Mohon tunggu...
Rahmad Arbadilah Damanik
Rahmad Arbadilah Damanik Mohon Tunggu... Aktor - Penulis Lepas

Communication Student - Riau University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Spirit Toleransi untuk Merajut Kebhinekaan dan Persatuan di Era Millenial

9 Maret 2020   13:53 Diperbarui: 9 Maret 2020   15:03 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bangsa Indonesia dalam panggung sejarah berdirinya negara di dunia memiliki suatu ciri khas yaitu dengan mengangkat nlai-nilai yang telah
dimilikinya sebelum membentuk suatu negara modern. Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan, serta nilai religius yang beraneka ragam sebagai suatu unsur negara. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, kelompok, adat-istiadat, kebudayaan serta agama yang keseluruhannya merupakan suatu kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia itu sendiri. 

Namun di era millenial ini khususnya, sebagian manusia saat ini lebih mementingkan diri sendiri sehingga sikap toleransi dari waktu ke waktu mulai memudar. Ditandai dengan banyaknya peristiwa yang menyudutkan nilai toleransi, Indonesia yang menjunjung tinggi semangat toleransi kini dipertanyakan. Lantas, apa penyebab serta solusinya?

Tidak bisa dibantahkan, perbedaan merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, namun perbedaan itu untuk
dipersatukan serta disintesiskan dalam suatu sintesis yang positif pada suatu negara kesatuan.1 Saling menghormati terhadap sesama manusia merupakan esensi dari nilai-nilai toleransi. Saling menghormati ini tidak hanya sebatas sesama kelompok, sesama agama, atau sesama yang lainnya, tapi harus kepada orang yang berbeda latar belakang dengan kita.

Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia, haruslah selalu dijaga bersama. Dengan mengamalkan sila-sila pancasila, terutama sila ketiga yang menegaskan perihal seluruh masyarakat Indonesia, untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan baik dalam aspek ideologi, politik, ekonomi sosial budaya, agama, keamanan, serta suku dan bangsa. Kita harus bersatu untuk kesatuan bangsa Indonesia yang merupakan negara yang memiliki banyak suku bangsa, ras, dan agama. 

Sila ketiga jelas mencerminkan adanya sikap untuk saling menghargai dan menghormati sesama. Berdasarkan pada sila ketiga yang berbunyi "Persatuan Indonesia", persatuan bukan berarti penyeragaman. Dengan prinsip persatuan, keaneka ragaman yang ada tidaklah hendak dihilangkan atau diseragamkan, melainkan tetap dibiarkan hidup dan terus berkembang. Namun dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang ada di antara berbagai suku bangsa itu tidak perlu ditonjolkan atau bahkan menjadi ukuran utama dalam bertindak.

Suatu perbedaan itu di pahami dan di biarkan dalam rangka mewujudkan persatuan kesatuan bangsa. Dengan kata lain keanekaragaman bangsa dihormati dalam wadah kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini juga selaras dengan semboyan yang menggambarkan secara jelas prinsip penghormatan keaneka ragaman dalam wadah persatuan, yakni "Bhineka Tunggal Ika". Oleh karena itu Kebhinekaan harus dipahami sebagai sebuah kekuatan pemersatu bangsa yang keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Kebhinekaan juga harus dimaknai sebagai sebuah keragaman yang mempersatukan, menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan, bukan sebagai ancaman ataupun gangguan. 

Semua budaya, agama dan suku yang ada tetap pada bentuknya masing-masing, dimana yang mempersatukan semua itu adalah rasa nasionalisme dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bhineka Tunggal Ika tidak bisa dianggap hanya sekedar semboyan, melainkan harus dihayati, disimpan pada sanubari oleh setiap warga negara Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan negara. Pada prinsipnya, semboyan bangsa
Indonesia memiliki makna yang sangat penting yaitu toleransi dan kesatuan. Pertama, toleransi dapat mencairkan perbedaan menjadi persatuan sehingga tidak ada perpecahan atau konflik. Kedua, kesatuan merupakan hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan keseiringan dalam menggapai tujuan, dari berbagai macam ras, suku, budaya dan agama.

Kembali melihat kondisi di era millenial saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia yang menghiraukan semangat toleransi sehingga timbul
berbagai kasus intoleransi di Indonesia. Kasus intoleransi yang sering terjadi biasanya bersangkutan dengan agama. Persoalan anti toleransi dan anti pluralisme yang semakin menguat tidak hanya dipengaruhi oleh iman dan kitab suci, tetapi banyak dipengaruhi dengan faktor riil seperti, politik, ekonomi, sosial dan budaya.2 Maraknya peristiwa intoleransi sangat mengganggu perdamaian kehidupan masyarakat karena bersangkutan dengan keamanan masyarakat. 

Berbagai ancaman dapat datang karena tidak adanya sikap toleransi. Konflik yang sangat hangat dibahas akhir-akhir ini adalah seperti bidang politik yang dicampur
dengan unsur agama sehingga banyak sekali kontra yang datang dari masyarakat
dan menimbulkan perpecahan. Masyarakat sesungguhnya berhak untuk
menyampaikan pendapat mengenai peristiwa yang terkait, akan tetapi lebih baik
mengungkapkan dengan tutur kata yang benar dan tidak menyinggung SARA atau
pihak tertentu. Intoleransi tidak hanya menyebabkan konflik dan perpecahan,
tetapi juga dapat menghambat perkembangan negara. Dari kasus intoleransi yang
ada, dapat dilihat bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak
memahami dan mempelajari arti kesatuan dan kebersamaan yang diterapakan oleh
para pahlawan dan rakyat Indonesia dalam melindungi negara dari para penjajah
tanpa mengenal perbedaan. Dapat dikatakan di satu sisi, keberagaman ini akan
menimbulkan masalah seperti konflik bernuansa agama, suku, ras, dan golongan
apabila satu sama lainnya belum ada saling memahami, menghargai, dan
menghormati perbedaannya. Di sisi lain akan menjadi kekayaan kultur yang luar
biasa apabila keberagaman tersebut dapat hidup dalam kebersamaan, kesetaraan,
dan keadilan.
Intoleransi bisa saja terjadi akibat dari rendahnya pemahaman seseorang
tentang sesuatu. Jadi, hanya mendengar lalu terprovokasi. Bisa juga akibat dari
seseorang mempelajari sesuatu hanya sebatas tekstual, tidak dibarengi dengan
kontekstual. Sehingga, ia mudah untuk terprovokasi. Dan akhirnya timbullah
intoleransi diantara kedua belah pihak yang berbeda. Misalnya saja dalam konteks
beragama. Jangankan berbicara tentang antar agama yang berbeda, berbicara
tentang seagama saja, namun yang berbeda pemahamannya saja, sudah saling
menyalah-nyalahkan. Mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah orang yang menyalah-
nyalahkan itu menguasi secara kontekstual dalam keilmuan beragamanya.
Faktanya dilapangan, ia hanya belajar agama secara tekstual. Lebih parahnya lagi,
belajar agama melalui searching di google. Jika ini sudah terjadi, sangat ironi sekali. Dalam hal ini, penting bagi kita jika mengalami ketidaktahuan, maka
tanyakan pada yang lebih tahu (dalam hal ini disebut ahlinya). Dan untuk
mempelajari sebuah ilmu, janganlah hanya sekadar membaca. Namun juga perlu
dibarengi dengan penjelasan dari seorang guru.
Kalau toleransi sudah tidak menjadi budaya dalam bersosial dan
berbudaya lagi, maka jangan pernah berharap bangsa ini dapat menjadi bangsa
yang besar dan maju. Jangankan untuk jadi bangsa yang besar dan maju, untuk
bersatu saja sudah tidak mau. Oleh karena itu spirit toleransi sangatlah diperlukan
dan itu harus terus didobrak dan ditumbuhkan terutama di era millenial ini. Kita
menyadari, pendidikan toleransi, sejatinya telah lama tumbuh pada berbagai level.
Mulai dari lembaga terkecil masyarakat, yaitu keluarga, hingga yang telah
terlembaga pada sistem pendidikan. Pendidikan toleransi dalam kebhinekaan
ditemukan dalam pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan
Pancasila, agama, dan sejarah. Tiap-tiap agama dan kebudayaan pastinya
mengajarkan kebaikan dan cinta kasih kepada sesama manusia dan alam semesta
ini. Agama dan budaya juga memiliki serta mengajarkan nilai-nilai toleransi.
Sebagaimana kerukunan antar umat beragama atau keyakinan di Indonesia yang
dirawat dengan baik oleh nenek moyang Bangsa Indonesia.
Toleransi pada tataran penerimaan oleh salah satu pihak, jika dicermati
lebih seksama, tidaklah mencukupi. Terciptanya harmoni karena salah satu pihak
menerima keberadaan yang lain, mesti pula diimbangi dengan sikap menghargai
penerimaan yang diperoleh dari pihak lain. Masing-masing pihak perlu saling
menerima keberagaman dan di situlah letak kekuatan toleransi yang sebenarnya
agar dapat membuahkan kehidupan bersama yang selaras. Itu pula yang
menjelaskan mengapa toleransi merupakan sikap mendasar yang harus selalu ada
dalam hidup keberagaman. Namun, dalam arus sebaliknya, toleransi tidak
bermakna apa-apa dan kehilangan daya relevansinya jika yang dituntut adalah
keseragaman dan kesamaan identitas.
Lantas, lebih tepatnya bagaimana langkah untuk menumbuhkan rasa
toleransi? Mungkin saja sulit untuk menumbuhkan rasa toleransi pada orang lain.
Karena, saat kita hendak mengingatkan orang sekali pun, terkadang dianggap sok
alim atau justru kita yang disebut sebagai intoleransi. Memang sangat sulit. 

Namun, tidak ada alasan untuk tidak memulainya dari diri kita sendiri. Cobalah
diri kita yang memulai untuk menghormati orang lain dari perbedaannya. Dengan
begitu, orang lain pun akan menghormati kita. Lalu, ketika kita mempelajari
sebuah ilmu, janganlah hanya sebatas tekstual saja. Perlu juga mempelajari secara
kontekstual, agar kita memahami betul apa esensi daripada ilmu yang sedang kita
pelajari tersebut. Selanjutnya, ubah sudut pandang kita dalam menilai sesuatu.
Mulailah menilai dengan cara yang moderat. Karena belum tentu benar jika kita
menilai sesuatu yang buruk dari satu sisi saja. Bisa saja sesuatu itu memiliki nilai
baik jika dilihat dari sisi yang lainnya.
Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi masyarakat
dan mencegah konflik dengan penanaman nilai-nilai multikultural. Nilai
multikultural dapat memberikan wawasan untuk mengetahui perbedaan budaya
dan sikap toleransi. Multikultural sendiri memberikan wadah untuk
menyelesaikan perselisihan. Gagasan multikultural menjadi landasan berfikir
bahwa perbedaan bukan menjadi konflik melainkan sebagai identitas yang lahir
secara alami. Nilai-nilai multikultural juga dapat diterapkan dalam pendidikan
sebagai materi dan praktik di sekolah. Pendidikan sebagai ruang transformasi
budaya yang hendaknya selalu mengedepankan multikultiral. Selain di dalam
sekolah nilai multikultural juga dapat diterapkan dalam keluarga. Nilai budaya
yang diterapkan seorang ibu kepada anaknya bertujuan untuk membentuk tingkah
lakunya di masyarakat sehingga sesuai dengan norma yang berlaku.
Sikap toleransi yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
yaitu, menghormati dan menghargai suku, ras, agama, budaya dan adat istiadat
yang berbeda. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dalam berhubungan dan
berkomunikasi dengan masyarakat lain. Bergaul dan berteman dengan tidak
membeda bedakan suku bangsa lain. Maka dari itu dengan adanya mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan membuat kita lebih mengerti
mengenai toleransi terhadap keberagaman bangsa di Indonesia. Sehingga kita
tidak mudah mengahakimi suku, ras, budaya dan adat istiadat yang ada di
Indonesia.
Oleh karena itu, tidak cukup diidentifikasi sebagai sebuah sikap,
melainkan suatu kesadaran yakni suatu cara berpikir yang kekhasannya terletakpada kemauan untuk saling menerima dan menghormati perbedaan. Toleransi
sangat memerlukan sarana edukasi agar terus terbina sebagai kepribadian khas
bangsa Indonesia yang secara konsisten harus ditanamkan kepada setiap generasi
bangsa untuk menjamin persatuan negeri dan bangsa. Hal krusial yang sama
sekali tidak dapat diabaikan. Penting juga untuk memahami nilai-nilai
multikultural, sehingga kita bisa menerima berbagai macam perbedaan. Tidak
lupa untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Ketika spirit toleransi ini telah tumbuh oleh setiap orang sebagai
warga negara Indonesia, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin untuk
terajutnya kebhinekaan serta persatuan dan kesatuan di era millenial.

Daftar Pustaka
Kaelan. 2016. Pendidikan Pancasila. Edisi Revisi Ke 11. Yogyakarta: Paradigma
Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI Periode 2014-2019. 2019. Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.
Delfiyan Widiyanto. 2017. 'Pembelajaran Toleransi Dan Keragaman Dalam
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Di Sekolah Dasar'.
Ginting, Rosalina B.R, and Kiki Aryaningrum. 2018. 'Similarity: Toleransi
Dalam Masyarakat Plural'. Universitas PGRI Semarang.
Tobari, Alan, "Pentingnya Sikap Toleransi dalam Multikultural Bangsa
Indonesia".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun