Sebuah percakapan membuat saya teringat perjalanan ke Lihaga dan Likupang delapan tahun lalu. Kini, Likupang makin elok dan fasilitasnya makin komplet. Namun, masih ada setumpuk ide dan harapan di kepala, supaya wisata di Likupang semakin bergema nantinya.
“Kembali lagi ke Lihaga, kaka. Ko tak akan menesel, Lihaga sekarang punya dermaga, kafé, dan toilet.”
Begitu kata Yannis, kenalan saya asal Minahasa. Dia mengatakan ini karena sewaktu saya datang ke Lihaga delapan tahun lalu, saya protes ke dia soal ketiadaan toilet di sana. Bilik toilet memang sudah ada, tapi tak ada air. Bagaimana saya membersihkan diri setelah berenang seharian?
Tapi itu dulu. Saat itu, Lihaga belum terdengar namanya. Pulau seluas 8 hektar ini yang terletak di Likupang, Minahasa Utara ini “hanyalah” sebuah surga tersembunyi yang diketahui segilintir orang--saya juga baru tahu karena diajak Yannis. Fasilitas tak ada sama sekali, benar-benar masih alami dan perawan. Tak ada dermaga. Dari perahu, saya dan kawan-kawan mesti berjalan di dalam air setinggi pinggang untuk mencapai tepian pantai Pulau Lihaga.
Namun kini, sejak Likupang dijadikan Destinasi Super Prioritas (DSP) oleh pemerintah Indonesia, nama Lihaga mulai mencuat. Banyak wisatawan yang memasukkan Lihaga sebagai salah satu destinasi yang wajib dikunjungi ketika menuju Likupang.
Selain ada toilet, kini di Lihaga sudah ada dermaga kayu dan bangku-bangku berpayung untuk bersantai. Bahkan sudah ada dua buah kafé di sana yang dilengkapi dengan bean bag berwarna warni yang diletakkan di atas hamparan pasir.
Wisatawan juga dapat bermain kano yang dibuat dari fiber transparan sehingga bisa sekalian mengintip ikan-ikan yang berlalu lalang di bawah kano.
Dari dulu Lihaga memang indah. Hamparan pasir putih membentang di sepanjang pantai, ditambah pohon-pohon yang setengahnya mulai mengering, bersanding kontras dengan langit yang biru dan air laut yang sebening kristal. Benar-benar surga di Wonderful Indonesia. Bikin semua ingin wisata di Indonesia Aja.