Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review Film "Mumun", Ketika Pocong Dililit Utang

2 September 2022   09:06 Diperbarui: 2 September 2022   15:55 3023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang gali kubur saja bisa nyawer/Dee Company

"Ribet...pade ribet... dapat kerjaan jadi tukang gali kubur"

Mungkin profesi tukang gali kubur adalah salah satu profesi yang 'berharap' pada kemalangan orang lain. Mereka hanya akan bekerja ketika ada orang yang meninggal. Tapi sekaligus juga menyisakan pertanyaan, jika tukang gali kubur itu yang meninggal, siapa yang akan menggali kuburnya?

Tapi... tapi bukan itu ceritanya.

Ini tentang seorang tukang gali kubur di suatu kampung di Depok, yang sekaligus juga dianggap 'dukun' oleh beberapa masyarakat di sana. Suatu hari ketika ia menguburkan jenazah yang meninggal akibat korban tabrak lari, ia lupa melepas tali pocongnya.

Konon katanya, jika tali pocong lupa dilepas, si jenazah akan bergentayangan dan menghantui masyarakat dalam bentuk pocong.

Adaptasi yang tidak mengkhianati materi aslinya

Mitos tentang 'tali pocong' menjadi inspirasi serial legendaris Jadi Pocong yang populer tahun 2000-an. Saking populernya, serial ini berhasil mengorbitkan dua karakter pocong yang ikonik yakni 'pocong Mumun' dan 'pocong Jefry'.

Kali ini mata Mumun jadi hijau/Dee Company
Kali ini mata Mumun jadi hijau/Dee Company

Nah, salah satu pocong yakni Mumun, dibuatkan kembali kisahnya dalam Mumun produksi Dee Company.

Mumun bukanlah serial televisi yang pertama kali diadaptasi ke layar lebar. Tapi dari beberapa serial televisi yang sudah diangkat ke layar lebar, sebagian besar dari mereka hanya memanfaatkan kepopuleran IP (Intelectual Property)-nya semata. Sementara ruh materinya, terkadang dilupakan. 

Semisal Tersanjung yang sama sekali berbeda dengan serialnya. Dan bahkan nama karakternya pun diubah seraya berlindung di balik 'adaptasi bebas'.

Tapi Mumun tidak demikian. Ruh utamanya tentang mitos 'tali pocong' tetap menjadi premis utama. Termasuk berbagai pendekatan horor dan komedinya pun dipertahankan dari serialnya oleh Rizal Mantovani yang kali ini bertindak sebagai sutradara.

Bagi penonton setia serialnya, termasuk saya yang dekat dengan serial ini, Mumun cukup berhasil mengundang gelak tawa yang bersumber dari banyak adegan yang memang dibuat mirip dengan aslinya.

Salah satu contohnya, adalah ketika si tukang gali kubur bernama Husein (diperankan Mandra) ditagih utang oleh Jefry (Voland Homanggio) dan komplotannya. Kemudian Husein naik ke atas pohon untuk menghindari Jefry. Lalu kamera memperlihatkan pocong Mumun yang ada di belakang Husein. 

Dari yang semula ngakak, saya refleks mengucap "Astagfirullah, Astagfirullah".

Namun, kepatuhan Rizal terhadap materi aslinya ini menjadikan Mumun terasa kurang kreasi dari sutradara. Walaupun saya menangkap ada dua hal yang ingin dikembangkan oleh Rizal. Yakni persoalan adegan/pendekatan horor yang lebih 'gore', dan persoalan keluarga yang menjadi latar belakang semua masalah yang terjadi dalam film ini.

Sayangnya, kedua hal yang ingin dikembangkan ini, masih terasa tanggung dan kurang matang.

Film horor dan masyarakat

Tukang gali kubur saja bisa nyawer/Dee Company
Tukang gali kubur saja bisa nyawer/Dee Company
Dalam sebuah kesempatan, aktor senior Slamet Rahardjo pernah mengatakan bahwa film itu masyarakat. Menurutnya, jika saat ini film setan laku, ya karena dekat dengan masyarakat.

Terkait hal ini, saya sangat mengapresiasi Mumun yang tidak melepaskan kehidupan masyarakat dari filmnya. Karena sejatinya, horor itu memang bermula dari rasa takut yang dialami masyarakat.

"Bang.. aye Mumun Bang, bantu aye lepasin tali pocong Bang."

Rasa takut yang dimunculkan dalam Mumun, adalah tentang bagaimana pocong Mumun bergentayangan menemui masyarakat untuk meminta bantuan melepaskan tali pocongnya.

Naskah gubahan Dirmawan Hatta sudah cukup baik dalam menyusun struktur dramatisasi untuk hal ini. Dimulai pertama kali pocong Mumun menghantui si tukang gali kubur, lalu gerombolan Jefry, dan juga kembarannya, Mimin.

Nggak ketinggalan, Mumun juga menghantui panggung hiburan sehingga kabar Mumun menjadi pocong, jadi dipercaya oleh seluruh masyarakat.

Puncaknya ada pada calon suami Mumun, Juned (Dimas Aditya) yang sebetulnya masih belum merelakan kepergian Mumun.

Keberadaan serangkaian teror pocong Mumun, nggak menjadikan Mumun menjadi sebuah film horor parade teror yang bombastis. Mumun masih menyelami sisi masyarakatnya, termasuk keberadaannya yang dijadikan becandaan oleh warga.

"Kalau nggak mau makan, nanti didatangi Mumun". Kurang lebih begitu dialog yang dilontarkan ibu-ibu warga ketika anaknya susah banget untuk makan.

Namun materi teror pocong Mumun dan gosip masyarakat kurang dimanfaatkan dengan baik dari sisi penyuntingan. Saya mengira editor Ganda Harta kurang sensitif dalam menangkap rasa. 

Adegan demi adegan disunting 'pendek-pendek'. Dengan kata lain, penonton belum sepenuhnya merasakan emosi dalam satu adegan, sudah pindah lagi ke adegan lain.

Menurut hemat saya, pola seperti ini membuat penonton sulit menginvestasikan seluruh emosinya untuk Mumun. Dan cenderung membuat capek dan membosankan.

Dua jempol untuk Mandra

Eh apa aku cuma mimpi ya?/Dee Company
Eh apa aku cuma mimpi ya?/Dee Company
Dari departemen akting, honestly kehadiran Mandra sebagai tukang gali kubur adalah penampilan yang paling memberikan gelak tawa paling meriah. Walaupun gaya dan celetukan komedinya sering tampil di setiap karya yang ia mainkan, tapi kehadirannya tetap nggak bisa diabaikan.

Mandra tampil betul-betul sangat effortless.

Pujian lain juga perlu diberikan pada sang pemeran utama Acha Septriasa yang kali ini memerankan dua karakter beda sebagai Mumun dan Mimin. Karakter Mumun terasa lebih 'soft' sementara Mimin lebih 'rebel'.

Walau tidak berada performa terbaiknya, Acha sudah berusaha memberikan sentuhan agar penonton bisa membedakan karakter Mumun dan Mimin. Baik itu dari pengucapan dialog dan intonasi, juga dari ekspresi wajah.

Waspada penyalahgunaan data pribadi

Muda, kaya, menggoda/Dee Company
Muda, kaya, menggoda/Dee Company
Sesungguhnya, pengembangan cerita Mumun yang turut juga menyelami masalah keluarga adalah hal terbaik yang bisa didalami lebih jauh.

Termasuk ketika Mumun menjadikan persoalan utang menjadi masalah utama. Bermula dari Mimin yang meminjam duit puluhan juta tapi menggunakan data dan KTP Mumun. Belum lagi 'alasan tersembunyi' Mimin melakukan itu semua, bisa menjadi isu sosial budaya yang seyogianya bisa menjadi 'upgrade' dari versi serialnya.

Nah, waspadalah buat kalian yang kembar identik yang punya wajah yang sulit dibedakan. Iri dikit, mainannya bisa jadi utang piutang. Ngerilah kalau sampai ditagih utang sama debt collector, padahal kita nggak melakukan apa-apa.

Dengan segala kepatuhan terhadap serialnya, Mumun terasa hanya jadi sebagai rangkuman dari versi serialnya. Tentang bagaimana Mumun menjadi pocong. Sehingga yang terasa upgrade hanya soal desain produksinya saja.

Tapi, jika tujuannya hanya untuk nostalgia, Mumun berhasil melakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun