Mohon tunggu...
rahmat hidayat zein
rahmat hidayat zein Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku Menthawafi Kehidupan, Menziarahi Kemanusiaan

Lelaki biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bekas yang Membekas dan Terbawa ke Mana-mana

28 Agustus 2019   09:43 Diperbarui: 28 Agustus 2019   10:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah tidak terhitung lagi saya terlibat obrolan bertemakan pilpres yang pelaksanaannya sudah beberapa bulan yang lalu itu. Sebetulnya saya merasa agak senep kalau diajak ngobrol tentang itu. Tapi apalah daya, sebagai teman ngobrol yang baik, sayapun mengikuti saja obrolan itu. Sekenanya.

Maka bisa diterka, isi obrolan itu terpecah dua. Yang satu mengudal kekecewaan dan praduga-praduga tentang kecurangan pelaksanaan pilpres. Maklum, yang mengudal ini simpatisan 02. Sedang yang satunya lagi tentu saja mengudal glorifikasi kemenangan. Betapa calon 01 itu memang hebat. Pantas, ia simpatisan 01.

Seperti beberapa siang yang lalu, saya terlibat obrolan dengan seorang Pak Tua. Kebetulan ia juga simpatisan 01. Itu saya ketahui dari ucapan-ucapannya selama sebelum pilpres berlangsung.

Sepanjang obrolan dengan saya itu, Pak Tua mengisahkan bahwa ia telah memberitau ke beberapa temannya yang simpatisan 02. Ia memberitau jika yang memenangkan kompetisi nanti adalah calon 01, dengan beragam argumentasinya. Karena itu, lebih baik teman-temannya merubah haluan. Berhijrah, dari 02 ke 01.

Ternyata di luar dugaan, teman-temannya tidak ada yang percaya dengan nasihat politiknya. Mereka tetap keukeh pada 02. Sedang ia sendiri tetap yakin seyakin-yakinnya pada insting politiknya, bahwa 01-lah yang akan menang.

Hasilnya sudah kita ketahui, 01-lah yang menang. Makanya, karena kekalahan 02 itu, Pak Tua menyayangkan kenapa teman-temannya tidak mengikuti dawuhnya dulu. Sebab kalau mereka mengikuti dawuh-dawuhnya, rasa malu dan kecewa tidak akan muncul seperti sekarang ini.

***

Apa yang saya rasakan mendengar dawuh-dawuh Pak Tua itu? Tepat sekali, perut saya langsung senep, seperti saya ungkapkan di paragraf awal. Saya merasakan senep, sebab menurut hemat saya, bahasan-bahasan bertemakan pilpres sebenarnya tidak aktual lagi. Malah lebih pantas dianggap kadaluarsa.

Namanya saja kadaluarsa, maka sepanjang apapun pembahasannya, tak akan mampu menambah wawasan bagi pembahas dan pendengarnya. Biarpun itu dari simpatisan calon yang menang. Atau dari simpatisan calon yang kalah. Tak ada nilai tambah yang optimal untuk mengembangkan diri. Hehehe

Kalau boleh saya istilahkan, orang yang selalu membahas bahasan kadaluarsa tentang pilpres itu tak ubahnya sedang terkotak. Ia terkotak oleh pikirannya sendiri. Tidak mau out of the box, supaya bisa menghirup udara segar. Sebab bagaimanapun pergantian energi itu penting bagi tubuh. Lebih-lebih bagi kesehatan otak.

Kita pasti sangat berpengalaman dalam membedakan dan merasakan antara mengobrol dengan orang yang terbuka pikiran dan yang tertutup pikirannya. Betapa dengan orang yang tertutup pikirannya, yang tema obrolannya hanya yang itu-itu saja, membuat kita jemu. Senep. Bahkan tak jarang perut kita langsung masuk angin.

Berbeda ketika yang ada di depan kita itu orang yang open mind, pasti kita akan merasa memperoleh banyak wawasan. Sehingga tabungan pengetahuanpun semakin bertambah. Pikiranpun tersegarkan dengan mantap. Pikiran kita jadi ikut terbuka pula.

***

Di samping membuat pikiran buntu, tidak sehat dan spaneng, orang yang hanya punya bahasan yang itu-itu saja (tema pilpras pilpres tok), akan berakibat lainnya yang lebih buruk. Salah satunya, menurut hasil pertapaan saya di pinggir Sungai Brantas beberapa malam silam hehehe, adalah respon yang salah kaprah dalam memandang berbagai peristiwa akhir-akhir ini.

Peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, yang mana? Banyak sekali. Wabil khusus peristiwa yang ramai di media massa dan sosial, yang punya hubungan dengan isu agama dan politik. Saya catat ada dua: pendapat tentang salib oleh UAS dan demo besar-besaran masyarakat Papua menuntut merdeka karena ada perlakuan rasis kepada mereka.

Saya tidak perlu menguraikan secara terperinci satu persatu peristiwa yang viral itu, sebab Sodara-sodara bisa langsung browsing. Beberapa portal sudah memuat berita itu dengan panjang lebar. Sodara harus membaca semuanya jika ingin paham duduk persoalan yang sebenarnya.

Paling tidak setelah Sodara membaca semuanya, kemudian membaca komentar-komentar netizen di media sosial, akan langsung merasakan keanehan. Aneh yang saya maksud, bahwa dua peristiwa yang kini belum tuntas bahasannya tersebut, mendapat komentar yang terpecah. Dan lagi-lagi aroma keberpihakan pada 01 dan 02, masih nampak bergelora.

Komentar atau pandangan yang masih ada afiliasi kadaluarsa pada kontestan pilpres tersebut membuat pemikiran mereka tidak jernih. Kepada UAS, maka yang terbaca ada dua arus besar: membenci dan membela. Yang membela, sudah jelas dari afiliasi mana, begitu pula yang membenci.

Pun demikian pada kasus Papua, arus besar itu terpecah dua: mengharap Papua dipertahankan agar terintegrasi dengan NKRI dan mendukung agar Papua merdeka sebab sudah tidak ada keadilan lagi di negeri ini. Yang mendukung Papua merdeka sudah jelas siapa mereka, dan yang mengharap tetap dalam persatuan NKRI itu juga jelas dari mana.

***

Kemerdekaan berpendapat memang anugerah demokrasi yang patut dijunjung tinggi. Setiap orang tak boleh membatasi kemerdekaan berpendapat itu. Apapun isinya, apapun keinginannya, tak boleh ada yang membonsainya, kecuali yang tidak sesuai pasal hukum yang berlaku.

Namun kalau kita mau merenung lebih mendalam, bahwa dua arus yang kini selalu muncul di media sosial itu, lama kelamaan akan menggulung laksana bola salju yang semakin besar, jika terus didiamkan. Ketika semakin membesar, maka akan semakin sulit lagi usaha untuk saling merekatkan. Menyatukannya kembali.

Mengapa kita butuh penyatuan kembali? Seperti yang saya pantau pada dua peristiwa di atas, adanya dua arus tersebut membuat peristiwa itu terus memunculkan polemik. Artinya tidak ada lagi kejernihan dalam pikiran mereka. Padahal kejernihan pikiran itu sangat dibutuhkan bagi siapapun yang memandang sebuah peristiwa. Apalagi peristiwa itu sifatnya nasional.

Yang lain, jika kejernihan pikiran itu bisa dimunculkan, maka akan bisa menjadi otokritik kepada dua arus itu. Bahwa berbeda pendapat boleh-boleh saja, namun jangan lupa memegang teguh semangat ke-Indonesiaan.

Segala apa yang diujarkan, disampaikan dan dikomentarkan, ujungnya adalah demi Indonesia. Bukan demi seseorang, misalnya presiden atau capres pujaan, dan bukan pula demi segelintir kelompok yang mengungkungnya.

Tapi memang sangat sulit menghapus fanatisme yang membekas itu. Malah lebih gampang mengawetkan bekas itu. Diperkuat tebalnya emosi, maka bekas yang membekas itu akan enteng kita bawa kemana-mana. Namun kita seringkali tidak menyadari, justru yang enteng itulah yang aslinya beban berat terhadap masa depan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun