Mohon tunggu...
Rama Yanti
Rama Yanti Mohon Tunggu... Human Resources - Profesional dan penulis

Perduli terhadap kemanusiaan. Selalu ingin berbuat baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies Baswedan Dukung Jokowi Saja Lagi

18 September 2018   19:39 Diperbarui: 18 September 2018   20:47 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pemilihan presiden 2014, Anies Baswedan masuk ke jalur sutera politik Indonesia. Berjuang bersama Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Dan menang. Dia pun masuk ke kabinet.

Langkah awal yang sangat bagus ketika dia memilih bergabung dengan Jokowi/Jusuf Kalla pada 2014. Namanya melambung tinggi, kendati kemudian di-reshuffle di jajaran kabinet kerja.

Tentu namanya sudah besar dan portfolionya bertambah sebagai orang yang pernah berada di 'kelas utama' dalam urutan pengatur negara.

Tanpa portfolio sebagai menteri, mungkin dia tidak bisa dijual dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Yang kemudian meraih kemenangan sebagai gubernur.

Dalam bingkai politik di pemerintahan DKI Jakarta, Anies Baswedan sekarang sendirian setelah ditinggal oleh Sandiaga Uno, sang politisi partai Gerindra yang memilih menjadi pendamping Prabowo, sebagai cawapres untuk pilpres 2019.

Sendirian? Ya betul sendirian. Dia bukan politisi dari partai manapun. Dia adalah gubernur non partai yang diusung oleh  Gerindra dan PKS pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Karena dua putaran, empat partai yang tadinya mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kemudian bergabung ke Anies-Sandiaga, yaitu PD, PPP, PKB dan PAN.

Menjadi Gubernur tanpa parpol, tentu sangat sulit, mengingat undang-undang menyebutkan pemerintahan daerah provinsi terdiri dari eksekutif dan legislatif. Artinya, setiap kebijakannya, gubernur tidak bisa berjalan sendiri, harus atas persetujuan DPRD.

Dalam tahun-tahun pertama pemerintahan Anies-Sandiaga, berjalan dengan normal karena diperkuat oleh enam parpol dengan kekuatan 56 kursi. Yaitu Gerinda (15 kursi), PKS (11kursi), PD (10 kursi), PPP (10 kursi), PKB (6 kursi) dan PAN (2 kursi). 

Jumlah itu, lebih besar dari kekuatan di pihak 'oposisi' yang memiliki  52 kursi: PDIP (28 kursi), Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi) dan Nasdem (5 kursi).

Seiring dengan berjalannya waktu, komposisi itu tiba-tiba berubah. 'Kekuatan' pro gubernur, tinggal 38 kursi. Yaitu Gerinda, PKS, PD dan PAN. 

Sementara kubu oposisi menjadi sangat kuat, 68 kursi. Yaitu PDIP, PPP, Hanura, Golkar,  PKB dan Nasdem. Dengan komposisi seperti itu, Gubernur menjadi sangat tidak berdaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun