Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teh dan dan Saringan yang Bolong

2 Oktober 2025   15:37 Diperbarui: 2 Oktober 2025   15:37 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teh dan dan Saringan yang Bolong

Di warung kopi, orang Indonesia bisa berubah jadi filsuf dadakan. Ada yang bahas harga cabai lebih panjang daripada sidang DPR. Ada pula yang diskusinya lebih sengit daripada debat calon presiden. Nah, salah satu topik favorit sekarang adalah berita di HP. Seseorang baru buka WhatsApp, langsung ada berita heboh: "Besok akan ada gempa besar, katanya sudah diramal kucing tetangga." Begitu baca, wajahnya langsung pucat. Tanpa mikir panjang, berita itu dibagikan ke grup keluarga, grup alumni SD, grup pengajian, sampai grup jualan daster online. Jadi dalam hitungan menit, kucing tetangga sudah jadi pakar geologi nasional.

Itulah kita. Kadang-kadang kita lebih cepat menelan kabar ketimbang menelan nasi. Padahal kalau nasi masih bisa dikunyah dulu, berita sering kali langsung ditelan mentah. Dan akibatnya? Ya jelas sakit perut pikiran. Hoax itu ibarat gorengan basi: dari luar kelihatan enak, begitu masuk perut bikin mules. Bedanya, kalau gorengan basi biasanya cuma bikin diare, hoax bisa bikin negara kacau.

Kita sebenarnya punya banyak alat untuk menyaring berita. Sayangnya, kebanyakan orang masih pakai "saringan bocor". Apa pun masuk, apa pun keluar. Maka kita perlu belajar, bagaimana sih cara menyaring kabar biar tidak berubah jadi korban informasi palsu?

Yang pertama, cek kebenarannya. Berita itu fakta atau fiksi? Sama kayak beli durian. Kalau penjualnya bilang manis, jangan langsung percaya. Coba buka, lihat dagingnya, baru bisa tahu betul tidaknya. Kalau berita datang dari sumber yang meragukan---akun media sosial tanpa nama jelas, atau portal berita yang isinya lebih mirip gosip infotainment---ya harus waspada. Jangan sampai kita menyamakan kabar dari Badan Meteorologi dengan kabar dari grup WA "Emak-Emak Hits Se-Kecamatan".

Kedua, cek kebaikannya. Apakah berita itu bermanfaat, atau sekadar bikin heboh? Ada berita yang benar tapi disajikan seperti film horor. Misalnya, "Harga beras naik." Itu fakta. Tapi kalau ditulis, "Besok rakyat akan punah karena beras hilang dari bumi," itu sudah bukan berita, tapi naskah sinetron azab. Kita perlu tanya: berita ini bikin orang tercerahkan, atau bikin orang tambah stres? Kalau cuma bikin orang panik tanpa solusi, sebaiknya tidak usah dibagikan.

Ketiga, cek kepantasannya. Ada berita yang mungkin benar dan niatnya baik, tapi cara penyampaiannya tidak pantas. Sama seperti orang yang ingin menasihati, tapi kalimatnya justru menghina. Berita itu bisa benar isinya, tapi kalau disebar tanpa etika, bisa jadi senjata yang melukai. Nah, kita harus paham, informasi itu bukan sekadar isi, tapi juga cara dan waktu menyampaikannya.

Keempat, cek konsekuensinya. Bayangkan kalau kita sebarkan berita itu ke grup keluarga. Apa dampaknya? Akan bikin orang semakin bijak, atau malah bikin tante kita tiba-tiba memutuskan beli mie instan satu kardus karena takut harga naik? Hoax punya kemampuan memicu histeria. Sering kali yang bikin bahaya bukan hoax-nya, tapi reaksi orang setelah percaya. Ingat, kebenaran yang merusak lebih berbahaya daripada kesalahan yang membuat kita belajar.

Kelima, cek niat di baliknya. Karena tidak semua berita dibuat dengan niat murni. Ada yang niatnya jualan, ada yang niatnya kampanye, ada yang niatnya memecah belah. Sama seperti orang yang nembak gebetan: kata-katanya indah, tapi bisa jadi ujung-ujungnya hanya PHP. Nah, kita perlu peka, apa motif di balik kabar ini? Jangan-jangan kita hanya sedang jadi korban "jual beli emosi" demi kepentingan kelompok tertentu.

Kalau lima hal itu kita jalani, insyaallah kita bisa lebih tenang menghadapi banjir informasi. Tapi masalahnya, manusia kita sering kali lebih suka jalan pintas. Tidak mau cek fakta, tidak mau cek konteks, langsung telan. Karena memang lebih gampang percaya daripada berpikir. Bahkan ada pepatah baru: "Berita benar itu membosankan, berita bohong lebih menggairahkan." Kalau berita benar butuh waktu diverifikasi, berita bohong sudah lebih dulu viral dengan bumbu drama.

Maka tugas kita adalah belajar jadi "saringan teh" yang baik. Teh kalau tidak disaring, ampasnya ikut diminum, dan perut jadi tidak enak. Berita juga begitu. Kalau tidak disaring, ampas kebohongannya ikut masuk ke otak, bikin cara berpikir kita sakit. Bedanya, kalau teh pahit masih bisa ditambah gula, kalau berita pahit tidak bisa ditambah apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun