Saya sedang merencanakan pendidikan setelah lulus S1 psikologi ini. Mencari kerja memang penting, tetapi langkah selanjutnya juga perlu dipikirkan. Peraturan pendidikan psikologi terbaru memisahkan jalur akademisi dan profesi. Lulusan S1 psikologi sering merasa bingung. Bergelar S1, tetapi pendidikan lanjutan terasa rumit. Jalur akademik dan profesi tentu sangat berbeda.
Sarjana S1 adalah pendidikan dasar di bidang psikologi. Kewenangan lulusan ini terbatas dalam penanganan klien dan alat tes. Mereka biasanya hanya bisa melakukan psikoedukasi dan rekrutmen terbatas tanpa alat tes.
Melanjutkan pendidikan itu opsional. Beberapa lulusan S1 langsung bekerja tanpa niat melanjutkan studi. Banyak pekerjaan mereka tidak sesuai dengan bidang psikologi.
Namun, bagi yang memiliki rencana karier dalam bidang ini, mengikuti regulasi pendidikan lanjutan sangat penting. Mari kita bahas dasar hukum, alur pendidikan akademik dan profesi, serta kelebihan dan kekurangan dari kedua jalur ini.
Dasar Hukum: UU No. 23 Tahun 2022
UU No. 23 Tahun 2022 adalah tonggak penting dalam regulasi pendidikan psikologi di Indonesia. Undang-undang ini membagi pendidikan psikologi menjadi dua jalur utama: Pendidikan Profesi dan Akademik.
Pendidikan Profesi ditujukan untuk calon psikolog yang ingin memberikan layanan psikologis. Sementara itu, Pendidikan Akademik bertujuan mencetak peneliti, pendidik, dan pengembang ilmu psikologi.
Sebelum peraturan ini, pendidikan psikologi diatur oleh beberapa undang-undang. Misalnya, UU No. 12/2012 untuk pendidikan dan UU No. 36/2009 untuk praktik psikologi klinis.
Dulu, banyak program S2 Profesi yang juga dapat menjadi pengajar. Namun, ada juga S2 Psikologi yang hanya memberikan gelar akademis.
Pendidikan S2 Profesi memang terlihat efisien, tetapi lebih berat. Lulusan harus membuat tesis dan mengikuti ujian kompetensi. Mereka juga berwenang praktik meski tanpa Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Layanan Psikologi (SILP).Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!