Isu sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu konflik perbatasan yang paling lahir antara Indonesia dan Malaysia, sengketa ini telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade pada tahun 1967 hingga 2002. Kedua pulau kecil yang terletak di Selat Makassar, antara Kalimantan dan Sabah, ini memiliki nilai strategis dan potensi ekonomi, terutama dalam bidang pariwisata dan sumber daya laut. Sengketa ini bermula dari ketidakjelasan garis batas wilayah yang diwariskan oleh kekuasaan kolonial Belanda dan Inggris. Ketika Indonesia dan Malaysia merdeka, batas-batas wilayah yang dibuat oleh kedua negara penjajah tersebut tidak sepenuhnya jelas dan tumpang tindih, sehingga menimbulkan klaim yang saling bertentangan antara indonesia dengan malaysia
Klaim wilayah yang dilakukan oleh Indonesia memiliki dasar pada perjanjian kolonial yang meliputi perjanjian antara negara inggris dan belanda, dari perjanjian kolonial tersebut Indonesia menjelaskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada dalam wilayah bekas jajahan belanda yang kemudian terjadi pewarisan wilayah ke Indonesia. Pada sisi malaysia, merke berpendapat bahwa Wilayah Sipadan dan Ligitan memiliki landasan historis berada dibawah penguasaan Inggris sehingga malaysia bersama Inggris melakukan aktivitas seperti budidaya dan praktik pengelolaan dilapangan seperti pembangunan mercusuar. Eskalasi sengektea mulai meningkat pada tahun 1967 dalam pertemuan teknis mengenai hukum laut, dimana Indonesia dan Malaysia memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam klaim wilayah masing-masing. Pada 1969, kedua negara tersebut sepakat menetapkan status quo yang melarang salah satu pihak menduduki atau melakukan aktivitas di pulau-pulau tersebut hingga sengketa diselesaikan. Namun, interpretasi status quo ini berbeda: Malaysia menganggap pulau tersebut tetap berada di bawah kendalinya dan mulai membangun beberapa fasilitas pariwisata , sementara Indonesia menganggap tidak boleh ada aktivitas apapun sampai ada keputusan yang pasti terkait sengketa tersebut.
Ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia atas sengketa tersebut meningkat ketika Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya pada tahun 1979 dan memberikan izin pembangunan di sana, sehingga menimbulkan protes oleh pemerintah Indonesia. Indonesia serta malaysia telah melakukan beberapa upaya diplomasi secara bilateral untuk mengelola permasalahan sengketa tersebut selama bertahun-tahun namun upaya tersebut gagal menemukan solusi, sehingga pada 1997 kedua negara sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk penyelesaian hukum. pada 17 Desember 2002, ICJ mengeluarkan putusan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia. Keputusan ini didasarkan pada sejumlah faktor, terutama bukti praktik pengelolaan pulau oleh Malaysia, seperti pembangunan mercusuar dan fasilitas pariwisata yang menunjukkan klaim yang sah atas pulau-pulau tersebut. ICJ juga menilai peta-peta lama dan perjanjian-perjanjian kolonial yang diajukan kedua pihak, serta prinsip hukum internasional terkait kedaulatan wilayah. Indonesia menerima keputusan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap hukum internasional dan komitmen menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Malaysia, meskipun keputusan tersebut tidak berpihak ataupun menguntungkan Indonesia
Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sangat erat kaitannya dengan diplomasi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, karena proses penyelesaiannya melibatkan berbagai tahap negosiasi dan mekanisme hukum internasional. Diplomasi perbatasan dalam konteks ini mencakup upaya negosiasi bilateral yang intensif, di mana kedua negara berusaha mencari titik temu dan mengelola ketegangan melalui dialog terbuka dan kesepakatan sementara seperti status quo. Namun, ketika diplomasi politik menemui jalan buntu, kedua negara memilih untuk menggunakan jalur hukum internasional dengan membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Hal ini menunjukkan komitmen kedua negara untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan berdasarkan aturan hukum internasional, bukan dengan konfrontasi atau kekerasan.
Selama proses sengketa, diplomasi perbatasan juga berfungsi untuk mengelola ketegangan agar tidak bereskalasi menjadi konflik militer atau politik yang lebih besar. Kesepakatan status quo, meskipun mendapatkan penafsiran berbeda oleh pihak Indonesia maupun Malaysia, Diplomasi berperan sebagai mekanisme pencegahan konflik. Selain itu, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk memperkuat pengawasan dan pengelolaan wilayah perbatasan agar klaim kedaulatan dapat ditegakkan secara nyata, sehingga menghindari isu sengketa yang sama di masa yang akan datang.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan menggarisbawahi pentingnya kejelasan batas wilayah yang diatur secara tegas sejak masa kolonial dan ditindaklanjuti secara konsisten oleh negara merdeka. Ketidakjelasan batas yang diwariskan kolonialisme menjadi akar utama konflik yang berlarut-larut. Selain itu, kasus ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa wilayah yang efektif memerlukan kombinasi diplomasi bilateral yang intensif dan penggunaan mekanisme hukum internasional. Penghormatan terhadap putusan hukum internasional juga menjadi kunci menjaga stabilitas hubungan antarnegara tetangga.
Diplomasi perbatasan yang baik harus melibatkan dialog terbuka, transparansi, dan kesepakatan sementara yang jelas agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan potensi konflik baru antara negara terkait. Pengelolaan wilayah perbatasan secara aktif juga penting untuk menunjukkan kedaulatan dan menghindari klaim pihak lain. Kasus ini menjadi konflik antara Indonesia dengan Malaysia merupakan contohkonflik perbatasan yang sering terjadi dimana faktor terjadinya sengketa didasari oleh sejarah kolonial, kepentingan geopolitik, dan hukum internasional, sehingga sengketa tersebut terbilang cukup kompleks. Penyelesaiannya melalui Mahkamah Internasional menegaskan pentingnya diplomasi perbatasan yang mengutamakan dialog, hukum, dan penghormatan terhadap keputusan bersama. Meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan semua pihak, pendekatan damai dan legal tetap menjadi jalan terbaik dalam mengelola konflik wilayah antarnegara, menjaga perdamaian, dan memperkuat hubungan bilateral.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI