Mohon tunggu...
Fiksiana

Aroma Kasih Ibu Kepada Beta

28 Desember 2017   22:12 Diperbarui: 30 Desember 2017   16:26 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: pinterest.co.uk/hellohardcandy

Kasih ibu yang tak terhingga sepanjang masa. Terdengar klise dan masih saja dilantunkan. Kadangkala kalimat ini terlihat sebagai pelarian akhir sebagai alasan untuk, bagaimana pendapatmu mengenai jasa ibumu? Cengeng sekali.

Lamat-lamat memikirkan tentang ibu perasaan siapa yang tidak terenyuh? Air mata bahkan terkuras, dan bahkan ku kuras lebih lagi jika mengingat semua perlakuan ibu padaku. Aku rindu ibu. Ya ibu, sosok ibu. Bukan sekadar wanita dewasa yang melahirkan dan merawatku hingga tumbuh. 

Ah, itu semua bisa jadi dustaku saja ibu. Sejujurnya, barangkali akulah satu-satunya anak yang hampir tak meneteskan air mata saat mengingatmu seperti terlebih pada acara muhasabah di sekolah menjelang ujian nasional. Karena apa ibu? Karena, air mataku sudah lama mengering dan tandus jauh sebelum ujian duniawi itu akan dimulai. Aku menangisimu jauh ketika aku berumur dua tahun. Masih terlalu kecil, tapi aku dapat mengingatnya dengan jelas.

Kala itu, kau entah kusebut wanita karir atau apa acapkali meninggalkanku di rumah dengan saudara-saudara yang lain. Aku tidak ingat apakah aku pernah diajarkan untuk makan dengan tangan kanan olehmu, atau kita harus mengucapkan terima kasih sesudah menerima sesuatu dari orang, seperti anak-anak pada umumnya. 

Hal yang paling kuingat darimu adalah bau peluh dan buah tangan yang kau bawa saat malam menjelang, kau pulang dari mencari nafkah  saat itu. Aku hapal betul seret langkah khas dari mu saat mendekati pintu masuk. Setiap kali ada langkah yang berbunyi aku selalu mencoba menebak, barangkali itu langkah ibu, ah tidak seperti itu, langkah ibuku terasa jauh lebih sigap. Berkali-kali tanpa pernah bosan, dan sembari mengintip di ujung tirai, ah aku benar.

Aku sudah terbiasa menciumi keringatmu yang menempel pada tubuh lusuh itu setiap kali kau pulang bekerja. Tidak seperti sekarang, aku hanya mampu merasakan. Maka kucoba bayar itu semua dengan mencucikan pakaian-pakaian bekas kau pakai dengan bangga. Ibu, hari ini aku mencucikan seluruh pakaianmu, begitu kataku mengharap pujian darimu. Kau hanya tersenyum simpul. 

Beranjak memasuki bangku sekolah paling awal, aku mulai merasakan kesepian yang mendalam tanpa ibu di sampingku saat menjalani aktivitas-aktivitasku. Murid-murid TK pada umumnya diantar oleh ibu mereka, sementara aku? Ah, sudah bagus diantar kakak daripada berjalan sendirian. Genggaman kecil teman-temanku berhasil membuatku iri, aku hanya mampu merasakan angin dalam telapak tanganku. 

Pada suatu ketika, saat itu barangkali aku berada pada puncak kerinduanku padamu, ibu. Begitu membuka pintu rumah yang terkunci, tanpa mengganti pakaian sekolahku terlebih dahulu langsung saja aku menuju ke tempat tumpukan pakaian kotor dan mengais-ngais. Mencoba  mencari pakaian bekas ibu. Aku perlu mengingat harum peluh ibu, batinku.

Aku tidak boleh lupa dengan aroma tubuh ibu, aku rindu akan ibu. Perlahan air mata berurai berjatuhan. Aku yang tak begitu pandai menggambar wajah ibu dengan imajinasiku setidaknya hapal akan aroma  keringat beliau. Bahkan jika seseorang memberikanku hadiah mewah pun saat itu, tetap saja pakaian kotor beraroma ibu lebih menarikku dan akan selalu kupeluk erat. Cucuran keringat ibu adalah bukti perjuangan ibu bagiku, dan adalah hadiah terbesar bagiku.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun