Mohon tunggu...
raissa raihana
raissa raihana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program studi Kesejahteraan sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendapat atas Tulisan "Bahasa Kalbu di Tangga Birokrasi: Air Mata, Lagu dan Kuasa dalam Perpisahan Sri Mulyani"

30 September 2025   14:30 Diperbarui: 30 September 2025   14:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini mengangkat peristiwa perpisahan Sri Mulyani Indrawati dari Kementerian Keuangan yang dikemas dengan nuansa emosional melalui lagu Bahasa Kalbu dan ritual simbolik di Gedung Djuanda. Peristiwa tersebut tidak sekadar menjadi acara formal birokrasi, melainkan berubah menjadi sebuah teater emosional yang sarat makna. Tangga birokrasi, air mata, serta nyanyian bersama menjelma sebagai koreografi yang membangun citra kepemimpinan Sri Mulyani bukan hanya sebagai pejabat publik, tetapi juga sebagai figur “ibu bangsa” yang dilepaskan dengan penuh kesedihan.

Dari perspektif komunikasi kritis, adegan ini memperlihatkan bagaimana tubuh, ruang, dan simbol digunakan untuk menciptakan makna politik. Lagu Bahasa Kalbu yang dipilih sebagai latar emosional seakan menekankan bahwa perpisahan tidak dibingkai dalam diskursus rasional mengenai kebijakan fiskal, defisit anggaran, atau persoalan ketimpangan sosial, melainkan diarahkan ke ranah sentimental: kasih sayang, pengorbanan, dan kehilangan. Dengan demikian, air mata yang tumpah tidak hanya dimaknai sebagai luapan perasaan tulus, tetapi juga sebagai bentuk emotional labor—ritual loyalitas yang mempertegas hierarki dalam birokrasi.

Media massa kemudian berperan memperkuat narasi tersebut dengan cara mengabadikan dan menyiarkan momen penuh air mata ini dalam bingkai puitis. Publik disuguhi gambaran sentimental yang mengikat Sri Mulyani dengan identitas emosional, sehingga perpisahannya lebih diingat sebagai kisah dramatis daripada momentum untuk menilai kembali warisan kebijakan atau menyoal relasi kuasa di balik pergantian menteri. Dengan kata lain, politik simbolik berhasil menutupi wacana kritis yang seharusnya bisa muncul di ruang publik.

Pendapat yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah bahwa perpisahan Sri Mulyani menunjukkan bagaimana birokrasi modern tidak hanya bergerak dengan angka, regulasi, dan kebijakan teknis, tetapi juga memanfaatkan bahasa simbol, ritual, dan afeksi. Kesyahduan yang ditampilkan justru menjadi bukti bahwa kekuasaan sering kali bekerja lewat emosi kolektif. Namun, hal ini sekaligus mengundang pertanyaan: apakah dramaturgi emosional ini sungguh tulus, atau justru menjadi tirai yang menutupi persoalan mendasar tentang politik anggaran dan struktur kekuasaan? Tulisan ini menegaskan bahwa politik hadir bukan hanya dalam kebijakan rasional, tetapi juga dalam konstruksi emosional yang memengaruhi cara publik memahami dan mengingat seorang pemimpin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun