Pihak SPBU, tentu saja, membantah. Mereka mengatakan sudah bekerja sesuai prosedur, dengan pengawasan ketat. Bahkan, ada yang berani mempertaruhkan jabatan demi menegaskan tak ada pelanggaran. Namun publik tahu, pengawasan di negeri ini kerap lebih pandai menulis laporan ketimbang menutup kebocoran. "Pengawasan ketat" sering kali hanyalah istilah sopan dari pembiaran yang sudah terorganisir.
Lebih getir lagi, muncul dugaan bahwa ada aparatur sipil negara yang ikut bermain. ASN yang seharusnya menjadi teladan justru ikut menimbun keuntungan dari subsidi rakyat. Mereka membeli solar menggunakan nama orang lain, memanipulasi data, menyelinap di balik celah regulasi. Dalam diam, mereka menjelma pedagang minyak gelap yang berseragam dinas. Inilah wajah baru birokrasi: berintegritas di upacara, tapi berbisnis di lapangan.
Keterlibatan ASN dalam praktik seperti ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap sumpah jabatan. Mereka tak hanya mencuri solar, tapi mencuri makna pengabdian itu sendiri. Subsidi, yang dirancang sebagai penyangga kehidupan rakyat kecil, berubah menjadi mesin keuntungan bagi segelintir orang yang tahu cara memainkan sistem. Di sinilah absurditas itu muncul: negara memberi subsidi, negara pula yang diam saat subsidi itu dijarah dari dalam.
Ironisnya, kasus seperti ini selalu berulang. Begitu satu tersangka ditangkap, jaringan di belakangnya tak tersentuh. Begitu satu rumah digerebek, muncul rumah lain yang menimbun dengan cara lebih canggih. Kejahatan berganti alamat, bukan berhenti. Aparat bergerak setelah publik gaduh, tapi kembali diam setelah berita reda. Begitulah irama klasik penegakan hukum di republik ini: cepat panas, mudah dingin.
Mafia solar sejatinya hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: korupsi struktural di sektor energi. Di banyak daerah, SPBU bukan sekadar tempat mengisi bahan bakar, tapi menjadi simpul ekonomi politik yang melibatkan banyak kepentingan, mulai dari pejabat lokal, aparat, pengusaha, hingga calo subsidi. Solar bersubsidi yang semestinya menjadi penopang nelayan dan petani, justru menjadi bahan bakar bagi ekonomi gelap yang memelihara ketimpangan.
Masalahnya, kita sudah terlalu terbiasa dengan kebobrokan. Antrean jeriken di SPBU dianggap lumrah. Truk yang bolak-balik mengisi solar bersubsidi dianggap wajar. Oknum ASN yang ikut bermain dianggap "pintar mencari peluang". Perlahan, masyarakat kehilangan sensitivitas moralnya. Kejahatan menjadi bagian dari keseharian, dan kejujuran terasa seperti keluguan yang tak menguntungkan.
Mungkin inilah wajah paling menyedihkan dari birokrasi modern kita, bukan ketidaktahuan, tapi kemauan untuk menutup mata. Negara seperti ikut berkonspirasi lewat diamnya. Aparat penegak hukum sibuk dengan kasus yang lebih besar, sementara mafia kecil di daerah terus menambang keuntungan dari celah kecil subsidi. Di tengah krisis fiskal, subsidi solar yang semestinya menolong justru menjadi ladang baru untuk menjarah.
Pertanyaan yang tersisa kemudian, siapa yang akan menindak mereka? Atau lebih tepatnya, siapa yang berani? Karena di negeri yang terbiasa dengan kompromi, kejahatan sering kali bersembunyi di balik rapat resmi, surat rekomendasi, atau bahkan barcode digital yang dianggap "sah". Sementara rakyat kecil hanya bisa menatap kosong ke arah pompa yang kering menunggu giliran yang tak pernah tiba.
Barangkali, kita memang hidup di zaman di mana kejahatan tak lagi bersembunyi di malam hari. Ia berjalan siang bolong, di tengah antrean, dengan kemeja rapi dan tanda pengenal di dada. Dan ketika pelakunya tertangkap, negara hanya berkata, "Kami akan menindak tegas." Kalimat yang begitu sering diucapkan hingga kehilangan maknanya.
Pada akhirnya, masalah ini bukan hanya soal solar, tapi soal nurani. Tentang bagaimana sebuah sistem bisa memelihara kebusukan selama bertahun-tahun dan tetap berpura-pura bersih. Tentang bagaimana sebuah bangsa bisa hidup dengan kebohongan yang diulang setiap hari, lalu menamainya "penegakan hukum".
Dan mungkin, tentang bagaimana kita semua yang memilih diam, menonton, atau menertawakan tanpa sadar menjadi bagian dari mafia itu sendiri.