2. Pandangan Buddhisme tentang Karakter
Dalam Buddhisme, karakter manusia tidak dianggap sebagai sesuatu yang tetap atau melekat selamanya. Ia terbentuk dari kamma (karma), cetana (niat), dan sankhara (kebiasaan mental) yang terus berkembang. Dengan kata lain, karakter adalah hasil dari tindakan, ucapan, dan pikiran yang berulang.
a. Anatta: Tiadanya Diri Kekal
Konsep anatta (tanpa diri) mengajarkan bahwa tidak ada "aku" yang tetap. Ini berarti karakter seseorang dapat berubah. Seseorang yang dulunya pemarah bisa menjadi sabar melalui latihan batin dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, dalam Buddhisme, menilai karakter harus dilakukan dengan welas asih (karuna) dan kebijaksanaan (panna), bukan dengan penilaian mutlak.
b. Cetana sebagai Inti Karakter
Dalam Abhidhamma, cetana (niat) dianggap sebagai inti dari tindakan karma. Artinya, kualitas karakter seseorang tidak hanya dilihat dari apa yang ia lakukan, tetapi dari niat yang melandasi perbuatannya. Dua orang bisa melakukan hal yang sama secara lahiriah, namun karakternya berbeda karena niatnya berbeda. Misalnya, memberi sedekah bisa lahir dari kasih atau dari keinginan dipuji.
c. Jalan Tengah dan Pengendalian Diri
Buddhisme menilai karakter baik sebagai buah dari sla (moralitas), samadhi (konsentrasi), dan pa (kebijaksanaan). Karakter baik bukan hanya tentang moral, tapi juga keseimbangan batin. Orang yang berkarakter adalah orang yang mampu menjaga pikirannya dari kemarahan, keserakahan, dan kebodohan batin (lobha, dosa, moha).
> "Pikiran mendahului segalanya. Bila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya. Bila ia berbicara atau bertindak dengan pikiran jernih, kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayangan yang tak terpisahkan." --- Dhammapada 1--2
3. Integrasi Ilmu dan Kebijaksanaan Batin
Menilai karakter manusia secara utuh perlu menggabungkan pendekatan ilmiah dan spiritual: