Mohon tunggu...
putra gara
putra gara Mohon Tunggu... -

sederhana, apa adanya, tetapi selalu berdoa dan berusaha untuk menjadi manusia yang berguna

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Takdir

25 Januari 2010   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh Putra Gara

“Teruslah menangis gadis manis, teruslah menangis,” bisik Angin Malam kepada seorang gadis dekil yang duduk tersedu di sebuah lorong pasar gelap dan sepi. “Ya, teruslah menangis. Menangislah sesuka dan sepuas hatimu, apabila dalam tangismu ada sesuatu yang kau dapat.”
Dan gadis itu terus menangis. Sendunya pilu menyayat kalbu, membaur jadi satu dengan bau sampah pasar. Air matanya mengalir membasahi pipi, leher, dada, perut, paha, kaki, lalu bercampur dengan air comberan yang berbau busuk.
Angin Malam dan Kesunyian nelangsa.
“Banyak waktu yang dihabiskan gadis itu dengan menangis dan menangis. Apakah ia tidak punya pekerjaan lain selain menangis dan menangis?” tanya Kesunyian pada Angin Malam.
Angin Malam tersenyum. Senyumnya getir mewakili penderitaan. “Entahlah,” katanya. “Tapi biarkan saja. Karena hanya dengan menangis, beban dan penderitaan yang dipikulnya sedikit berkurang.
“Tapi tangisnya begitu menyayat. Tak terusikkah orang yang mendengarnya, sehingga berniat untuk memberhentikan tangis gadis itu?” tanya Kesunyian lagi.
“Oh, jangan. Jangan pernah ada yang punya niat untuk memberhentikan tangis gadis itu.”
“Lho, kenapa?”
“Biarkan saja,” jawab Angin Malam. “Tangis adalah kehendak gadis itu. Hidup baginya hanya serangkaian peristiwa dan penderitaan. Kehendak sudah menentukannya demikian. Biarkan saja.”
“Oh, kasihan sekali,” Kesunyian turut sedih. “Betapa menderitanya gadis itu atas kehendak yang didapatkannya.”
“Ya, betapa menderitanya,” timpal Angin Malam. “Dan gadis itu pun tak punya siapa-siapa dalah hidupnya yang fana.”
“Kenapa demikian, Angin Malam?”
“Kehendak,” jawab Angin Malam. “Kehendak sudah menentukannya demikian. Gadis itu besar bersama alam. Dari mulai lahirnya, gadis itu dibuang bundanya yang mengandung. Karena bundanya yang mengandung itu tidak tahu siapa bapak gadis itu. Selama dalam kandungan, gadis itu besar dari belaian puluhan bapak. Gadis itu hidup dari bibir yang iklankan tubuh mulus bundanya. Begitu lahir, gadis itu dibuang. Ia terlunta-lunta dari tangan pengasuh satu ke tangan lainnya. Namun begitu dapat berjalan, tak ada lagi orang yang mengasuhnya. Gadis itu mulai mengembara ke mana-mana. Ia menjadi anak alam; bapaknya angkasa, dan bumi menjadi sang bunda. Sedangkan kita-kita sebagai temannya.”
Sedih Kesunyian mengkristal mendengar cerita Angin Malam.
Tangis si gadis masih mengalun.
Rembulan separuh di atas enggan bersinar.
Bintang-bintang pun demikian.
Kesedihan hati si gadis membuat nelangsa ciptaan Tuhan yang lainnya.
Diam.
Hening.
Kesunyian sepi, begitu dalam.
Gadis itu masih terus menangis.

* * *

“Pergi kau gembel!” dalam tangis sedih gadis itu, ia teringat kembali kalimat dan wajah pemilik toko yang mengusirnya, ketika ia tadi menjatuhkan pantat di emper toko, dan ingin memejamkan matanya karena malam sudah mengajaknya berkencan.
Waktu itu, gadis itu tidak segera beranjak. Ia pandangi pemilik toko yang perutnya gendut itu.
“Hai! Disuruh pergi malah nggak mau pergi. Cepat pergi sana. Pergi!” bentak si pemilik toko dengan kasar.
Si gadis ketakutan. Tapi kantuk sudah memeluknya. Malam pun membelainya. Meskipun ketakutan mendengar bentakan pemilik toko, si gadis tetap enggan beranjak.
Pemilik toko jadi berang. Dihampirinya gadis itu. Secepat kilat – lebih cepat malah, kaki pendeknya melayang ke arah perut si gadis.
Buk!
Satu tendangan itu begitu keras mengenai ulu hati si gadis. Si gadis menjerit kesakitan. Jeritnya membelah malam. Jeritnya ngiris karena sakit dan penderitaan. Tapi jerit gadis itu justru mengundang kaki dan tangan si pemilik toko untuk lebih menyakiti gadis malang itu.
Tendangan dan pukulan pemilik toko membabi buta. Dari mulut busuknya terdengar sumpah serapah. Seperti bukan manusia saja gadis malang itu diperlakukan, hanya karena dia tidak suka emperan tokonya ditiduri oleh gadis itu.
“Monyet jelek! Gembel busuk! Pergi kau, pergi!”
Entah, kemana manusia lainnya. Kesewenang-wenangan itu tidak ada yang melihat.
Alam jadi saksi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti malam jahanan, kesaksian hanya bisa menatap nanar.
Jeritan demi jeritan si gadis menjadi rintihan. Ia mengutuk sakit dan penderitaan. Berlari menahan nyeri. Tangisnya tumpah di sepanjang jalan. Gadis itu berlari, terus berlari. Menggapai malam kedamaian, meraih sepi kebahagiaan. Hingga sampai di sebuah lorong pasar yang sepi, gadis itu jatuh terduduk.
Tangisnya semakin ditumpahkan. Sejadinya, sesukanya dan sepuasnya. Hingga gadis itu lelah, dan terlelap di tempat.
Angin Malam merangkulnya. Kesunyian menyelimutinya. Bulan Bintang, Sampah Pasar dan Comberan menemaninya.
Gadis itu terlelap lelah.
Tak ada mimpi dalam tidurnya.

* * *

“Teruslah menangis gadis manis, teruslah menangis,” bisik Sinar Mentari sambil mengusap kristal-kristal bening yang jatuh satu-satu dari kelopak mata gadis lusuh lagi kumal itu.
Si gadis menangis pilu. Membuang sesak dadanya dengan tangis. Penderitaan tak sanggup melihat itu semua. Ia ingin beranjak, tapi Sinar Mentari melarangnya.
“Jangan pernah kamu meninggalkan gadis itu,” cegah Mentari pada Penderitaan.
“Aku tak sanggup dengan ini semua. Aku tak sanggup selalu bersama dengan gadis malang itu. Sudah cukup aku menemaninya. Tahun demi tahun aku selalu bersamanya. Tujuh belas tahun gadis itu tak pernah merasa bahagia. Biarkan aku meninggalkannya. Rasanya Kehendak tak adil dengan gadis itu. Aku tak rela gadis itu selalu bersamaku. Aku tak mau jadi penderitaan abadi bagi gadis itu. Biarkan aku pergi saja, agar gadis itu merasakan bahagia.”
“Kebahagiaan apa yang kau maksud wahai Penderitaan?” Tanya Mentari dengan penuh wibawa. Sinarnya begitu memanggang. “Coba kau jelaskan tentang kebahagiaan yang kau maksudkan untuk gadis itu?”
Penderitaan terdiam.
Tangis si gadis makin menyayat.
Awan yang beriringan sempat menyapa Mentari.
Lama juga Penderitaan terdiam. Kata-kata yang diucapkannya tadi tak dapat disambung dengan kata-kata selanjutnya. Dia tak mengerti dengan pertanyaan Mentari.
“Tak ada kebahagiaan yang kau maksudkan itu. Semua apa adanya. Kalau kamu menyesali keberadaanmu sebagai Penderitaan, dari awal seharusnya kamu menjauhi Kehendak. Tapi, apakah itu bisa. Karena adanya kamu pun karena adanya Kehendak. Aku mengerti kenapa kamu mau meninggalkan gadis itu, kamu tidak rela melihat gadis itu selalu menderita, kan? Dari mulai adanya gadis itu, Kehendak sudah menentukan kalau kamu harus selalu bersamanya. Seharusnya kamu lebih bijak, beri kasih kamu bersama deritamu kepada gadis itu. Setulusnya. Jangan pernah punya niat berpaling dari garis Kehendak. Semua memang sudah kehendakNya. Aku pun, kalau bukan karena Kehendak, tak rela sinarku membakar kulit anak-anak kurus yang keleparan di sepanjang jalan. Aku pun tak rela membuat bumi kering kerontang karena sinarku yang memanggang. Tak rela dengan semuanya. Tapi … semua itu tetap harus aku jalani, karena Kehendak sudah menentukannya demikian,” kata mentari.
Waktu berjalan terus.
Penderitaan terdiam.
Gadis itu masih terus menangis. Isak yang menyayat kalbu itu begitu pilu. Nafas gadis itu tersendat oleh sesak di dada. Begitu giris terdengar. Kelopak matanya seakan belah karena kelewat banyak menumpahkan air mata. Bola matanya memerah. Penderitaan sudah tak berpaling ke mana-mana. Ia pun akhirnya patuh pada Kehendak. Kehendak sudah menentukannya demikian. Tangis gadis itu semakin pilu menyayat kalbu.

* * *

“Anjing buduk! Sembarang saja kau mengambil makanan orang!” dalam lara hatinya, melintas kembali kalimat dan wajah Si Mbok penjual kue di pasar tadi, saat gadis itu mengambil sepotong kue dagangannya.
Gadis itu kaget dan takut bukan kepalang demi mendengar kalimat Si Mbok pedagang. Padahal tadi ia sudah mengendap-endap dan yakin kalau Si Mbok pedagang itu takkan melihat saat makanannya diambil.
“Pergi kau! Dan kembalikan makanan itu!” Si Mbok itu begitu galak. Tak sempat melintas di benaknya seandainya saja yang melakukan itu adalah anaknya.
Gadis itu tak menurut kata Si Mbok. Ia mendekap makanan yang dicurinya. Meskipun tubuhnya gemetar karena rasa takut oleh sorot mata galak Si Mbok, kue itu tetap didekapnya erat karena perutnya memang sudah lapar dan melilit minta diisi. Dua hari ia tak makan apa-apa. Kalau beruntung dan berhasil mencuri makanan di pasar atau di mana saja, barulah perutnya terisi. Tapi sekarang ia ketahuan. Dan pemilik kue yang dicurinya itu kelihatannya begitu marah.
“Kembalikan kue itu kataku, ayo kembalikan!” Si Mbok berusaha merampas kembali miliknya yang sebenarnya tidak begitu berarti untuk ukuran pedagang seperti dia. Hanya sepotong kue, apa salahnya bila diberikan ke seseorang yang memang sedang membutuhkannya. Tapi dengan keberadaan, terkadang manusia suka lupa kalau dia masih punya hati. Keberadaan telah membutakan mata hatinya.
Melihat gadis itu tidak mau mengembalikan kue curiannya, Si Mbok tambah marah. Lalu iblis membujuknya. Meneriakkan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas untuk seorang ibu.
“Jambret! Jambret!” si Mbok berteriak panik. Gadis malang itu tampak ketakutan. Semua mata memandang garang ke arahnya. Bagaikan burung yang dilepas dari sarangnya, gadis itu segera berlari. Tapi teriakan Si Mbok yang mengundang banyak orang, membuat lari si gadis sia-sia. Karena beberapa meter orang-orang sudah menghadangnya. Pukulan dan tendangan bersarang di tubuhnya.
Sakit dan nyeri, yang gadis itu rasakan. Tapi orang-orang tak peduli. Bagaikan tikus yang kena jebak, gadis malang itu habis dipukuli. Tapi Tuhan tidak pernah membiarkan orang-orang tak berdaya untuk dianiaya. Gadis itu diberi kekuatan lewat nyeri dan penderitaan. Ia berteriak garang. Matanya menatap nanar kepada orang-orang yang memukulinya. Bagaikan binatang luka disengaja, gadis itu menerjang kerumunan orang-orang yang mulai ketakutan dengan keliarannya.
Kesempatan itu diambil si gadis untuk segera berlari meninggalkan orang-orang yang telah tertutup mata hatinya.
Gadis itu terus berlari. Berlari dan terus berlari. Tangisnya membaur dengan penderitaan. Tercecer di jalan-jalan. Hingga di pojok taman, di samping bak sampah, gadis itu jatuh terkulai.
Tangisnya makin menjadi. Pakaiannya koyak. Ia mengutuk pada Sakit, Nyeri dan Penderitaan. Kehendak dimakinya. Dicercanya. Hidup benar-benar hanya serangkaian peristiwa dan penderitaan bagi gadis itu.
Hingga akhirnya, gadis itu tertidur di antara isak tangisnya. Berselimutkan Matahari Siang, Debu-debu, dan Bau Busuk bak sampah di sampingnya.
Tak ada mimpi dalam tidurnya.

* * *

Udara malam menjelang larut terasa dingin. Kesunyian dan Angin Malam tak banyak kata. Begitu pun dengan yang lainnya. Semuanya menatap nanar kepada gadis yang tengah tersedu-sedu itu.
Dingin begitu syahdu dan menyayat kalbu.
Bulan tak mau bersinar.
Begitu pun dengan bintang-bintang.
Tak tega rasanya menyinari tubuh gadis yang hanya berselimutkan Alam itu.
Tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Semua terkoyak oleh segerombolan anak-anak pasar yang ingin melampiaskan nafsu bejaknya kepada gadis itu. Beruntung, dia dapat melarikan diri. Lalu berlari dan bersembunyi. Tanpa sehelai benang ia jongkok di bawah meja pasar. Menyembunyikan diri, minta pertolongan kepada Papan-papan Lapuk meja Pasar.
Tangisnya sudah menjadi isak. Terasa sesak dadanya. Nafasnya memberat.
Waktu terpaku.
Malam terus bergulir.
Dalam isak menyayatnya, gadis itu tak pernah mengerti pada apa yang selalu terjadi dengan dirinya. Di tengah malam buta, gadis itu keluar dari dalam persembunyiannya. Berjalan diantara gelapnya malam. Tanpa sehelai benang. Di belakang pasar yang agak lapang, gadis itu menghentikan langkahnya.
Wajahnya menengadah. Memandang langit gelap tanpa dendam. Penderitaan, ujian dan ketidakmengertian, ikhlas ia nikmati penuh syukur. Dalam kekosongan jiwa dan kehampaan fana, gadis itu terjaga oleh cahaya kudus Kehendak. Perlahan, langit gelap itu terbuka tengahnya. Memancarkan cahanya yang sempat membuat Musa pingsang.
Gadis itu kembali menangis yang bukan tangis. Ia mengadu kepada Kehendak, atas apa yang sudah terjadi pada hidupnya.
Engkau yang punya Kehendak segalanya. Semua yang terjadi dalam hidup saya, merupakan sebuah Kehendak yang tak dapat kami elak. Berilah jalan baik atas garis Kehendak yang sudah Kau Kehendakkan. Sesungguhnya, kami hanya berserah diri kepadaMu. Karena segala apa yang telah terjadi dalam hidup kami, adalah kehendakMu.
Langit terbelah memancarkan cahaya. Doa-doa telah membukakan pintu Sang Kehendak. Cahaya kudus itu menyinari tubuh si gadis dengan Kehendaknya. Seperti kapas, gadis itu terkulai perlahan. Sinar terang masuk dari ujung kakinya. Sinar itu merambah ke paha, perut dada, leher dan kepala. Selanjutnya, cahaya itu lepas dari raga gadis itu.
Semua yang diciptakan selain manusia, menangis gembira.
Gadis itu telah meninggal dunia. Di tanah lapang belakang pasar, tanpa sehelai benang.*

Wisma Lasebu 020296

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun