Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Barang rusak, Perusahaan jadi Maju

3 Oktober 2025   15:06 Diperbarui: 3 Oktober 2025   14:02 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kabarnya, di sebuah pemadam kebakaran kecil di Livermore, California, ada lampu yang sudah menyala sejak 1901. Usianya sudah lebih dari 120 tahun, dan yang menakjubkan-lampu itu masih hidup, masih menyala dengan tenang, sambil menertawakan cucu-cucu lampu LED yang sekarang mati baru 1 tahun dipakai. Nama lampu itu: Centennial Light.

Kalau dipersonifikasikan, mungkin lampu ini sedang nyinyir sambil berkata:

"Heh, kalian ini lampu generasi instan. Belum juga menikah sudah padam. Aku ini sudah melewati dua perang dunia, beberapa kali krisis ekonomi, jatuh bangunnya Hollywood, dan tetap setia menyala. Kalian baru dipasang di kamar kos, 1 tahun sudah ngedip-ngedip kayak mahasiswa telat bayar UKT."

Nah, ini yang menarik. Kalau bisa dibuat lampu yang tahan seabad, kenapa sekarang lampu yang kita beli di toko mati dalam hitungan tahun, bahkan bulan? Inilah yang disebut teori planned obsolescence alias "keusangan terencana".

Kartel Lampu yang Bikin Dunia Jadi Tukang Belanja

Pada tahun 1924, perusahaan-perusahaan lampu besar dunia bikin kelompok bernama Phoebus Cartel. Kabarnya mMereka sepakat bahwa lampu tidak boleh bertahan lebih dari 1.000 jam. Kok bisa begitu? Ya karena kalau lampu awet, perusahaan rugi. Karena tidak ada yang beli lampu lagi, Kalau lampu gampang rusak, perusahaan dapat pembeli setia.

Bayangkan, orang sengaja bikin barang gampang mati supaya bisnisnya panjang umur. Ironi kan? Barang yang awet bikin perusahaan bangkrut, barang yang cepat rusak bikin perusahaan kaya raya. Itu sama seperti tabib yang doanya bukan "semoga pasien cepat sembuh," tapi "semoga pasien batuknya jangan kelar-kelar, biar balik lagi beli obat."

Kalau Anda pikir hanya lampu yang diperlakukan begini, wah Anda polos sekali. Gadget yang kita pakai sekarang ini pun banyak "sakit bawaan pabrik".

Coba lihat HP Anda. Baterainya sudah mulai kembung, ngedrop, gampang mati padahal baru dipakai dua tahun. Lalu saat anda cari di toko: "Mas, ada baterai pengganti nggak?" Dijawab, "Waduh, baterai model ini sudah tidak diproduksi, mending beli HP baru saja, Pak." Padahal teknologi baterai modular-yang bisa diganti kapan saja-itu sudah ada. Cuma kalau semua orang bisa ganti baterai dengan mudah, perusahaan nanti makan apa? Lha wong jualan HP itu kayak jualan gorengan, kalau bisa habis tiap sore, ya habis tiap sore.

Belum lagi printer. Ini lebih jahat. Anda sedang butuh cetak skripsi, tiba-tiba printer mogok. Padahal tintanya masih ada, rollernya masih sehat. Ternyata ada chip kecil di dalamnya, semacam "agen rahasia" yang bilang: "Cukup, masa baktimu selesai. Kamu sudah mencetak terlalu banyak." Jadi, mesin yang secara teknis masih perkasa dipaksa pensiun dini. Itu seperti pemain bola yang masih fit dipaksa keluar lapangan karena kontraknya habis.

Laptop dan software juga tidak kalah licik. Begitu keluar update baru, komputer lama Anda tiba-tiba berubah jadi kakek tua yang ngos-ngosan. Buka aplikasi untuk mengetik saja bisa bikin Anda sempat shalat dhuha dulu. Lalu perusahaan datang dengan wajah penuh solusi: "Yah, sudah saatnya upgrade, Pak." Padahal sebenarnya mereka lah yang bikin laptop Anda sekarat dengan sengaja.

Dan fast fashion, nah ini lebih absurd lagi. Baju Anda masih bagus, jahitannya kuat, warnanya belum pudar. Tapi iklan bilang Anda sudah ketinggalan tren. Kalau pakai celana model tahun lalu, rasanya seperti dosa sosial. Jadi Anda beli lagi, bukan karena baju rusak, tapi karena mentalitas kita yang sengaja dirusakkan. Fast fashion itu bukan industri pakaian, tapi industri kebodohan massal.

Lucunya, dunia modern malah menyebut ini "strategi pasar". Katanya untuk sirkulasi ekonomi. Tapi kalau jujur, sebenarnya ini "merusak barang secara sengaja supaya masyarakat terus diperas pelan-pelan." Kapitalisme ini ibarat tukang tambal ban nakal: dia sengaja nyelipin paku di jalan supaya besok Anda balik lagi.

Dalam bahasa agama, mungkin ini dosa "membuat kerusakan di bumi". Dalam bahasa politik, ini disebut "menjaga pertumbuhan ekonomi". Bedanya hanya soal kamus.

Mari kita berandai-andai. Kalau semua lampu bisa bertahan 100 tahun, semua HP bisa dipakai 15 tahun, semua kulkas bisa diwariskan ke cucu, apa yang terjadi? Bisa jadi pabrik gulung tikar, pekerja kehilangan kerja, ekonomi macet.

Tapi pertanyaannya: apakah satu-satunya cara menjaga ekonomi adalah dengan memproduksi sampah baru setiap tahun? Kalau iya, berarti sistem ekonomi kita itu seperti juragan yang sengaja melubangi ember supaya bisa dapat kerjaan tiap hari: menimba air bocor.

Ada model ekonomi lain, namanya ekonomi sirkular. Barang dibuat awet, tapi industri fokus ke perawatan, inovasi nyata, dan daur ulang. Jadi pekerja tetap punya kerja, konsumen tetap sejahtera, bumi tidak kebanjiran sampah. Tapi tentu, itu butuh niat baik dan kesepakatan global. Dan, kita semua tahu, niat baik dalam bisnis besar itu barang langka---lebih langka daripada lampu seratus tahun.

Kadang saya mikir, jangan-jangan doa para kapitalis itu begini:"Ya Tuhan, semoga charger orang-orang ini cepat rusak, semoga kabelnya putus di dalam, semoga laptopnya mendadak lemot pas ujian online." Kalau benar begitu, berarti doa mereka sering dikabulkan.

Lampu tua di California itu seperti kakek bijak yang sedang mengingatkan kita: "Manusia bisa membuat barang awet, tapi manusia lebih memilih membuat barang rapuh, supaya dirinya bisa kaya." Jadi, ketika ponsel Anda mendadak lemot setelah update, jangan buru-buru menyalahkan Tuhan. Mungkin itu ulah kartel modern yang sudah belajar dari Phoebus: bikin barang gampang mati, supaya perusahaan bisa hidup panjang. Karena dalam dunia kapitalisme, kadang yang cepat korslet itu bukan barang, tapi akal sehat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun