Ada yang berbeda di Provinsi DKI Jakarta pada 2 tahun terakhir. Takbiran keliling pada tahun 2018 dan 2019 diperbolehkan, dikawal, lalu dihadiri oleh Gubernur Jakarta - Anies Baswedan dan jajarannya. Kesimpulannya adalah Anies mendukung bahkan memfasilitasi penuh kegiatan yang dikategorikan warisan budaya menjelang Idul Fitri ini.
** ** ** **
Mari kita Flashback dulu ke tahun 2016 atau sebelumnya. Pada jaman pemerintahan Ahok dan Djarot lalu kemudian Djarot menggantikan Ahok, disebutkan pawai takbiran keliling sempat dihimbau untuk tidak dilakukan (baca: 'dilarang').
Pelarangan ini dimaksudkan untuk menghindari dampak yang ditimbulkan seperti menimbulkan kemacetan lalu lintas, gesekan antar warga yang diartikan mengganggu ketertiban umum.
"Tidak usah takbiran (pawai,red), karena khawatir kecelakaan, gesekan, juga kemacetan. Toh besok juga takbiran kan? Enak dirumah aja, buat opor" ujar Iriawan di tirto.com.
Selain khawatir beberapa kejadian diatas, media online itu (tirto) menulis bahwa Iriawan berpendapat pawai takbiran hanya membuang energi (sia-sia,pen).
** ** ** **
Kemenangan Anies-Sandiaga di Pilkada Jakarta mungkin dirasakan membawa rasa lega di batin umat islam. Sebagian ormas islam sedikit demi sedikit mulai merasa dihargai dan 'dimaklumi' beberapa tradisinya.Â
Pada dasarnya mereka tentu tidak ingin disebut melawan pemerintah atau aparat keamanan. Terhadap alasan pelarangan yang disebutkan entah itu dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas atau borpotensi menggangu ketertiban umum sepertinya masih dapat didiskusikan kembali dengan bijak.
Untuk point kecelakaan dapat dikondisikan dengan rekayasa lalu lintas. Bila ditakutkan mengganggu ketertiban umum maka sebutkan saja siapa yang merasa terganggu agar dapat diurai solusinya.
Apalagi bila dipikir2 masih banyak acara sejenis yang mengumpulkan massa atau mengganggu kepentingan masyarakat dijalan raya. Ternyata selama ini diperbolehkan dan diamankan.
Apalagi Acara itu malahan tidak berhubungan dengan keagamaan yang memang sifatnya agak sensitif. Contohnya karnaval budaya, tari massal pemecahan rekor nasional, jalan massal berhadiah, car free day, konser artis, touring club motor dan mobil, iringan mobil pejabat dan voreijder atau patwal pernikahan orang2 penting di negeri ini.
Kalau mau adil, mereka pun dapat mengganggu kelancaran lalu lintas dan hak pengguna jalan raya, berpotensi membuat gesekan, dan mungkin juga buang energi alias 'sia-sia' kalau di hubungkan dengan pernyataan Iriawan diatas.
Rupanya kegiatan tersebut dapat terus berlangsung bukan?. Lampu merah yang diblokade ketika ada iringan kendaraan pejabat atau touring club motor dan mobil sehingga pengendara lain tidak dapat melintas hingga beberapa menit, jalan yang ditutup ketika ada kegiatan yang tidak begitu penting apakah tidak mengganggu kepentingan masyarakat umum?
Artinya apapun peraturan yang baku ataupun perda yang dapat dijadikan alasan pelarangan, sebenarnya dapat dikesampingkan sejenak untuk pengeculian. Dengan melihat  ini adalah kejadian istimewa dan dapat menambah kegembiraan masyarakat apalagi ini menyangkut hari besar keagamaan masa tidak boleh?
Mari kita pahami tradisi ini tidak setiap hari dilakukan dan biasa disebut tradisi tahunan. Diakui ataupun tidak, ada sebagian ulama dan umat islam yang menggagap Anies adalah pahlawan bagi mereka. Anies bahkan di TvOne menyebut bila dilarang, nanti mereka tidak merasa berada dinegeri sendiri.
Larangan acara keagamaan di Monas, larangan potong hewan kurban di sekolah, dan larangan pawai takbiran keliling semua ditata ulang oleh Anies. Anies merubah semua itu dan memperbolehkan kembali bahkan disaat tertentu ada yang difasilitasi.
Semoga dukungan Anies kepada tradisi umat islam ini tulus dari hati. Andai beliau melakukan sebagai pencitraan pun, keberpihakan dan sensitifitasnya pada tradisi perayaan hari besar keagamaan patutlah ditiru oleh tokoh politik lainnya. Kearifan lokal mestinya dirayakan dengan kegembiraan. Kawal, iring, layani, amankan, fasilitasi, bimbing mereka. Itulah tugas pemimpin dan pemegang otoritas.
Pemimpin diharapkan tidak melulu berkutat pada text book dan peraturan. Apalagi sampai tega melarang budaya dengan menggunakan narasi ketakutan akan potensi gesekan (keonaran).
Bila semua ditakutkan onar, rusuh, celaka, gesekan, maka dimana kehadiran negara?. Bukankah 7 juta umat 212 saja dapat diamankan?. Apalagi pawai takbiran dengan jumlah 1000,2000, atau anggap saja 10.000 orang mengapa kita seakan berat untuk mengawal dan melayani mereka?
Puluhan tahun mungkin ratusan tahun budaya tersebut sudah ada di negeri ini, apakah ada data soal jatuhnya korban jiwa diluar batas wajar akibat kerusuhan atau kecelakaan massal disaat pawai takbiran keliling?
Coba bandingkan dengan pesta demokrasi di suatu di negara  yang menghabiskan dana 28 Triliun dan membuat keuangan negara terkuras.
Dampak yang dihasilkannya adalah tewasnya lebih 600an petugas dan 700an orang mengalami luka2. Mirisnya prosesnya hanya dinilai formalitas saja dan tidak menghasilkan output yang diharapkan sebanding dengan pengorbanan.Â