Kode etik adalah pedoman moral yang mengatur perilaku seorang profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam bidang informatika, kode etik memiliki posisi penting karena teknologi yang dikembangkan dapat memengaruhi banyak orang. Association for Computing Machinery (ACM), organisasi internasional terbesar di dunia untuk profesional komputasi yang berfokus pada kemajuan ilmu pengetahuan dan profesi di bidang teknologi informasi dan komunikasi, menetapkan kode etik untuk pekerja teknologi informasi (TIK) seperti halnya yang diterapkan untuk hakim dalam menjalankan fungsi dan pekerjaan mereka. Di Indonesia, kode etik informatika diatur oleh organisasi seperti APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) serta BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Sementara secara global, IEEE dan ACM menjadi rujukan utama kode etik teknologi informasi.
Prinsip-prinsip umum kode etik di bidang informatika mencakup:
- Tanggung Jawab Sosial : Teknologi harus digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk merugikan.
- Kerahasiaan dan Privasi : Data pengguna harus dijaga kerahasiaannya. Misalnya, data kesehatan pasien tidak boleh disalahgunakan.
- Kejujuran dan Transparansi : Tidak boleh melakukan manipulasi data atau menyesatkan pengguna.
Keadilan : Memberikan akses teknologi yang adil tanpa diskriminasi.
Kompetensi : Tidak menerima pekerjaan di luar kemampuan, agar hasilnya tidak merugikan pihak lain.
      Standarisasi kualifikasi profesi merupakan suatu upaya untuk menetapkan kerangka acuan mengenai kemampuan, keterampilan, serta pengetahuan yang harus dimiliki oleh tenaga kerja di bidang informatika. Tujuan utama dari standarisasi ini adalah agar setiap individu yang bekerja di bidang teknologi informasi memiliki kompetensi yang diakui secara nasional maupun internasional, sehingga kualitas kerja dapat terjamin dan dapat memenuhi kebutuhan industri yang terus berkembang.
Di Indonesia, standarisasi ini diwujudkan melalui beberapa instrumen penting, yaitu:
- SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) :
    SKKNI menetapkan standar kompetensi tenaga kerja pada bidang tertentu, termasuk Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Standar ini menguraikan unit-unit kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang profesional, misalnya penguasaan pemrograman, analisis sistem, manajemen basis data, hingga keamanan jaringan. SKKNI juga menjadi dasar bagi lembaga pendidikan maupun pelatihan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri.
- Sertifikasi Profesi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) :
    BNSP berperan dalam mengeluarkan sertifikat kompetensi bagi tenaga kerja yang telah dinyatakan memenuhi standar SKKNI. Sertifikasi ini memberikan pengakuan resmi bahwa seseorang memiliki keahlian di bidang tertentu. Misalnya, seorang programmer yang lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat resmi yang dapat dijadikan bukti kompetensi saat melamar pekerjaan.
- Asosiasi Profesi dan Dunia Pendidikan :
    Organisasi seperti APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) turut berperan dalam standarisasi kualifikasi dengan menyusun kurikulum yang relevan, membangun kode etik profesi, serta menjembatani kebutuhan antara dunia pendidikan dan industri. Dengan adanya asosiasi profesi, lulusan dari perguruan tinggi informatika di Indonesia diharapkan memiliki kompetensi yang sejalan dengan standar global.
Selain standar nasional, terdapat juga standar internasional yang banyak diakui, seperti:
- Sertifikasi Cisco (CCNA, CCNP) : untuk kompetensi jaringan komputer.
- Microsoft Certified (MCSE, MCSA) : untuk administrasi sistem dan infrastruktur TI.
- CompTIA (A+, Security+, Network+) : untuk dasar-dasar keamanan dan jaringan.
- SFIA (Skills Framework for the Information Age) : kerangka kerja global yang mendefinisikan keterampilan TI sesuai level jabatan.
        Manfaat adanya standarisasi kualifikasi profesi di bidang informatika sangatlah besar. Pertama memberikan jaminan kualitas sumber daya manusia di bidang TI. Kedua memudahkan perusahaan dalam proses rekrutmen karena kompetensi calon tenaga kerja dapat diukur secara jelas. Ketiga meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global karena kompetensinya diakui secara internasional. Keempat membantu dunia pendidikan dan pelatihan dalam menyesuaikan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri.
        Dengan standarisasi kualifikasi profesi bidang informatika bukan hanya sekadar aturan administratif, tetapi juga sebuah kebutuhan strategis. Tanpa adanya standar yang jelas sulit untuk memastikan kualitas dan integritas tenaga kerja di bidang informatika terutama di era transformasi digital yang menuntut kecepatan, keamanan, dan inovasi.
    Profesi informatika membutuhkan keahlian khusus, etika, dan pembelajaran terus menerus untuk mengikuti kemajuan teknologi.  Teori profesionalisme adalah fondasi penting yang memastikan bahwa praktisi tidak hanya memiliki keahlian teknis tetapi juga bermoral, disiplin, dan mampu bekerja sama untuk mencapai solusi yang bermanfaat bagi masyarakat.  Seorang profesional di bidang ini harus fleksibel, berorientasi pada kualitas, dan menjalankan bisnis secara moral.
    Sebagai pedoman moral untuk penggunaan teknologi agar tidak disalahgunakan dan tetap berorientasi pada kepentingan publik, kode etik sangat penting.  Setiap pengambilan keputusan harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti kompetensi, tanggung jawab sosial, kerahasiaan, kejujuran, dan keadilan.  Selain itu, standarisasi kualifikasi profesi, seperti sertifikasi BNSP, SKKNI, dan standar internasional, menjamin kualitas dan mengakui kompetensi, dan berfungsi sebagai penghubung antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Oleh karena itu, tenaga kerja informatika dapat menjawab tantangan era digital secara etis, profesional, dan berdaya saing di seluruh dunia dengan memadukan profesi, profesionalisme, kode etik, dan standar kualifikasi.