Tentu semua itu absurd. Tapi bukankah absurd juga ketika kita sibuk mencari pemain impor, sementara bakat lokal masih menendang bola di sawah, tanpa sepatu, tanpa pelatih, tapi dengan semangat yang lebih murni?
Saya tidak menolak perubahan, tidak juga menolak modernisasi. Dunia memang berubah. Tapi yang saya takutkan bukan kita gagal lolos ke Piala Dunia, yang saya takutkan adalah kita gagal lolos dari mental inferioritas. Kita terlalu sering percaya bahwa yang dari luar selalu lebih baik, lebih pintar, lebih siap. Seolah bangsa ini hanya pantas menjadi penonton, bukan pemain.
Padahal, jika nasionalisme diibaratkan pertandingan bola, yang penting bukan sekadar siapa yang mencetak gol, tapi siapa yang menyiapkan lapangan, siapa yang membersihkan rumput, siapa yang datang menonton dengan hati.
Bangsa yang hebat tidak lahir dari naturalisasi, tapi dari pendidikan karakter. Dari guru-guru yang tidak sekedar mengajar rumus, tapi juga menghidupkan kejujuran. Dari kepala sekolah yang tidak hanya mengejar akreditasi, tapi membangun peradaban. Dari anak-anak yang berani kalah tapi mau belajar untuk bangkit.
Jadi kalau Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia nanti, saya tidak akan sibuk menghitung berapa pemain naturalisasi di tim. Saya akan menghitung berapa anak Indonesia yang terinspirasi untuk berlari di lapangan kampungnya dengan mimpi yang sama.
Karena sepak bola, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang lebih kuat. Tapi siapa yang paling tulus mencintai warna di dadanya. Dan kalau itu yang kita miliki, cinta yang tulus, kerja yang jujur, karakter yang tangguh, maka entah dengan pemain naturalisasi atau tidak, Indonesia tidak hanya akan lolos ke Piala Dunia. Ia akan lolos dari segala bentuk ketergantungan, ketidakjujuran, dan keputusasaan.
Itulah kemenangan sejati: ketika bangsa ini tidak lagi sibuk membeli kualitas dari luar, karena kualitas terbaik sudah tumbuh di dalam hati warganya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI