Di warung kopi, kerupuk gratis di meja biasanya jadi rebutan. Orang comot tanpa malu, bahkan kadang sampai berebut. Tapi coba kalau kerupuk itu dibeli, ditaruh di piring dengan hormat, dicocol sambal dengan sabar, lalu dimakan sampai remah terakhir.
Tetangga saya juga pernah dapat kipas angin gratis dari bank. Baru seminggu rusak, dilempar ke gudang tanpa perasaan. Tapi kipas hasil jualan sayur? Dirawat kayak anak sendiri: diminyaki, dibersihin, kalau macet dikipasin balik. Gratis sering diperlakukan kayak barang numpang lewat, sementara hasil perjuangan jadi bagian keluarga.
Anak-anak sekolah lebih lucu lagi. Pensil gratis dari sekolah biasanya hilang dalam 10 hari. Tapi pensil yang dibeli dari uang jajan sendiri jadi pusaka: dipotong pakai cutter biar hemat, sampai pendek segede jempol pun masih dipakai nulis. Gratis bikin lupa, perjuangan bikin setia.
Nah, sama halnya dengan kisah sederhana tentang sebuah mug. Pernahkah Anda pulang dari belanja, dapat hadiah mug promo yang kelihatannya keren? Dua minggu pertama dipakai buat kopi, minggu ketiga sudah dipakai nyimpen sendok, bulan berikutnya jatuh, pecah, dan kita bilang enteng: "Ah, cuma mug gratis." Bandingkan dengan mug keramik handmade hasil nabung berbulan-bulan, atau mug yang kita bikin sendiri di studio keramik. Mug itu bukan cuma tempat minum, tapi semacam ijazah pribadi. Ada keringat, ada sabar, ada kebanggaan. Bedanya jelas: mug gratis jadi kenangan samar, mug perjuangan jadi pusaka abadi.
Psikolog Barat, Leon Festinger, sampai bikin teori keren: effort justification. Intinya, semakin susah jalannya, semakin kita merasa hasilnya berharga. Mahasiswa yang jungkir balik ikut tes masuk universitas biasanya lebih bangga dengan kampusnya ketimbang yang "diterima karena ada rekomendasi keluarga dekat rektor." Usaha jadi semacam tiket moral. Kalau sudah berdarah-darah, hasilnya pantas dijaga, meski nilainya sebenarnya sama saja.
Ekonomi juga nggak mau kalah. Hukum kelangkaan bilang: barang langka jadi mahal, barang berlimpah jadi obral. Anehnya, manusia sering lebih menghormati barang yang sulit dicari ketimbang yang mudah tersedia. Itulah kenapa jomblo yang sulit didapat sering disebut "mahal," sementara yang gampang ditemui malah dibilang "pasaran."
Dalam psikologi, ada istilah endowment effect. Artinya kita lebih menghargai apa yang kita miliki, apalagi kalau memilikinya penuh perjuangan. Seorang petani pasti lebih bangga makan nasi dari sawahnya sendiri ketimbang nasi kotak yang dibagi gratis di balai desa. Yang satu ada rasa kepemilikan, yang lain sekadar numpang kenyang.
Motivasi juga ikut campur. Gratisan biasanya melahirkan motivasi ekstrinsik: "Ya udah, dikasih, terima." Tapi kalau hasil perjuangan, muncul motivasi intrinsik: bangga, lega, bahagia, bahkan bisa jadi bahan cerita bertahun-tahun. Nilai 7 hasil belajar semalaman kadang lebih membanggakan ketimbang nilai 9 hasil nyontek.
Bahkan otak kita ternyata doyan drama. Sistem dopamine-hormon bahagia itu-lebih suka muncul setelah kita jungkir balik dulu. Kalau semua datang instan, otak jadi malas kasih hadiah bahagia. Makanya, beli motor kredit tiga tahun rasanya lebih nikmat ketimbang menang undian motor di supermarket. Otak kita lebih menghargai proses daripada hasil yang tiba-tiba nongol.
Budaya Nusantara pun sudah lama mengajarkan itu. "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian." Artinya apa? Kita diwarisi keyakinan bahwa yang layak dibanggakan hanya datang lewat keringat. Makanya, barang yang didapat dengan cara gampang sering bikin malu, bukan bangga.
Fenomena ini jelas kelihatan di sekolah. Siswa yang nilainya dinaikkan gratisan jarang belajar lebih giat. Tapi yang mati-matian belajar demi naik nilai justru jadi lebih rajin. Di dunia kerja pun sama. Bonus rutin yang datang otomatis terasa hambar, tapi bonus hasil capek-capek mengejar target terasa kayak minum es teh manis setelah lari maraton. Dalam pertemanan juga begitu: sahabat seperjuangan lebih kokoh ketimbang seribu teman instan hasil klik tombol follow.
Intinya, manusia bukan kalkulator. Kita nggak cuma menghitung untung rugi, tapi juga menilai cerita di balik sesuatu. Barang gratis biasanya nggak punya cerita, makanya cepat dilupakan. Barang hasil perjuangan penuh narasi epik, dan itu bikin ia jadi berharga. Proses melahirkan makna, dan makna itulah yang bikin manusia menghargai apa yang ia miliki.
Tapi hati-hati, jangan sampai salah paham. Gratis itu tidak selalu berarti murahan. Sekolah gratis, misalnya, sering diremehkan. "Ah, nggak bayar, berarti kualitasnya biasa-biasa aja." Padahal justru di situlah tantangan: bagaimana bikin murid, guru, dan orang tua ikut berjuang dalam bentuk lain---disiplin, tanggung jawab, menjaga fasilitas. Sekolah gratis tetap bisa mahal nilainya, asal kita isi dengan keringat non-uang.
Sayangnya, budaya kita kadang masih kaku dengan pepatah "ada harga, ada rupa." Kalau gratis, dicurigai abal-abal. Padahal di negara maju, sekolah gratis justru dianggap sebagai hak sosial yang sangat berharga---bukan hadiah, tapi hasil gotong royong pajak rakyat. Gratis bukan berarti murahan, melainkan hasil perjuangan bersama.
Kalau ditarik ke teori psikologi, sekolah gratis pun butuh proses internalisasi nilai. Kalau tidak, murid bisa merasa: "Nggak sekolah juga nggak rugi, toh nggak bayar." Tapi kalau mereka sadar bahwa sekolah gratis adalah hasil perjuangan negara, pajak masyarakat, dan pengorbanan kolektif, maka nilainya tetap tinggi. Sekolah gratis pun berubah jadi "mug perjuangan bersama"-bukan barang promo, tapi pusaka yang harus dijaga.
Pada akhirnya, manusia ini memang makhluk aneh. Kalau dikasih gratisan, sering lupa bersyukur. Kalau disuruh bayar, baru sadar nilai sesuatu. Persis kayak pejabat yang teriak "pendidikan gratis untuk semua," tapi lupa bahwa gratis itu dibayar pakai keringat rakyat lewat pajak. Jadi sebenarnya, sekolah gratis pun bukan betul-betul gratis-cuma dipindahkan cara bayarnya: dari dompet pribadi ke rekening negara.
Lucunya, kita sering kebalik-balik: barang promo dianggap harta karun, tapi setelah sebulan dibuang di gudang. Sementara barang perjuangan dianggap biasa, padahal di situlah letak nilai yang sesungguhnya. Jangan-jangan, bangsa ini terlalu sering hidup dengan mental "pemburu diskon" ketimbang mental "pembuat nilai."
Mungkin kita perlu belajar lagi pada mug, kerupuk, pensil, dan kipas angin. Mereka diam saja, tapi bisa jadi guru besar kehidupan. Mereka mengajarkan: kalau hidup ini terlalu sering gratis, kita justru kehilangan rasa. Kalau hidup ini penuh perjuangan, barulah kita menemukan makna. Jadi, jangan kebanyakan berharap gratisan. Nanti bukan cuma mug yang pecah, tapi juga harga diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI