Mohon tunggu...
Rahmatullah Syabir
Rahmatullah Syabir Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Alauddin Makassar

Penulis Partikelir. Nulis sekedar hobi saja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Antara Dalil Meniup Terompet dan Matinya Ekonomi Penjual Terompet

30 Desember 2020   20:02 Diperbarui: 30 Desember 2020   20:09 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penjual dan Pembeli Terompet. (Sumber: Murianews.com)

Perdebatan-perdebatan klasik di Indonesia yang tiap tahun selalu berulang dan tidak pernah selesai, menandakan bahwa kita belum mampu menghargai dan menghormati keputusan maupun keyakinan orang lain yang berbeda.

Perdebatan tentang boleh tidaknya memberikan ucapan selamat natal oleh umat muslim yang baru saja kemarin dihelat oleh umat kristiani merupakan kepingan percekcokan klasik antara muslim moderat dengan muslim konservatif, yang apabila ditarik kesimpulan siapa benar dan siapa salah tentu hasilnya ya begitu saja--tidak ada yang mengalah, plus menuding sesat yang tak sepaham.

Ini tentu hal wajar karena pendapat setiap orang itu kan beda-beda, yang tidak wajar adalah label bid'ah bahkan murtad seringkali disematkan kepada yang tak sepaham walaupun seagama. Label murtad itu bukan perkara ucap natal atau tidak, namun yang menuduh murtad itu apakah dia memiliki otoritas untuk mengatakan demikian. Begitu pun bid'ah, apapun yang dilakukan orang lain namun tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW selalu dikatakan bid'ah oleh mereka yang menganggap dirinya paling suci sedunia.

Dosen saya pernah bilang begini "Ketika menyangkut hal ibadah, selama ada perintah itu boleh dilakukan, dan ketika menyangkut hal muamalah selama tidak ada larangan itu boleh dilakukan. Dan apabila kedua ini terbalik, maka itulah disebut bid'ah". Jelas dosen saya. Ini sudah membuat saya mengerti untuk tidak mengucapkan bid'ah kepada seseorang dengan sembarangan.

Perkara ucapan selamat natal boleh kita skip dulu, tunggu tahun depan lagi. Sekarang kita bahas yang lagi ramai, yaitu soal boleh tidaknya meniup terompet dan memeriahkan tahun baru oleh umat muslim. Juga setiap tahun selalu menjadi perdebatan yang sangat melelahkan bagi mereka yang emosinya meluap-luap ketika pemahamannya ditentang orang lain.

Bagi mereka yang melarang terompet dan tahun baru, dia beranjak ketika Nabi Muhammad SAW memikirkan bagaimana cara untuk mengumpulkan orang shalat berjamaah. Maka ada usulan bahwa dengan menggunakan bendera, namun nabi tidak menyetujui. Ada usulan menggunakan terompet, nabi mengatakan itu kebiasaan orang Yahudi, dan ada yang mengusulkan lonceng namun nabi juga menolaknya karena itu kebiasaan orang Nasrani.

Maka dari itu, mereka mengatakan bahwa meniup terompet tidak boleh dilakukan oleh umat muslim, karena itu adalah kebiasaan orang Yahudi. Terutama juga perihal tahun baru yang sama sekali tidak pernah nabi lakukan. Untuk ini, kita boleh sepakat dengan alasan yang melarang terompet dan tahun baru. Namun perkara muncul, ketika menyangkut hak dan martabat seseorang, yaitu para penjual terompet, pembuat terompet, anak-anak yang bahagia ketika meniup terompet, dan bagi mereka yang senang ketika merayakan tahun baru.

Bagi para penjual terompet, walaupun ini musiman, namun keuntungan dari penjualannya bisa menghidupi keluarganya. Begitupun para pembuat terompet, mungkin keahliannya ini bisa juga berguna dan menghasilkan pundi-pundi rupiah yang bisa menghidupinya. Apalagi anak-anak yang senang dengan terompet, apakah kita rela merenggut kebahagiaan mereka? Pertanyaan yang sama juga bagi mereka yang suka kumpul-kumpul alias silaturahim ketika tahun baru. Lantas kita melarang?

Bayangkan saja, pendapatan atau keuntungan dari penjualan terompet bisa saja membelikan anak mereka baju sekolah, buku, alat tulis, tas dan sebagainya yang sebentar lagi memasuki awal sekolah, ditambah lagi untuk makan sehari-hari, lalu lantas kita "memurtadkan" mereka dengan alasan tidak boleh meniup terompet yang kemudian membuat pembeli terompet semakin berkurang. Begitupun dengan para pembuat terompet dan mereka yang berbahagia ketika tahun baru tiba.

Ketika kita pahami hal itu dengan kondisi  yang tenang tanpa emosi, mari kita telaah maksud baginda Nabi Muhammad SAW dengan dalil tersebut. Nabi Muhammad mengatakan demikian, karena pada waktu itu menyangkut panggilan untuk sholat, karena tidak masuk akal ketika orang-orang muslim dipanggil dalam keadaan damai, lantas dipanggil dengan terompet yang merupakan kebiasaan orang Yahudi. Maka dari itu nabi tidak menyetujuinya. Bukan mengharamkannya ya. Konteksnya sangat berbeda dengan sekarang, terompet bukan untuk panggilan shalat dan juga tidak berniat untuk menyerupai orang Yahudi.

Selain itu, banyak hal juga yang bisa saja menimbulkan perdebatan-perdebatan, terkait pandangan agama atau dalil dengan realitas kondisi saat ini yang berbeda dengan kondisi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya saja penggunaan mobil, handphone, alat-alat elektronik dan sebagainya yang merupakan buatan orang non-muslim dan tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, tapi toh penggunanya dari kalangan umat muslim juga, karena alasan kebutuhan. Terus apa bedanya dengan penjualan terompet dan perayaan tahun baru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun