jika tidak, tentunya tak akan banyak aliran). Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana dengan mereka yang miskin dan tak mampu membeli surat tersebut?” Lebih jauh lagi, “Apakah memang benar surat tersebut adalah dari Tuhan HANYA karena pendeta tersebut mengatakan demikian?” Bullshit tentunya bila Tuhan, yang katanya Maha Baik memang menghendaki seperti itu bila dilema di atas jelas-jelas ada di depan mata.

Ini serius. Saat kita mulai membenarkan seseorang dari kedudukannya, kita bisa saja kehilangan akal sehat dan logika kita. Apakah ukuran baik buruk perbuatan seseorang diukur dari “siapa dia” dan bukan pada “baik buruk” itu sendiri? Ini memang cenderung berlebihan, but it is. Ya, it’s happening, berkaca di Indonesia baru-baru ini. Ketika perkataan seorang “pemuka agama” dipandang sebagai sebuah “perintah Tuhan”, akal dan logika kita seakan mati. Bermodalkan fanatisme terhadap satu tokoh idola, semua yang di luar itu dan tak setuju- bahkan yang berasal dari agama yang sama dipandang “hina” dan “kafir”.

Masih ingat kan untuk melepaskan label agama? Oke, lanjut. Jadi, saat ini Indonesia dihadapkan dengan masalah yang cukup serius; setidaknya menurut saya. Dan ini bisa jadi berawal dari kecenderungan beberapa, kalau tidak banyak orang dalam memandang baik buruk HANYA dari kedudukan dan status seseorang. Ini bisa dilihat dari beberapa perilaku netizen, terutama di Twitter.

Saat seorang tokoh agama berlabel “habib” menyatakan sesuatu salah, benar tanpa disertai alasan yang logis dan sesuai konteks, mengapa para pendukungnya seakan menjadi taklid buta terhadap pemimpinnya tersebut? Seakan-akan, apa yang diucapkan pemimpinnya tersebut “benar” dan “sahih”. Iya, jika pemimpinnya mengatakan “gubernur ini haram, gubernur itu gak boleh ini itu dsb.”, mengapa sebagian dari kita ngah ngeh saja mengiyakannya?

Tentu akan sangat relevan bila kita kembalikan ke analogi pendeta tadi. Alasan yang jadi dasar adalah jelas, bahwa orang tersebut paham agama dan kitabnya lebih dari orang lain. Tetapi apakah benar begitu? Apakah setiap orang bergelar “Habib”, “Pendeta” dan apapun itu- tokoh agama, selalu bisa dibenarkan HANYA karena dia dipandang mempunyai “pemahaman lebih terhadap urusan teologis”?

Bagaimana bila habibmu menyuruh kita membunuh orang lain?

Bagaimana bila Pendetamu menyuruh kau menghilangkan nyawa orang lain yang berbeda paham denganmu?

Bagaimana bila pemimpin idamanmu menyuruh kalian bunuh diri agar “cepat masuk surga” dengan membawa serta orang-orang yang dilabeli “kafir”?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun