Mohon tunggu...
Kebijakan

Orientasi Kebijakan Sensitif Gender Partai Buruh Australia (ALP)

25 Oktober 2018   07:10 Diperbarui: 25 Oktober 2018   08:48 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 1990an 'kurangnya representasi perempuan' atau 'under-representation of women' menjadi slogan kuat yang menghasilkan inisiatif kebijakan di setiap tingkatan sistem politik, nasional hingga internasional. Representasi perempuan dalam pembuatan kebijakan menjadi salah satu isu utama terkait gender dan identitas lainnya. Hal ini disepakati secara global melalui Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). 

Dalam konvensi tersebut memuat argumen-argumen keadilan mengenai kesetaraan hak perempuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Ketidakhadiran perempuan dalam jabatan parlemen dianggap sebagai diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung (Sawer, 2002). Dalam konteks ini kehadiran perempuan dalam posisi-posisi parlemen dituntut untuk ada agar dapat mengadvokasikan kepentingan-kepentingan gender dan menciptakan institusi pemerintahan yang lebih sensitif gender.

Isu gender sendiri masih menjadi isu yang sangat relevan dalam konteks keterwakilan perempuan di parlemen Australia---mengingat populasi perempuan di Australia mencapai 50,2 persen (Australian Bureau of Statistics). Pasalnya, meski merupakan salah satu dari negara-negara demokrasi yang mempromosikan hak-hak asasi manusia---termasuk di dalamnya hak-hak politik perempuan---pada implementasinya, Australia masih lambat dalam mengoptimalkan keterwakilan perempuan di institusi pemerintahan seperti parlemen.

Parlemen sendiri merupakan pusat dari sistem pemerintahan Australia, dan Perdana Menteri merupakan jabatan tertinggi di pemerintahan pada Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives). Terpilihnya Julia Gillard sebagai Perdana Menteri Australia ke-27 menjadi momentum tersendiri terkait peningkatan keterwakilan perempuan dalam institusi pemerintahan. Julia Gillard merupakan PM pertama perempuan Australia yang sebelumnya menjabat sebagai wakil PM perempuan pertama Australia. Meski terpilihnya Gillard sebagai PM pengganti Kevin Rudd dipengaruhi oleh dinamika internal Partai Buruh Australia (ALP) (Alami, 2010), hal ini tetap menjadi momentum berserjarah Australia dan menjadi starting point yang baik untuk perkembangan representasi perempuan dalam institusi pemerintahan Australia.

Hal ini terlihat dari keterwakilan perempuan di parlemen Australia yang sudah memenuhi angka critical mass yakni 32 persen, dengan Partai Buruh Australia (ALP) yang 'menyumbangkan' representasi perempuan tertinggi di parlemen (BBC, 2017). Dalam konteks internasional sendiri representasi perempuan di parlemen Australia menduduki peringkat ke-41. Masih jauh di bawah negara tetangga, New Zealand (peringkat ke-17), namun berada di atas negara Inggris (peringkat ke-48) dan Amerika (peringkat ke-69). Tidak hanya di parlemen, representasi perempuan di senat pun sudah mencapai angka 38,2 persen, lebih tinggi dibandingkan Inggris dan Amerika Serikat (McCann, 2012).

Peranan serta figur Gillard dari ALP dalam institusi pemerintahan pun mempengaruhi orientasi dan penekanan kebijakan partai buruh yang lebih sensitif gender. Hal ini menarik karena mulanya pembentukan ALP cenderung maskulin dengan mayoritas anggota partai laki-laki. Keanggotaan perempuan dalam internal partai buruh sendiri belum dianggap sebagai prioritas utama partai (Alami, 2010). Sehingga agenda dan isu yang diangkat partai belum didominasi oleh isu-isu gender.

Namun seiring perkembangannya, ALP menjadi partai besar yang gencar mempromosikan isu gender dalam agenda politiknya. Pada tahun 1981, Konferensi ALP mendukung kebijakan afirmatif di mana perempuan harus memegang 30 persen dari semua posisi internal partai. Pada tahun 1994 ALP mengadopsi kuota 35 persen sebagi kandidat pemilihan. 

Proporsi kandidat perempuan yang dipilih sebelumnya meningkat dari 14,5 persen pada pemilu 1994 menjadi 35,6 persen pada pemilu 2010. Tidak hanya itu, dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan representasi perempuan di institusi pemerintahan ALP membentuk program pelatihan, mentoring, dan pengukuhan jaringan perempuan pada ALP's National Labor Women's Network. Orientasi kebijakan partai ALP yang lebih sensitif gender ini tentu akan mendorong kesetaraan gender dalam parlemen Australia (McCann, 2012).

Komitmen Partai Buruh Australia dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam institusi pemerintahan juga terlihat pada kuota gender partai sebagai anggota parlemen perempuan hingga 40 persen (Sojo dan Wheeler).  Mereka pun berupaya untuk menetapkan target 50 persen perwakilan perempuan dalam peran pelayanan publik senior pada 2025 (Crowe, 2018). Hasil pemilu 2016 pun menujukkan bahwa implementasi kuota dalam meningkatkan representasi perempuan masih efektif. Dengan adanya ALP's National Labor Women's Network (McCann, 2012) yang dicanangkan oleh partai buruh ini pun dapat mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam struktur politik, baik di internal partai maupun pemerintahan.

Dalam konteks tersebut, negara-negara yang tingkat 'under-representation of women' masih tinggi, termasuk Indonesia, perlu merancang kebijakan-kebijakan yang lebih responsif gender untuk meningkatkan keterwakilan peempuan dalam institusi pemerintahan. 

Meski diperlukan waktu yang lama bagi Australia untuk mengoptimalkan keterwakilan perempuan dalam institusi pemerintahan, upaya Australia dalam mencapai angka critical mass pada parlemen sebagai kebijakan afirmasi patut diapresiasi. Secara prosedural, upaya affirmative action yang dilakukan Indonesia maupun Australia masih terbilang baru. Kendati demikian, Australia sudah mampu mencapai angka 32 persen keterwakilan perempuan di parlemen, sedangkan angka massa kritis yang berhasil didapat Indonesia baru sebatas pencalonan kandidat perempuan dalam pemilu legislatif dan kepengurusan perempuan dalam internal partai politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun