Bayangkan Rp600 triliun mengucur untuk mengubah nasib ekonomi Indonesia—uang sebesar itu bisa jadi game changer, tapi ke mana arahnya? Pada 24 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah inisiatif ambisius untuk mendanai 21 proyek hilirisasi di sektor energi, pertanian, peternakan, dan perikanan yang di tahap pertama memiliki total investasi sekitar US$40 miliar atau Rp600 triliun. Penelitian menunjukkan bahwa investasi skala besar dalam hilirisasi memiliki dampak signifikan terhadap transformasi ekonomi nasional di negara berkembang, dengan potensi meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja (Fauziyyah & Paksi, 2023). Prabowo menyebutnya fondasi masa depan, tapi harapan ini bisa jadi ilusi jika tak dikelola dengan benar. Dari sudut pandang akademis, saya melihat peluang besar—namun, tanpa strategi matang, Rp600 triliun bisa menguap sia-sia.
Harapan dari Hilirisasi
Hilirisasi adalah kunci untuk mengangkat ekonomi dari ketergantungan bahan mentah. Dengan Rp600 triliun, Danantara menargetkan berbagai sektor strategis, termasuk energi, mineral, pertanian, dan perikanan. Studi menunjukkan bahwa hilirisasi, seperti proyek nikel di Indonesia, menciptakan efek pengganda yang mendorong pertumbuhan ekonomi, baik bagi investor maupun negara (Fauziyyah & Paksi, 2023). Bukti empiris dari Asia Tenggara, misalnya kebijakan ekspor bijih nikel, memperlihatkan lonjakan volume ekspor dan lapangan kerja setelah beralih ke produk olahan (Ananda & Wahyuni, 2024). Ini tak hanya soal uang—hilirisasi bisa memperkuat daya saing global, memajukan teknologi, dan menggerakkan sektor lain seperti transportasi. Jika kilang minyak atau perkebunan modern sukses, Indonesia bisa jadi pemain kunci di pasar dunia. Tapi, benarkah kita punya kapasitas untuk mewujudkannya? Harapan ini nyata—tapi hanya jika eksekusinya tak setengah hati.
Bayang-Bayang Risiko
Di balik potensi gemilang, risiko mengintai. Literatur akademis menegaskan bahwa proyek hilirisasi sering gagal karena manajemen buruk, fluktuasi ekonomi, dan dampak lingkungan yang diabaikan (Kumoro & Sutardi, 2022; Lestari & Yasa, 2023). Mengelola Rp600 triliun butuh perencanaan ketat—tanpa itu, proyek seperti kilang minyak bisa jadi beban saat harga global anjlok. Biaya operasional tak terduga atau koordinasi antar-kementerian yang “lelet” juga bisa menghambat. Lebih jauh, ekspansi energi dan pertanian berisiko merusak ekosistem dan memicu konflik sosial jika dampaknya tak dimitigasi. Prabowo menjanjikan pengawasan ketat, tapi sejarah mengajarkan bahwa janji transparansi sering kali rapuh. Jika risiko ini tak dikelola, Rp600 triliun bisa jadi bencana, bukan berkah—dan itu bukan ilusi, melainkan ancaman nyata.
Rekomendasi Akademis
Agar harapan tak jadi ilusi, langkah konkret dibutuhkan. Pertama, studi kelayakan berbasis data harus jadi fondasi setiap proyek—tanpa analisis risiko, kita berjalan membabi buta. Kedua, prinsip good governance—transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas—harus diterapkan. Penelitian menunjukkan bahwa tata kelola yang kuat meningkatkan keberhasilan proyek besar, sekaligus memastikan manfaat sosial dan lingkungan (Simanjuntak et al., 2024). Ketiga, keberlanjutan (sustainability) tak boleh dikorbankan—kilang minyak harus pakai teknologi hijau, dan pertanian harus hindari deforestasi. Terakhir, audit independen wajib dilakukan rutin untuk menjaga integritas. Pemerintah harus buktikan bahwa Rp600 triliun bukan cuma ambisi politik—masyarakat berhak menuntut hasil, bukan retorika. Dengan langkah ini, harapan bisa jadi kenyataan.
Penutup
Rp600 triliun adalah taruhan besar—cukup untuk membangun mimpi, tapi juga cukup untuk menciptakan fatamorgana jika gagal. Hilirisasi ala Danantara bisa jadi fondasi ekonomi yang kuat, seperti yang ditunjukkan oleh dampak jangka panjang hilirisasi terhadap kesejahteraan generasi mendatang. Namun, keberhasilan tergantung pada eksekusi: tata kelola, mitigasi risiko, dan komitmen pada keberlanjutan. Prabowo bicara soal warisan—tapi warisan apa yang akan kita tinggalkan? Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, investasi ini harus inklusif dan ramah lingkungan, bukan cuma mengejar keuntungan instan. Masa depan ada di tangan kita—apakah Rp600 triliun jadi fondasi kokoh atau fatamorgana semu? Jawabannya ada pada langkah kita hari ini.