Ketika Renata membuka sebuah paket di kantor polisi, dan ia menemukan kepala manusia pembunuh ayahnya dikirim begitu saja, saya langsung terdiam. Bukan karena kaget, tapi karena deja vu.Â
Ingatan saya melompat ke kasus nyata, seorang wartawan sebuah media yang dikirimi kepala babi.Â
Ya, dua dunia berbeda tapi punya satu pesan yang sama. Bahwasanya kekuasaan punya cara sendiri untuk bilang "jangan ikut campur".Â
Itulah adegan yang saya tonton di salah satu episode Dendam, series Vision+ yang merupakan adaptasi dari serial televisi Deru Debu yang pernah populer di tahun 90-an.
Aksi balas dendam yang penuh liku
Sesuai judulnya, Dendam memang menceritakan aksi balas dendam seorang perempuan bernama Renata (Cinta Laura). Ia harus balas dendam kepada mereka yang membunuh ayahnya dan menculik adiknya di masa lalu. Karena akibat peristiwa itu, hidupnya berantakan.Â
Untuk memuluskan aksinya dalam balas dendam, ia masuk akademi kepolisian serta belajar bela diri. Tujuannya jelas, untuk masuk ke District 8. Apa itu District 8?
District 8 semacam sarang kejahatan yang jadi pusat konflik utama cerita. District 8 memiliki beberapa lantai yang masing-masing lantai dikelola oleh seorang ketua. Masing-masing lantai punya bisnis yang berbeda, mulai dari judi, narkoba, hingga arena pertarungan tinju.
Para ketua di District 8 adalah orang-orang yang sama sekali nggak punya hati. Bagi mereka uang adalah segalanya. Kecuali lantai arena pertarungan tinju yang dikelola oleh James (Arya Vasco).
Nah, arena pertarungan tinjulah yang dituju oleh Renata. Ia menyamar sebagai petarung demi mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang pembunuh ayahnya, agar bisa melampiaskan balas dendamnya.
Tentu aksinya menyusup ke District 8 tidaklah mudah. Penuh liku, dan harus pandai mengenali orang-orang di dalamnya, mana yang bisa dijadikan kawan, mana yang tetap menjadi lawan.
Koreografi lamban, perkembangan karakter terburu-buru
Saya merasa, meski koreografi pertarungannya digarap serius, sering terasa lamban. Bukan lamban karena gaya, tapi lamban karena ritme yang sering tak sinkron dengan emosi karakter. Misalnya ada banyak momen ketika pukulan Renata terasa seperti jeda dan tampak ragu-ragu.Â
Di sisi lain, karakterisasi Renata justru melaju terlalu cepat. Dari anak korban jadi polisi dan petarung tangguh, transisinya terasa sangat cepat. Penonton belum sempat melihat dia jatuh, sudah diminta kagum karena dia bangkit. Padahal luka itu butuh waktu, dan penonton butuh ruang untuk percaya bahwa dendamnya bukan sekadar plot.
Kalau saya bandingkan dengan karakterisasi Tiana (Tatjana Saphira) di Roman Dendam yang punya garis cerita yang sama, ia diberi ruang untuk hancur dulu. Sebagai penonton, kita bisa melihat bagaimana Tiana terpuruk setelah kehilangan orangtuanya. Ia lebih sering diam dan terasa sekali seperti kehilangan arah.Â
Luka-luka yang ia rasakan tidak langsung dijadikan motivasi. Tapi dibiarkan membusuk, mengganggu, dan akhirnya memaksa dia untuk memilih antara pulih atau tenggelam.
Dan ketika akhirnya dia memilih untuk pulih, prosesnya terasa masuk akal. Ia tidak tiba-tiba jago, tidak tiba-tiba kuat. Ia belajar, gagal, takut, dan baru kemudian berani. Dendamnya bukan reaksi, tapi hasil dari perjalanan panjang. Justru karena itu, penonton percaya. Kita tahu dari mana sakitnya berasal, dan kenapa ia memilih membalas.
Tapi untungnya, karakterisasi Renata yang terlampau cepat terbantu oleh pengembangan karakter James. Karakter si ketua lantai tinju itu digarap lebih pelan dan lebih manusiawi. Meskipun ia seorang mafia, kita diajak melihat sisi rapuhnya soal dilema moral tentang pekerjaan yang ia lakukan.
Akhirnya, karakter James terasa lebih hidup dan lebih bisa menuai empati ketimbang karakter Renata. Tapi terlepas dari kurangnya soal pengembangan karakter, duet mereka menjadi titik penting cerita film ini.
Sangat wajar jika mereka berdua masuk nominasi Festival Film Bandung 2025, masing-masing untuk Pemeran Utama Pria Terpuji dan Pemeran Utama Wanita Terpuji.
Kalau negara diam, biar dendam yang bicara
Renata memang tokoh fiksi, tapi dendamnya terasa nyata. Karena di dunia nyata, dendam sering lahir dari tempat yang sama yakni ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh.
Di series yang berjumlah 8 episode ini, Renata melawan District 8 yang ternyata memang di-backing oleh para penguasa termasuk atasan Renata di kepolisian.Â
Sementara di luar layar, kita melawan versi lain dari District 8 yang bentuknya bisa pasal karet, bisa kebijakan yang nggak berpihak pada rakyat, atau bahkan bisa wakil rakyat yang asyik berjoget ria di tengah naiknya harga kebutuhan pokok.Â
Jadinya, dendam Renata bukan cuma soal keluarga, tapi soal sistem yang gagal melindungi. Dan itu yang bikin ceritanya mudah terkoneksi, karena kita tahu rasanya ditinggal negara, tahu rasanya jadi korban yang hanya disuruh sabar.
Dendam nggak ngajarin kita buat balas dendam. Tapi dia juga nggak pura-pura suci. Dia bilang, kadang dendam itu muncul karena nggak ada ruang lain buat marah. Dan kalau negara terus gagal jadi tempat aman, jangan kaget kalau dendam jadi satu-satunya bahasa yang dimengerti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI