Harapan putra – putri terbaik bangsa untuk dapat menguasai keterampilan di bidang teknologi informasi secara memadai pupus sudah. Pasalnya, pemerintah tetap berpegang teguh pada keputusannya untuk tidak memasukkan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ke dalam struktur kurikulum 2006 maupun kurikulum 2013. Dalam kegiatan penyempurnaan silabus mata pelajaran yang dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum Perbukuan – Balitbang – Kemendikbud awal mei lalu, mapel Prakarya yang selama ini dianggap sebagai “bayi yang tidak diinginkan” kembali muncul menggantikan mapel TIK. Reaksi pun bermunculan dari berbagai elemen masyarakat menyikapi kebijakan yang (dianggap) keliru tersebut.
Kisruh menyangkut mapel TIK ini bermula saat digulirkannya Kurikulum 2013 pada masa kepemimpinan M. Nuh di Kemendikbud. Saat itu Nuh mengeluarkan Permendikbud Nomor 68 Tahun 2014 tentang peran guru TIK dan KKPI dalam Kurikulum 2013. Berdasarkan Permendikbud tersebut, TIK tidak lagi menjadi mapel yang berdiri sendiri melainkan diintegrasikan ke dalam mapel-mapel yang ada. Adapun guru TIK diposisikan sebagai fasilitator dan pengelola sarana pembelajaran berbasis TIK untuk keperluan pembelajaran mapel lainnya maupun untuk kepentingan administrasi para guru.
Tak lama kemudian rezim pun berganti. Pemerintahan yang baru rupanya memiliki “selera” yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Anies Baswedan sebagai nakhoda baru di Kemendikbud memerintahkan sekolah-sekolah yang baru menjalankan Kurtilas selama satu semester, agar kembali menggunakan Kurikulum 2006 (KTSP). Intrsuksi ini pun tertuang dalam Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Anehnya, keputusan tersebut tidak secara otomatis mengembalikan mapel TIK ke tempat asalnya. Sekalipun sekolah-sekolah kembali menggunakan Kurikulum 2006, mapel prakarya tetap dipertahankan untuk menggantikan mapel TIK.
Kondisi semacam ini tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian kalangan. Sikap inkonsistensi Mendikbud tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah ingin melepaskan tanggungjawabnya dalam menyediakan sarana pembelajaran (khususnya perangkat multimedia) secara memadai sesuai dengan amanat undang-undang. Padahal, tersedianya sarana belajar tersebut akan membantu pemerintah dalam menyukseskan program-programnya. Ujian Nasional berbasis komputer yang dilaksanakan beberapa pekan lalu tidak akan berjalan lancar apabila sekolah tidak memiliki sarana sesuai dengan yang dibutuhkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, sudah saatnya pemerintah bersikap konsisten terhadap kebijakan yang dikeluarkannya. Kebijakan “abu-abu” semacam ini hanya akan menjadikan dunia pendidikan semakin penuh dengan ketidakpastian. Penguasaan siswa terhadap teknologi informasi merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Adapun besarnya anggaran yang diperlukan untuk membangun sarana pembelajaran berbasis multimedia hendaknya tidak dipandang sebagai beban bagi negara, melainkan investasi berharga yang dapat dirasakan hasilnya di kemudian hari. Dengan demikian, Indonesia pun akan mampu bangkit untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lainnya.
Ramdhan Hamdani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI