"Maka di hari kematianku, kawan
Pastikan suaraku datang melaut
Pastikan jiwaku menjadi bagian dari api
Pastikan ruhku menghidupi sajak iniÂ
Biarkan kata-kataku meniupkan ruh perlawanan ini"Â
Larik sajak di atas merupakan penggalan puisi karya Soetardji Calzoum yang menjadi jiwa dari novel Laut bercerita karya Leila S. Chudori yang dicetak pertama kali pada Oktober 2017. Bahwasanya novel ini bukan hanya sekadar novel fiksi-historikal, melainkan sebuah gambaran sejarah kelam Indonesia pada masa orde baru 1990-an dimana hak asasi manusia warganya tidak dilindungi.Â
Negara bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan para aktivis yang ingin terbebaskan dari rezim otoriter pada era Soeharto. Kisah Biru Laut dan kawan-kawannya menjadi simbol perjuangan yang dibungkam oleh penyiksaan, kekerasan, dan penghilangan paksa. Ketiadaan kejelasan atas nasib mereka menciptakan rasa kehilangan yang membuat orang-orang terdekat hidup dalam ketidakpastian.
 Di mana anakku? Di mana ia tinggal? Apa ia sudah makan? Apa ia baik-baik saja? Apa ia masih hidup? Atau sudah tiada? Di mana makamnya? Di mana jasadnya?
Dengan berlatarkan waktu tahun 1990-an, novel ini mampu membius pembacanya untuk menerobos ruang masa lalu dan menyelami sejarah kelam Indonesia mengenai bagaimana hak asasi manusia diinjak-injak oleh kekuasaan.Â
Sinopsis buku Laut Bercerita