Mohon tunggu...
Rana MahrinaAlhadar
Rana MahrinaAlhadar Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasi Pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dan Kejahatan Structural Giddens Anthony dan Kasus Penyalahgunaan Keuangan Jiwasraya

1 Juni 2023   19:23 Diperbarui: 1 Juni 2023   19:23 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

APLIKASI PEMIKIRAN PANOPTICON JEREMY BENTHAM DAN KEJAHATAN STRUCTURAL GIDDENS ANTHONY DAN KASUS PENYALAHGUNAAN KEUANGAN JIWASRAYA
 
Oleh:
Rana Mahrina Alhadar
43122010456
 
Konsep Panopticon adalah sebuah konsep penjara yang dikembangkan oleh filsuf Jeremy Bentham pada abad ke-18. Bentham merancang konsep ini dengan tujuan untuk menciptakan sebuah sistem pengawasan yang efektif di dalam institusi penjara. Pada dasarnya, Bentham menggambarkan Panopticon sebagai sebuah bangunan melingkar dengan menara pengawas di tengahnya. Bangunan ini terdiri dari sel-sel penjara yang menghadap ke arah dalam dan terbuka ke ruang sentral yang dikelilingi oleh koridor melingkar. Sel-sel ini memiliki jendela yang menghadap ke arah dalam sehingga narapidana di dalam sel tidak dapat melihat pengawas di menara pengawas, namun pengawas dapat melihat setiap narapidana di dalam sel dengan jelas.
Konsep ini didasarkan pada ide bahwa kehadiran pengawas yang konstan, meskipun sebenarnya hanya ada satu atau dua pengawas, dapat mempengaruhi perilaku narapidana secara signifikan. Narapidana akan merasa terus-menerus diawasi dan tidak tahu kapan mereka sedang diamati, sehingga mereka cenderung untuk selalu mematuhi aturan dan tata tertib yang ditetapkan oleh pengawas. Dalam pandangan Bentham, Panopticon adalah alat yang kuat untuk mengatur perilaku manusia. Ia berpendapat bahwa sistem seperti ini dapat diterapkan tidak hanya dalam penjara, tetapi juga dalam berbagai institusi sosial seperti sekolah, rumah sakit, pabrik, dan bahkan masyarakat secara keseluruhan. Bentham meyakini bahwa keberadaan Panopticon akan mendorong masyarakat untuk menginternalisasi aturan-aturan sosial dan mengarahkan mereka untuk berperilaku yang dianggap sesuai. Meskipun Bentham merancang konsep ini pada abad ke-18, implementasi nyata dari Panopticon yang sepenuhnya sesuai dengan visinya tidak pernah terwujud. Namun, gagasan Panopticon telah mempengaruhi berbagai disiplin ilmu, termasuk sosiologi, filsafat, dan studi budaya, dalam kaitannya dengan pemikiran tentang kekuasaan, pengawasan, dan kontrol sosial.
Istilah "Panopticon" sendiri berasal dari kata Yunani "panoptes," yang berarti "yang melihat semuanya." Konsep ini didasarkan pada prinsip bahwa pengawasan yang efektif dapat menciptakan kontrol sosial yang lebih baik. Bentham memandang bahwa tahanan yang hidup dalam ketakutan dan keyakinan bahwa mereka selalu diamati akan mengatur perilaku mereka sendiri tanpa harus ada pengawasan fisik yang berkelanjutan. Dalam rancangan arsitektur Panopticon, sel-sel tahanan dikelilingi oleh serangkaian koridor dengan jendela yang menghadap ke pusat penjara, di mana seorang pengawas berada. Jendela-jendela ini memungkinkan pengawas untuk melihat ke dalam sel-sel tanpa tahanan dapat melihat pengawas secara langsung. Sebagai hasilnya, tahanan merasa selalu diamati, tetapi tidak pernah tahu kapan mereka sedang diamati, menciptakan suatu atmosfer kontrol yang terus-menerus.
Konsep utama yang terkandung dalam Panopticon adalah pemantauan sentral dan keadaan tak terduga. Pemantauan sentral mengacu pada adanya pusat pengawasan yang memiliki kemampuan untuk mengamati individu atau kelompok secara terpusat. Dalam konteks Panopticon, pengawas berada di pusat menara, sementara individu yang diamati berada di sekelilingnya. Pusat pengawasan dapat menggunakan kamera pengawasan, sensor, atau teknologi pemantauan lainnya untuk melacak dan mengawasi aktivitas individu. Keadaan tak terduga dalam Panopticon menciptakan rasa ketidakpastian kapan individu sedang diamati secara langsung atau tidak. Individu yang berada dalam lingkungan Panopticon tidak pernah tahu kapan mereka sedang diamati secara aktif. Hal ini menciptakan perasaan konstan bahwa mereka mungkin selalu diawasi, bahkan ketika pengawas tidak ada secara fisik. Efek psikologis dari keadaan tak terduga adalah individu menjadi sadar akan kemungkinan pemantauan yang konstan dan mulai mengatur perilaku mereka sendiri untuk mematuhi aturan dan norma yang diharapkan.
Panopticon menyoroti bagaimana adanya pemantauan yang terus-menerus dapat menciptakan perasaan disiplin internal dan pengawasan diri pada individu yang diamati. Konsep ini telah diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk institusi penjara, pendidikan, dan tempat kerja. Namun, penting untuk mencermati isu-isu privasi, kebebasan individu, dan penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin timbul dalam penerapan Panopticon dalam kehidupan nyata. Salah satu aspek penting dari konsep Panopticon adalah kekuasaan yang terkandung di dalamnya. Dalam struktur Panopticon, kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh individu atau institusi yang melakukan pemantauan, tetapi juga oleh individu yang menjadi objek pemantauan. Individu yang diamati menjadi terpapar pemantauan dan pengawasan yang konstan, yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku mereka. Aspek penting lainnya adalah internalisasi pengawasan. Dalam Panopticon, individu cenderung menginternalisasi pemantauan yang ada di sekitar mereka. Mereka mengatur perilaku mereka sendiri dengan asumsi bahwa mereka selalu diawasi, bahkan jika tidak ada pengawas yang nyata. Oleh karena itu, pemantauan eksternal yang mungkin berubah menjadi pemantauan internal yang mengatur perilaku individu.
Aplikasi pemikiran Panopticon Jeremy Bentham telah menjadi subjek diskusi dan analisis oleh banyak para ahli dalam berbagai bidang. Berikut adalah beberapa pendapat yang diajukan oleh para ahli tentang aplikasi pemikiran Panopticon:
1. Michel Foucault: Foucault adalah salah satu ahli yang paling terkenal dalam menganalisis konsep Panopticon. Menurut Foucault, Panopticon adalah representasi dari kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat modern. Ia menganggap Panopticon sebagai bentuk disiplin yang menghasilkan pengawasan internal dan pengaturan perilaku individu.
2. David Lyon: Lyon, seorang ahli dalam studi tentang surveilans dan masyarakat digital, mengaitkan konsep Panopticon dengan era digital. Menurutnya, teknologi pemantauan dan pengumpulan data yang terus berkembang dalam era digital menciptakan lingkungan yang mirip dengan Panopticon. Ia berpendapat bahwa pemantauan elektronik dan pengumpulan data dalam kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan efek Panopticon, di mana individu merasa selalu terpantau dan mengatur perilaku mereka sendiri sebagai respons.
3. Mark Poster: Poster menyajikan pandangan kritis tentang aplikasi Panopticon dalam masyarakat digital. Ia berargumen bahwa dalam era digital, pemantauan bukan hanya dilakukan oleh pemerintah atau institusi kekuasaan, tetapi juga oleh individu lain dalam bentuk pengawasan sosial dan pengumpulan data oleh perusahaan teknologi. Ia menekankan perlunya kesadaran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran privasi dalam konteks aplikasi Panopticon.
4. Thomas Mathiesen: Mathiesen, seorang ahli teori penjara dan kontrol sosial, berpendapat bahwa aplikasi Panopticon dalam sistem penjara memiliki efek yang merugikan. Menurutnya, pemantauan yang terus-menerus dalam sistem penjara dapat menyebabkan penurunan harga diri, penekanan, dan pemiskinan sosial bagi tahanan. Ia menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam sistem hukuman untuk menghindari efek negatif dari aplikasi Panopticon.
Jeremy Bentham mengembangkan teori Panopticon dengan tujuan untuk menciptakan sebuah model penjara yang efisien dan efektif dalam menjaga keamanan dan mengurangi kejahatan. Dia percaya bahwa dengan menggunakan desain arsitektur yang khusus, sistem pengawasan yang terpusat, dan perasaan konstan dari individu bahwa mereka selalu terpantau, Panopticon dapat mencapai pengendalian yang optimal terhadap para narapidana. Bentham mendasarkan teorinya pada pandangan utilitarianisme yang dia anut, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat dianggap sebagai tujuan utama. Menurutnya, dengan memberikan kepastian bahwa setiap tindakan akan diamati dan diawasi, individu akan merasa terancam oleh kemungkinan penangkapan dan hukuman, sehingga mencegah mereka melakukan tindakan kriminal.
Bentham juga melihat potensi aplikasi Panopticon di luar konteks penjara. Dia berpendapat bahwa prinsip pengawasan dan pemantauan yang terkandung dalam Panopticon dapat diterapkan pada institusi pendidikan, pabrik, rumah sakit, dan bahkan masyarakat umum. Dia percaya bahwa pengawasan yang terus-menerus dapat menciptakan disiplin dan menghasilkan individu yang lebih taat terhadap aturan dan norma. Dalam hal ini, motivasi utama Jeremy Bentham dalam menciptakan teori Panopticon adalah untuk mencapai kontrol sosial dan mengurangi kejahatan melalui pemantauan dan pengawasan yang intensif. Meskipun Panopticon belum pernah dibangun dalam bentuk fisik yang lengkap, konsep dan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Bentham tetap menjadi subjek studi dan analisis yang relevan dalam bidang filsafat, sosiologi, dan teori sosial. Teori lain yang menarik untuk dibahas dan menyangkut tentang kemanusiaan adalah teori kejahatan strukturan oleh Anthony Giddens.
Kejahatan struktural adalah konsep yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog terkenal, yang menghubungkan kejahatan dengan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari struktur sosial yang ada. Dalam perspektif ini, kejahatan bukan hanya tentang individu yang melanggar hukum, tetapi juga tentang ketimpangan dan ketidakadilan yang terkait dengan sistem dan institusi yang dominan dalam masyarakat. Giddens berpendapat bahwa kejahatan struktural terkait erat dengan ketimpangan kekuasaan dan akses sumber daya dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada praktik-praktik ilegal, amoral, atau merugikan yang dilakukan oleh perusahaan, institusi keuangan, atau individu yang berdampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu contoh kejahatan struktural yang dikemukakan oleh Giddens adalah kejahatan ekonomi. Ini melibatkan praktik-praktik ilegal atau tidak etis yang terjadi dalam ranah ekonomi, seperti penipuan, insider trading, atau korupsi korporat. Kejahatan ekonomi sering kali melibatkan orang-orang dengan kekuatan dan sumber daya yang lebih besar yang mengeksploitasi orang lain atau merugikan masyarakat. Kejahatan lingkungan adalah contoh lain dari kejahatan struktural. Praktik-praktik industri atau kebijakan pemerintah yang merusak lingkungan hidup dapat dianggap sebagai bentuk kejahatan struktural. Ini meliputi pencemaran air atau udara, deforestasi ilegal, atau penangkapan ikan berlebihan. Kejahatan lingkungan merugikan ekosistem dan juga mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kejahatan struktural juga terkait dengan ketimpangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Ketidakadilan struktural dalam distribusi kekayaan, kesempatan, atau akses ke sumber daya dapat menciptakan ketegangan dan ketidakstabilan yang berpotensi memunculkan kejahatan. Contoh-contoh kejahatan yang terkait dengan ketimpangan sosial dan ekonomi termasuk kejahatan kemiskinan, perampokan, atau kekerasan yang terkait dengan ketidaksetaraan.
Giddens menggarisbawahi pentingnya memahami kejahatan sebagai produk dari struktur sosial yang lebih luas, bukan hanya sebagai perilaku individu yang devian atau melanggar hukum. Dalam perspektif ini, solusi untuk mengurangi kejahatan struktural melibatkan perubahan dalam struktur sosial yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan, seperti mengurangi kesenjangan ekonomi, memperkuat regulasi ekonomi, dan meningkatkan akses ke sumber daya bagi semua anggota masyarakat.
Teori Struktural oleh Anthony Giddens adalah kerangka pemikiran dalam sosiologi yang menghubungkan struktur sosial dengan tindakan individu. Giddens mengembangkan teori ini sebagai upaya untuk mengatasi pemisahan antara struktur sosial yang dianggap membatasi individu dan aksi individu yang dianggap independen dari struktur. Menurut Giddens, struktur sosial adalah pola hubungan sosial, aturan, norma, dan institusi yang membentuk tindakan individu dalam masyarakat. Struktur sosial memberikan batasan, peran, dan ekspektasi yang mengarahkan perilaku individu. Namun, Giddens menekankan bahwa struktur sosial juga terbuka untuk interpretasi dan perubahan oleh individu melalui aksi mereka.
Giddens memperkenalkan konsep "dualitas struktur" yang mencerminkan hubungan dinamis antara struktur sosial dan aksi individu. Menurutnya, struktur sosial tidak hanya membatasi individu, tetapi juga memberikan sumber daya, kesempatan, dan pemahaman yang memungkinkan individu untuk bertindak. Sebaliknya, aksi individu juga membentuk dan memodifikasi struktur sosial melalui praktik-praktik sehari-hari mereka. Dalam teori Struktural, Giddens juga memperkenalkan konsep "keterlibatan" (engagement), yang mengacu pada interaksi antara individu dan struktur sosial. Individu secara aktif terlibat dalam reproduksi, transformasi, dan pembentukan struktur sosial melalui aksi mereka. Dengan kata lain, individu bukanlah hanya objek pasif dari struktur sosial, tetapi juga subjek yang berkontribusi dalam membentuk dan mengubah struktur melalui tindakan mereka.
Teori Struktural oleh Anthony Giddens menawarkan pemahaman tentang kompleksitas hubungan antara struktur sosial dan aksi individu dalam membentuk masyarakat. Dengan mengatasi pemisahan antara struktur dan aksi, teori ini menekankan pentingnya melihat individu dan struktur sosial sebagai saling terkait dan saling mempengaruhi dalam pemahaman yang lebih holistik tentang kehidupan sosial.
Pandangan para ahli tentang kejahatan struktural menurut Anthony Giddens bervariasi, dan ada berbagai interpretasi dan analisis tentang konsep tersebut. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli terkemuka:
1. David Downes: David Downes adalah seorang kriminolog yang menyatakan bahwa kontribusi Giddens terhadap pemahaman tentang kejahatan struktural adalah penting. Downes menyatakan bahwa Giddens menekankan pentingnya memahami kejahatan sebagai produk dari ketidakadilan sosial dan ketimpangan kekuasaan yang terkait dengan struktur sosial.
2. Paul Walton: Paul Walton, seorang sosiolog dan kriminolog, mengkritik teori kejahatan struktural Giddens. Walton berpendapat bahwa Giddens lebih fokus pada perubahan struktur sosial secara umum daripada pada analisis kejahatan struktural yang spesifik. Walton menyarankan agar konsep kejahatan struktural perlu dioperasionalisasikan dengan lebih jelas dan diterapkan pada studi kejahatan yang lebih konkret.
3. Mark Findlay: Mark Findlay, seorang ahli hukum dan kriminolog, mengakui kontribusi Giddens dalam mengaitkan struktur sosial dengan kejahatan. Namun, Findlay juga mencatat bahwa ada tantangan dalam mengimplementasikan konsep kejahatan struktural dalam praktik penegakan hukum. Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi kejahatan struktural, perlu adanya kolaborasi antara para penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat sipil.
4. Steve Hall: Steve Hall, seorang kriminolog, mengkritik konsep kejahatan struktural Giddens karena kurangnya fokus pada aspek kekuasaan dan ketidakadilan yang mendasari kejahatan struktural. Hall berpendapat bahwa Giddens tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap ketidakadilan sosial yang menjadi akar penyebab kejahatan struktural.
Terjadinya kejahatan tidak hanya disebabkan oleh faktor individu atau lingkungan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor struktural dalam masyarakat. Beberapa faktor struktural yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan antara lain:
1. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi: Ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan, pendapatan, dan kesempatan dapat menciptakan ketegangan sosial. Ketidakadilan sosial dan ekonomi dapat mendorong individu untuk terlibat dalam kegiatan kriminal sebagai cara untuk memperoleh sumber daya yang mereka anggap tidak adil didistribusikan.
2. Kesenjangan pendidikan: Akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas dapat menghasilkan kesenjangan pengetahuan dan keterampilan antara individu. Kurangnya peluang pendidikan yang setara dapat membatasi pilihan dan prospek individu, yang dapat mendorong mereka ke dalam jalur kejahatan.
3. Kegagalan sistem keadilan pidana: Kurangnya keadilan dalam sistem hukum dapat menciptakan rasa ketidakpercayaan terhadap otoritas dan lembaga penegak hukum. Ketidakadilan ini dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap kepatuhan hukum dan memicu perilaku kriminal.
4. Lingkungan fisik yang tidak aman: Lingkungan fisik yang kurang aman, seperti daerah dengan tingkat kejahatan tinggi, dapat menciptakan kondisi yang mempermudah terjadinya kejahatan. Kurangnya penerangan, kurangnya pengawasan, dan keberadaan kelompok-kelompok kriminal dapat meningkatkan risiko kejahatan.
5. Kekerasan dan ketidakstabilan dalam keluarga: Pola kekerasan dan ketidakstabilan dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan perilaku individu. Lingkungan keluarga yang disfungsional atau penuh kekerasan fisik atau emosional dapat meningkatkan risiko individu untuk terlibat dalam perilaku kriminal di kemudian hari.
6. Budaya yang mempromosikan kekerasan: Budaya yang memperkuat norma-norma yang mendukung kekerasan, seperti glorifikasi kekerasan dalam media atau masyarakat yang menerima kekerasan sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik, dapat mempengaruhi perilaku individu dan meningkatkan risiko terjadinya kejahatan.
Perlu diingat bahwa faktor-faktor struktural ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan saling mempengaruhi. Mengatasi kejahatan memerlukan pendekatan holistik yang mencakup intervensi di berbagai level, mulai dari individu hingga sistem sosial dan ekonomi secara keseluruhan. Kejahatan struktural merujuk pada jenis kejahatan yang muncul akibat ketidakadilan sosial, ketimpangan kekuasaan, dan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Contoh kejahatan structural seperti korupsi, kejahatan lingkungan, penipuan keuangan, pencurian kekayaan publik, kejahatan korporasi, dan pelanggaran hak asasi manusia,
Tiga hal utama tentang pembangunan, yaitu politik, ekonomi dan sosial, adalah suatu hal yang menuntut intensitas penanganan yang sungguh – sungguh serta sebuah design besar yang memiliki kompleksitas yang rumit. Terutama untuk Negara Indonesia yang dalam usaha menjejakan platform pembangunannya secara menyeluruh untuk saat ini tengah mengalami masa sulit. Dalam mengukur perekonomian suatu negara, Negara wajib memiliki satu elemen penting yaitu adanya Pasar modal di dalamnya. Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara industri yang maju mempunyai ciri yang menonjol yaitu kondisi pasar modal yang berkembang serta tumbuh dengan baik. Dalam rangka mengetahui keadaan perusahaan yang masuk pada list di Bursa Efek, kita dapat mengetahuinya melalui angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan angka IHSG ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan atau kondisi sebuah negara dalam lingkup perekonomiannya. Apabila angka IHSG menunjukan grafik yang merosot secara tajam, dapat diindikasikan bahwa ada krisis ekonomi yang sedang melanda suatu negara.
Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah dilanda krisis ekonomi, tetapi perlu kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalaminya dalam kurun waktu yang cukup lama dikarenakan fondasi perekonomiannya yang ternyata amat rapuh. Faktor penyebab yang menimbulkan keadaan tersebut adalah perilaku atau mental yang buruk dalam pengelolaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh beberapa orang yang menduduki posisi penting atau pimpinan yang ada di dalam perusahaan.
Faktanya, belakangan ini terungkap kasus yang diduga merugikan negara dengan jumlah sebesar Rp 13,7 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) dari hasil pemeriksaannya menyatakan adanya laba semu dalam pembukuan PT Asuransi Jiwasraya sekitar pada tahun 2010 – 2019 sebanyak dua kali. Pada tahun 2016 BPK mengadakan pemeriksaan dengan suatu tujuan yang terlah ditentukan. Kemudian, pada tahun 2018 BPK mengadakan pemeriksaan yang bersifat investigatif. Hasil dari pemeriksaan tersebut salah satunya adalah sejak tahun 2006, Jiwasraya melakukan pembukuan laba semu melalui akuntansi yang direkayasa sedangkan di sisi lain, perusahaan tersebut telah mengalami kerugian yang cukup signifikan. Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, menyatakan bahwa pembukuan laba yang dilakukan oleh Jiwasraya sejak tahun 2006 merupakan pembukuan laba semu, yang dilakukan dengan cara akuntansi yang di rekayasa atau window dressing, sedangkan keadaan keuangan menjelaskan bahwa perusahaannya sedang mengalami kesulitan dalam keuangannya.
Besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh penyelewengan dalam menjalankan usaha di bidang pasar modal pada kasus tersebut, menandakan sebenarnya peranan pasar modal bagi perekonomian di Indonesia sangat vital. Pasar modal akan sangat menguntungkan negara jika tidak ada penyelewengan di dalamnya. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian pada suatu negara, pemerintah serta masyarakat memiliki peranan penting dalam segi pembiayaannya. Pemasukan pemerintah untuk sebagai modal untuk pembangunan nasional berasal dari pembayaran pajak dan penerimaan lainnya. Dalam hal kegiatan investasi, masyarakat dapat memperoleh dananya melalui lembaga pembiayaan, perbankan serta pasar modal. Pasar modal merupakan salah satu pilihan alternatif bagi pemerintah maupun pihak swasta untuk melakukan pendanaan. Namun, perlu kita ketahui pasar modal memiliki sisi negatifnya yaitu adanya oknum – oknum dalam kegiatan investasi yang melakukan kejahatan “kerah putih” atau bisa disebut white collar crime yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Kejahatan “kerah putih” dilakukan dengan cara yang sempurna sehingga seseorang yang seharusnya merasakan kerugian dari kejahatan tersebut, tidak merasakan telah mengalami kerugian dikarenakan kejahatan tersebut.
Dalam kegiatan pasar modal terutama pada bagian praktiknya pasti melibatkan para pihak yang memiliki tujuan untuk memperoleh suatu keuntungan dari kegiatan tersebut. Namun dikarenakan konsep mencari keuntungan yang ada di dalam kegiatan pasar modal, seringkali terjadi kecurangan yang dilakukan oleh suatu pihak dengan memanfaatkan keadaan – keadaan bahkan melakukan pelanggaran demi tujuan memperoleh keuntungan pribadi. Pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan yang berkaitan dengan transaksi bursa efek sering disebabkan oleh lemahnya pengawasan dari pihak yang mengelola bursa maupun yang mengawasi, sehingga adanya pelanggaran yang cukup banyak terkait transaksi bursa efek dalam bentuk manipulasi, Insider Trading (Perdagangan Orang Dalam) serta false information yang sulit terdeteksi secara dini.
Pengaturan hukum di Indonesia tentang pasar modal pun telah diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada saat itu diawasi oleh kementerian keuangan melalui BAPEPAM, sehingga undang – undang inilah yang dijadikan sebagai dasar untuk melindungi kegiatan pasar modal yang ada di Indonesia. Perlindungan hukum yang diberikan oleh pengaturan undang – undang ini dilakukan dengan 3 bentuk upaya penyelesaian yaitu dengan sanksi administrasi, sanksi pidana dan sanksi perdata. Pada saat ini fungsi, tugas dan kewenangan BAPEPAM dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sejak UU No. 21 tahun 2011 diundangkan, yang seharusnya memperkuat penegakan hukum dalam lingkup pasar modal.
Perlunya penegakan hukum yang cermat dalam memberantas kejahatan kerah putih. Jika tidak diselesaikan sampai ke akarnya, akan membahayakan perekonomian negara. Adanya kejahatan di dalam kegiatan bidang pasar modal dan bidang perbankan tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap perekonomian, kestabilan moneter dan kepercayaan masyarakat sehingga berpengaruh pada besaran harga saham, suku bunga serta nilai tukar. Minimnya perkara kejahatan yang terjadi dalam bidang pasar modal yang tergolong kejahatan korupsi serta pencucian uang menyebabkan timbulnya kesulitan terhadap penyidik dalam melaksanakan penyelidikan sampai dengan tahap penuntutan. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang tindak pidana pencucian uang dan pasar modal yang dialami oleh penyeledik, penyidik dan penuntut serta adanya tingkat kepatuhan perusahaan dalam melakukan “Due Diligence” yang tidak setara dengan bank dan beneficial owner semakin mempersulit permasalahan yang ada. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap kasus yang menimpa Jiwasraya harus dimanfaatkan sebagai momentum dalam melakukan perbaikan secara komprehensif di bidang pasar modal, dalam segi peraturan perundang – undangannya sampai pada tata kelolanya, dalam hal pemulihan integritas disektor pasar modal yang ada di Indonesia.
Kasus yang menimpa PT. Asuransi Jiwasraya bukan hanya seputar tindak pidana pasar modal, namun juga tindak pidana korupsi yang pengaturannya diatur secara khusus dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga tindak pidana pencucian uang yang pengaturannya diatur secara khusus dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini dijelaskan di dalam artikel yang menyebutkan salah satu Komisaris PT. Hanson Internasional Tbk. Benny Tjokrosaputro terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pencucian uang dengan bekerja sama dengan mantan direktur utama PT. Asuransi Jiwasraya Persero, Hendrisman salim. Oleh sebab itu, penegakan hukum terhadap tindak pidana pasar modal, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana korupsi yang khususnya terjadi pada PT. Asuransi Jiwasraya sudah seharusnya dilakukan untuk memberikan aspek kepastian hukum dalam proses penegakan hukum dalam lingkup peradilan dan juga putusan pengadilan yang dapat memberikan keadilan yang sesuai dengan nilai – nilai sosial atau moral dari setiap aturan hukum yang berlaku.
Kasus Jiwasraya memiliki adanya dugaan Investasi Ponzi di dalamnya. Investasi Ponzi adalah suatu investasi palsu yang menggunakan cara memberikan keuntungan pada investor dari uang yang di dapat dari milik investor yang sama atau dari uang investasi yang dilakukan investor yang lain, sehingga pembayaran keuntungan investasi bukan berasal dari keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan kegiatan usaha yang dilakukan oleh lembaga yang dimaksud. Skema yang digunakan dalam investasi Ponzi, dapat diibaratkan seperti “setelah gali lobang kemudian tutup lobang”, yang cara beroperasinya adalah dengan mencari premi baru untuk membayar keuntungan pada nasabah premi lama. Dalam hal laporan keuangan, perusahaan yang melakukan skema investasi ponzi ini melakukan window dressing yang bertujuan untuk menunjukan performa yang terlihat bagus dengan cara memasukan premi sebagai pendapatan bukan sebagai utang. Sebelum melakukan penjualan produk dengan menunjukan pemikat bunga yang pasti, seharusnya tindakan yang dilakukan terlebih dahulu oleh Direksi lama Jiwasraya serta regulatornya melakukan penghitungan manfaat dan resiko produknya dengan teliti yang bertujuan untuk mencegah peristiwa gagal bayar oleh perusahaan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pihak investor atau nasabah.
Menurut hasil pemeriksaan terhadap aktivitas keuangan Jiwasraya yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dijelaskan bahwa Jiwasraya berulang kali melakukan transaksi jual beli saham yang harganya di rekayasa bersama dengan pihak afiliasinya. Tindakan investasi terhadap saham yang tidak likuid ini juga ditempatkan pada beberapa produk reksa dana yang harganya ditetapkan secara tidak normal.27 Hal ini jelas menunjukan bahwa PT. Asuransi Jiwasraya melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diatur di dalam Pasal 6 UU Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang jo. Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang” di karenakan kegiatan membeli saham – saham tidak likuid yang bertujuan untuk mempertahankan portfolio dari PT. Asuransi Jiwasraya tetap bagus.
Tindak pidana korupsi memiliki spesifikasi tertentu yang menyebabkan tindak pidana tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam tindak pidana umum, apabila ditinjau dari pengaturan hukum acara, terdapat penyimpangan hukum di dalamnya Oleh karena itu, tindak pidana korupsi harus diberantas karena tindak pidana ini dapat menyebabkan kebocoran dan penyimpangan yang melibatkan perekonomian dan keuangan negara.
Adanya kerjasama yang dilakukan oleh salah satu pejabat perusahaan PT Hanson International dengan beberapa mantan pejabat PT Asuransi Jiwasraya Persero. Salah satu pejabat perusahaan dari PT Hanson International terbukti melakukan suap serta gratifikasi terhadap beberapa mantan pejabat PT. Asuransi Jiwasraya terkait investasi pada saham dan produk reksa dana dari PT Asuransi Jiwasraya pada tahun 2008 – 201830. Sehingga dalam hal ini, para pihak terkait dengan jelas melakukan tindak pidana korupsi yang pada akhirnya mengakibatkan dampak kerugian pada PT. Asuransi Jiwasraya Persero yang cukup besar.
Penegakan hukum di dalam tindak pidana pada kasus Jiwasraya ini sangat perlu dilakukan dalam rangka menunjukan keseriusan pemerintah dalam melindungi kepentingan para investor publik dan pemegang saham yang terkait dengan Jiwasraya serta menunjukan keefektifan peraturan hukum yang sudah ada dalam menangani kasus jiwasraya yang sedang terjadi. Kasus jiwasraya yang pada bagian sebelumnya telah dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana pasar modal, sehingga lembaga yang berwenang untuk mengawasi adalah BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal) yang sekarang kewenangannya telah diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat menjadi OJK). OJK dapat dikatakan sebagai polisi khusus di bidang pasar modal. 33 OJK ini dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU OJK.
Badan Pemeriksaan Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti berupa data-data yang cukup yang diperoleh dari Penyidik dan melakukan konfirmasi atau klarifikasi kepada pihak-pihak terkait secara langsung, proses pemeriksaan dilakukan secara obyektif independen dan profesional untuk dapat mengambil kesimpulan ada tidaknya dampak kerugian yang dialami oleh negara. Menurut hasil pemeriksaan secara investigatif yang bertujuan untuk mengetahui perhitungan jumlah kerugian yang dialami oleh negara, tidak ditemukan adanya kerugian Negara terhadap investasi Repurchase Agreemant (Repo) dan Medium Term Note (MTN), kerugian negara ditemukan atas investasi saham BJBR; PPPro; SMBR; SMRU sejumlah Rp4.650.283.375.000,00 dan kerugian negara atas investasi Reksa Dana sejumlah Rp12.157.000.000.000,00 sehingga total kerugian Negara secara keseluruhan adalah Rp16.807.283.375.000,00. Sehingga berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan BPK serta bukti – bukti yang tercantum pada Putusan Pengadilan Nomor 30/Pid.SusTPK/2020/PN Jkt.Pst, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya.
Pasal 28 ayat (2) & (3) UU OJK menjelaskan bahwa Apabila OJK mendeteksi adanya kegiatan suatu lembaga jasa keuangan yang dapat merugikan masyarakat, maka OJK memiliki wewenang dalam memerintahkan lembaga yang bergerak dalam bidang jasa keuangan tersebut menghentikan melakukan kegiatannya, OJK juga berwenang melakukan tindakan lain selama tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan dan perundang – undangan yang berlaku. Pengaturan yang dijelaskan pada pasal tersebut merupakan kewenangan OJK untuk memberikan jaminan perlindungan hukum yang berupa langkah represif. Selain itu, pengaturan pasal ini adalah langkah lanjutan dalam menanggapi pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan dalam kegiatan jasa keuangan, sehingga perusahaan yang melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat dapat diberikan sanksi berupa pencabutan izin. Dengan demikian peraturan tersebut dapat menjadi dasar penegakan hukum pada kasus Jiwasraya sebagai tindak pidana dalam bidang pasar modal yang telah menyebabkan kerugian terhadap masyarakat dan perekonomian negara.
Pemikiran Panopticon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham adalah sebuah konsep arsitektur penjara yang dirancang untuk menciptakan pengawasan yang efektif terhadap para narapidana. Bentham berpendapat bahwa penempatan seluruh sel di sekitar pusat penjara yang terlihat dari menara pengawas akan menciptakan efek pengawasan yang konstan, sehingga narapidana akan merasa selalu terpantau dan menjadi terdisiplin. Ketika memperluas pemikiran ini ke kasus penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa, dapat terdapat beberapa hubungan yang dapat dilihat. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan aspek fisik atau arsitektur Panopticon, ada kesamaan dalam hal pengawasan dan pemantauan yang konstan.
Dalam kasus penyalahgunaan keuangan oleh Jiwasraya, pemilik atau pemegang kebijakan asuransi adalah yang terpantau. Lembaga asuransi memiliki akses terhadap informasi keuangan pribadi para nasabahnya, seperti premi yang dibayarkan, klaim yang diajukan, dan informasi lainnya. Nasabah merasa terpantau oleh lembaga asuransi, dan pemegang kebijakan harus mematuhi aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga asuransi. Analogi dengan Panopticon terletak pada efek pengawasan yang konstan. Nasabah asuransi jiwa mungkin merasa selalu terpantau oleh lembaga asuransi dan menjadi lebih patuh karena kesadaran akan pemantauan tersebut. Ketika ada penyalahgunaan keuangan, lembaga asuransi memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan menghentikan aktivitas tersebut, yang dapat memberikan efek pengawasan yang lebih efektif bagi mereka yang tergoda untuk menyalahgunakan dana. Meskipun pemikiran Panopticon Bentham awalnya dikembangkan untuk lingkungan penjara, konsep pengawasan yang konstan dan efeknya terhadap perilaku dapat diterapkan dalam berbagai konteks. Dalam kasus penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa, pemikiran ini menunjukkan pentingnya pengawasan yang efektif dalam mencegah pelanggaran dan memastikan integritas sistem keuangan.
Teori Kejahatan Struktural oleh Anthony Giddens adalah pendekatan sosiologis yang menghubungkan kejahatan dengan ketidakadilan sosial, ketidaksetaraan, dan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Teori ini menekankan bahwa faktor-faktor struktural seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sistemik dapat mempengaruhi tingkat kejahatan dalam suatu masyarakat. Ketika diterapkan pada kasus penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa, ada beberapa hubungan yang dapat dilihat dengan teori Kejahatan Struktural Giddens. Berikut adalah beberapa contoh hubungannya:
1. Ketimpangan kekuasaan dan akses ke sumber daya: Dalam lembaga asuransi jiwa, terdapat ketimpangan kekuasaan dan akses terhadap sumber daya keuangan. Lembaga asuransi jiwa memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi keuangan dan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memanipulasi dana nasabah atau melakukan praktik yang merugikan nasabah. Ketimpangan ini dapat memunculkan motivasi untuk penyalahgunaan keuangan.
2. Ketidaksetaraan ekonomi: Ketidaksetaraan ekonomi dalam masyarakat juga dapat berkontribusi terhadap penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa. Ketika terdapat kesenjangan yang signifikan antara lembaga asuransi dan nasabahnya, ada potensi bagi lembaga asuransi untuk memanfaatkan keadaan tersebut dan menyalahgunakan kepercayaan nasabah dalam mengelola dana mereka.
3. Struktur sosial dan norma korporat: Struktur sosial yang ada dalam lembaga asuransi jiwa dapat mempengaruhi norma korporat yang ada di dalamnya. Jika lembaga asuransi memiliki budaya yang mendorong perilaku tidak etis atau penyalahgunaan keuangan, maka hal ini dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kasus penyalahgunaan.
4. Regulasi dan penegakan hukum: Faktor struktural lainnya adalah kurangnya regulasi yang efektif dan penegakan hukum yang ketat terhadap lembaga asuransi jiwa. Jika terdapat kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum, lembaga asuransi jiwa mungkin merasa lebih leluasa untuk melakukan praktik-praktik penyalahgunaan keuangan.
Dalam keseluruhan, teori Kejahatan Struktural Giddens menggarisbawahi pentingnya memahami faktor-faktor struktural dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan, termasuk penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa. Faktor-faktor seperti ketimpangan kekuasaan, ketidaksetaraan ekonomi, budaya korporat, dan sistem regulasi dapat berperan dalam membentuk lingkungan di mana penyalahgunaan keuangan dapat terjadi.
Ketika kita mengaitkan konteks pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dengan kasus penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi seperti Jiwasraya, ada beberapa aspek yang dapat dilihat:
1. Pengawasan yang konstan: Pemikiran Panopticon Bentham menekankan pentingnya pengawasan yang konstan terhadap individu untuk menciptakan efek pengawasan yang disiplin. Dalam kasus penyalahgunaan keuangan oleh lembaga asuransi, lembaga tersebut dapat memanfaatkan kekuasaan dan aksesnya terhadap informasi keuangan nasabah untuk melakukan pengawasan yang terus-menerus. Nasabah merasa selalu terpantau oleh lembaga asuransi, yang dapat mengurangi kecenderungan untuk melakukan tindakan penyalahgunaan.
2. Pengaruh psikologis: Konsep Panopticon juga menciptakan pengaruh psikologis yang kuat pada individu. Dalam kasus lembaga asuransi, pemegang kebijakan atau pemilik merasa terpantau secara terus-menerus, dan hal ini dapat menciptakan efek disiplin dan pengendalian diri. Pengaruh psikologis ini dapat berperan dalam mencegah penyalahgunaan keuangan karena individu merasa waspada terhadap kemungkinan pengawasan dan konsekuensinya.
3. Kepercayaan dan tanggung jawab: Dalam sistem asuransi, nasabah mempercayakan lembaga asuransi untuk mengelola dan melindungi dana mereka. Konsep Panopticon dapat mempengaruhi tanggung jawab lembaga asuransi untuk menggunakan dana tersebut secara etis dan sesuai dengan kepentingan nasabah. Rasa tanggung jawab terhadap pengawasan yang konstan dapat mendorong lembaga asuransi untuk menghindari penyalahgunaan keuangan demi mempertahankan kepercayaan nasabah.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan hak keuangan oleh lembaga asuransi jiwa, beberapa solusi yang dapat diimplementasikan antara lain:
1. Regulasi yang ketat: Pemerintah perlu mengatur dan memberlakukan peraturan yang ketat terkait operasional dan keuangan lembaga asuransi jiwa. Regulasi yang baik akan membantu mengontrol praktik-praktik yang merugikan nasabah dan memastikan kepatuhan lembaga asuransi terhadap standar yang ditetapkan.
2. Transparansi dan keterbukaan informasi: Lembaga asuransi jiwa harus memberikan informasi yang jelas, terperinci, dan mudah dipahami kepada nasabah terkait polis asuransi, manfaat, premi, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Hal ini akan membantu mencegah praktik-praktik yang tidak adil atau menyimpang dalam pengelolaan dana nasabah.
3. Audit independen: Melakukan audit independen secara berkala oleh pihak yang tidak terkait dengan lembaga asuransi jiwa akan membantu memastikan kepatuhan lembaga asuransi terhadap peraturan dan standar yang berlaku. Audit ini juga dapat membantu mendeteksi adanya potensi penyimpangan keuangan dan tindakan yang tidak sesuai.
4. Pendidikan dan kesadaran konsumen: Meningkatkan pendidikan dan kesadaran konsumen terkait asuransi jiwa adalah langkah penting. Nasabah perlu memahami hak-hak mereka, termasuk hak atas dana yang mereka bayarkan, manfaat yang diharapkan, dan cara untuk melindungi diri dari praktik yang merugikan. Dengan pengetahuan yang memadai, nasabah dapat memilih lembaga asuransi yang tepercaya dan melakukan pemantauan terhadap kegiatan keuangan mereka.
5. Pengawasan yang efektif: Pemerintah dan otoritas pengawas harus memiliki sistem pengawasan yang efektif untuk mengawasi dan memantau kegiatan lembaga asuransi jiwa. Pengawasan yang ketat dan tindakan yang tegas terhadap pelanggaran akan memberikan sinyal yang kuat bahwa praktik-praktik yang merugikan tidak akan ditoleransi.
6. Sanksi dan hukuman yang tegas: Perlu ada sanksi dan hukuman yang tegas bagi lembaga asuransi jiwa yang terbukti melakukan penyimpangan keuangan. Hukuman yang berat akan memberikan efek jera dan mendorong lembaga asuransi jiwa untuk beroperasi dengan integritas dan transparansi.
Penting untuk dicatat bahwa solusi ini hanya merupakan beberapa contoh langkah yang dapat diambil untuk mencegah penyimpangan keuangan oleh lembaga asuransi jiwa. Kombinasi dari beberapa solusi ini, ditambah dengan kesadaran dan tanggung jawab semua pihak terkait, akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan terpercaya dalam industri asuransi jiwa.
 
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, M., Ramadani, P., Fachrina, R., Putri, I., dan Prayoga, F. 2022. Analisis Kasus Gagal Bayar Klaim Nasabah Dalam Perusahaan Asuransi Jiwasraya. El-Mal: Jurnal Kajian Ekonomi & Bisnis Islam, 3(4), 633-640.
Cloke, P., Philo, Ch. & Sadler, D. 1991. Structuration Theory: Anthony Giddens and the Bringing Together of Structure and Agency. Cambridge polity press Oxford.
Cristian, N. dan Julyanti, L. 2022. Analisis Kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan Teori Dasar Fraud. Jurnal Manajemen Ekonomi dan Akuntansi, 6(2), 153-165.
Lamsal, Mukunda. 2012. The Structuration Approach of Anthony Giddens. Himalayan Journal of Sociology & Antropology, 5, 111-122.
Rantetandung, N. C. N. 2021. Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Pasar Modal, Pencucian Uang Dan Korupsi: Studi Kasus Jiwasraya. Jurnal Kertha Negara, 9(10), 879-893.
Setiawan, Indra. 2020. Bedah Kasus Gagal Bayar dan Kerugian PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Jurnal Akuntansi dan Bisnis Indonesia (JABISI), 1(1), 34-41.
Steadman, Philip. 2007. The Contradictions of Jeremy Bentham’s Panopticon Penitentiary. Journal of Bentham Studies, 9, 1-31.
Wrobel, Claire. 2022. Introduction: Literary and Critical Approaches to Panopticism. Open Edition Journal, 22.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun