Ada sesuatu yang tak bisa ditandingi dari aroma kopi hitam yang digoreng sendiri oleh pedagang kecil di pinggir Pasar Lematang, Lahat. Bukan sekadar soal rasa, tapi suasana yang ikut larut di dalamnya.
Setiap kali saya melangkah ke area belakang pasar, aroma itu selalu lebih dulu menyapa. Ada wangi khas, bukan kopi kemasan yang terbungkus rapi dengan label dan merek besar, tapi kopi rakyat, Kopi Sachet Lokal alias kopi tangan manusia yang tahu betul cara mengukur sabar dan panas. Pedagang itu memasak kopi di dapurnya dengan menakar biji kopi sebanyak tiga puluh kilogram, memasukkannya ke dalam drum besi besar, lalu mulai memutarnya perlahan di atas api kayu bakar. Satu jam lamanya. Tak ada timer digital, hanya naluri yang tahu kapan aroma pahit itu sudah mencapai takaran sempurna.
Saya biasa membeli kopi bubuk ukuran setengah kilogram. Harganya jauh lebih murah dibanding kopi kemasan di minimarket, tapi rasanya---ah, jangan tanya. Ada pahit yang jujur, bukan pahit yang dibuat-buat. Ada harum yang sederhana, tapi menyentuh dalam. Di rumah, saya menyeduhnya dengan air mendidih tanpa gula. Kadang, sambil membuka jendela dapur yang langsung menghadap kebun kecil di belakang rumah. Uap kopi bercampur aroma tanah basah, dan tiba-tiba hari terasa lebih bersahabat.
Menikmati Kopi Hitam Pedagang Kaki Lima dari Pasar Lematang Lahat
Kopi dari Pasar Lematang ini seperti punya karakter sendiri. Tak meniru siapa pun, tak berusaha jadi "brand" besar, tapi tetap dicari karena rasanya yang otentik. Orang-orang tua di kampung saya sering bilang, kopi begini lebih "hidup". Mungkin karena digoreng dengan kayu bakar, atau mungkin karena tangan yang mengolahnya bukan tangan pabrik, melainkan tangan yang sehari-hari menggenggam nasibnya sendiri.
Yang menarik, proses penggorengan dengan drum besar itu tak hanya menuntut tenaga, tapi juga pengalaman. Api terlalu kecil, kopi bisa asam. Api terlalu besar, bisa gosong. Karena itu, para pedagang ini seperti ilmuwan otodidak. Mereka mengenali suhu bukan lewat angka, tapi lewat warna asap dan bunyi biji kopi yang meletup kecil di dalam drum. Ada ilmu yang diwariskan tanpa buku, ada kearifan yang tumbuh dari kebiasaan.
Pernah saya bertanya kepada si pedagang, mengapa masih pakai kayu bakar dan drum manual, padahal sekarang sudah banyak mesin modern. Ia hanya tersenyum, "Kalau pakai mesin, cepat memang. Tapi rasanya beda, Pak. Kayu bakar itu ada jiwanya."
Jawaban sederhana, tapi membuat saya diam cukup lama. Di tengah dunia yang serba instan, ternyata masih ada orang yang percaya bahwa kelezatan itu bukan soal waktu, tapi kesungguhan.
Kopi bubuk dari Pasar Lematang kini sudah banyak dijual ulang di warung-warung kecil. Namun, tetap saja yang paling nikmat adalah membeli langsung dari tempatnya diproses. Melihat bagaimana biji yang hitam legam keluar dari drum, masih hangat dan beruap. Pedagang akan menimbangnya, membungkus dengan plastik polos, lalu menulis beratnya dengan spidol hitam. Tak ada label, tak ada iklan, tapi pembelinya selalu ada.
Mungkin karena di setiap bungkusnya tersimpan cerita. Cerita tentang tangan yang bekerja tanpa lelah, tentang bara yang dijaga agar tetap hidup, dan tentang aroma kopi yang menembus batas sosial antara pedagang dan pembeli. Di pasar, tak ada status. Semua sama-sama pencinta kopi.
Setiap pagi, saat menyeruput kopi itu di rumah, saya merasa seperti kembali ke Pasar Lematang. Saya bisa mendengar suara drum berputar, percikan api kayu, dan tawa para pedagang yang menertawakan hari dengan cara mereka sendiri.
Kopi ini bukan sekadar minuman. Ia adalah pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk modernitas, masih ada kesederhanaan yang tak tergantikan. Sebungkus kopi bubuk dari pedagang kaki lima mungkin tak akan masuk iklan televisi, tapi rasanya telah menembus batas waktu, pahit, hangat, dan jujur.
Dan setiap tegukan, selalu membawa satu pesan sederhana: bahwa kehidupan yang baik, seperti kopi hitam dari Pasar Lematang, lahir dari kesabaran, kerja keras, dan bara yang dijaga agar tak pernah padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI