Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Humor

Belajar dari Sepak Bola: Bagaimana kalau Pejabat di Naturalisasi

7 Oktober 2025   12:22 Diperbarui: 7 Oktober 2025   12:22 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika  Timnas ke Piala  Dunia

Kalau Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, saya tidak akan langsung beli tiket ke Amerika. Saya akan beli kursi plastik warna biru, duduk di teras, nyalakan televisi, lalu berdoa supaya sinyalnya tidak buffering. Karena apa gunanya menonton laga internasional kalau yang macet bukan pertahanan Indonesia, tapi jaringan internetnya?

Namun, sebelum saya menyiapkan bendera merah putih dan air mata nasionalisme, izinkan saya bertanya satu hal sederhana tapi gatal di hati: Timnas Indonesia yang mana dulu yang lolos? Apakah Timnas Indonesia yang lahir di Bontang, Blitar, dan Bone? Ataukah Timnas Indonesia yang lahir di Belanda, Belgia, dan Brazil tapi punya kakek buyut asal Banyumas?

Saya tidak sedang anti-naturalisasi, tapi mari kita jujur sebentar. Naturaliasi ini ibarat kita menambal ban bocor pakai permen karet, bisa menahan sebentar, tapi bukan solusi utama. Kalau terus begitu, lama-lama kita lupa cara menambal ban dengan benar, karena kita terlalu sibuk mencari permen impor.

Beberapa tahun terakhir, Indonesia seperti sedang 'shopping' pemain bola  plus pelatihnya di katalog luar negeri. Dan masyarakat pun bersorak, "Inilah jalan menuju Piala Dunia!"Dan seperti kata para pengamat yang hebat-hebat itu, Timnas hanya berjarak 180 menutuntuk lolos Kualifikasi Putaran Keempat

Tentu, saya ikut bahagia. Tapi diam-diam hati saya menggumam, "Kalau semua lini sudah diisi pemain hasil naturalisasi, kapan lagi kita percaya pada kemampuan anak negeri?" Jangan-jangan, saat Indonesia akhirnya mencetak gol di Piala Dunia, komentator bola di luar negeri sono berkata, "Goal for Indonesia... scored by Kevin van Sumatra!"

Lucunya, fenomena ini bukan hanya terjadi di sepak bola. ASEAN pun mulai ikut-ikutan. Vietnam sedang melirik diaspora mereka di Eropa, Thailand memanggil pemain keturunan di Swedia, dan Malaysia, seperti biasa, tak mau kalah, bahkan mungkin akan menaturalisasi pelatih dari Korea dengan paspor kehormatan.


Kita seperti sedang membuat liga ASEAN United of Imported Talents. Tapi tunggu, mari kita mainkan sedikit imajinasi satir. Bagaimana jika tren naturalisasi ini juga menular ke bidang lain?

Misalnya di dunia pendidikan, Kepala sekolah kita nanti dinaturalisasi dari Finlandia. Namanya Mr. Juhani Suharto. Ia memimpin rapat guru dengan membawa kopi pahit dan kurikulum berbasis kejujuran. Para guru langsung tertegun karena tidak ada jargon, tidak ada absen "sambil tanda tangan di warung kopi." Semua mendadak disiplin.

Atau mungkin pejabat publik juga dinaturalisasi. Bayangkan Menteri kita seorang mantan wali kota di Jepang. Begitu beliau menjabat, semua berkas diurus cepat, jalan mulus, pelayanan publik bersih. Begitu ada masalah, dia langsung mundur. Tapi rakyat bingung, "Ini masih Indonesia apa sudah anime?"

Lucunya, rakyat kita mungkin bangga, "Lihat, Indonesia maju karena pejabat hasil naturalisasi!", padahal yang harusnya kita lakukan adalah memperbaiki sistem yang bikin pejabat lokal jadi malas belajar dan guru jadi terjebak administrasi.

Kalau logika naturalisasi ini diteruskan, suatu hari bisa saja Indonesia menaturalisasi pemimpin dari Selandia Baru, agar anggaran negara tidak bocor. Atau menaturalisasi dosen dari Korea, supaya mahasiswa rajin. Atau menaturalisasi murid dari Jepang, supaya tidak menyontek.

Tentu semua itu absurd. Tapi bukankah absurd juga ketika kita sibuk mencari pemain impor, sementara bakat lokal masih menendang bola di sawah, tanpa sepatu, tanpa pelatih, tapi dengan semangat yang lebih murni?

Saya tidak menolak perubahan, tidak juga menolak modernisasi. Dunia memang berubah. Tapi yang saya takutkan bukan kita gagal lolos ke Piala Dunia, yang saya takutkan adalah kita gagal lolos dari mental inferioritas. Kita terlalu sering percaya bahwa yang dari luar selalu lebih baik, lebih pintar, lebih siap. Seolah bangsa ini hanya pantas menjadi penonton, bukan pemain.

Padahal, jika nasionalisme diibaratkan pertandingan bola, yang penting bukan sekadar siapa yang mencetak gol, tapi siapa yang menyiapkan lapangan, siapa yang membersihkan rumput, siapa yang datang menonton dengan hati.

Bangsa yang hebat tidak lahir dari naturalisasi, tapi dari pendidikan karakter. Dari guru-guru yang tidak sekedar mengajar rumus, tapi juga menghidupkan kejujuran. Dari kepala sekolah yang tidak hanya mengejar akreditasi, tapi membangun peradaban. Dari anak-anak yang berani kalah tapi mau belajar untuk bangkit.

Jadi kalau Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia nanti, saya tidak akan sibuk menghitung berapa pemain naturalisasi di tim. Saya akan menghitung berapa anak Indonesia yang terinspirasi untuk berlari di lapangan kampungnya dengan mimpi yang sama.

Karena sepak bola, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang lebih kuat. Tapi siapa yang paling tulus mencintai warna di dadanya. Dan kalau itu yang kita miliki, cinta yang tulus, kerja yang jujur, karakter yang tangguh, maka entah dengan pemain naturalisasi atau tidak, Indonesia tidak hanya akan lolos ke Piala Dunia. Ia akan lolos dari segala bentuk ketergantungan, ketidakjujuran, dan keputusasaan.

Itulah kemenangan sejati: ketika bangsa ini tidak lagi sibuk membeli kualitas dari luar, karena kualitas terbaik sudah tumbuh di dalam hati warganya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun