Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata "Jangan Merasa Paling Benar" yang Jadi Paradoks Retorika

1 Agustus 2022   16:58 Diperbarui: 1 Agustus 2022   17:01 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com 


Intoleransi memang menjadi momok bagi kehidupan kita bermasyarakat dimana kita jadi tidak bisa mengekspresikan perbedaan kita.

 Keberagaman khususnya dalam agama terkadang harus dihalangi oleh tindak intoleran. Dan banyak sekali perdebatan yang terjadi di sosial media perkara tersebut dan sering kita dengar kata "Jangan Merasa Paling Benar deh".


Kata tersebut dianggap salah satu statement paling sering dipakai dalam melawan tindak intoleransi ataupun membungkam para fanatik agama. 

Dengan mempertanyakan kekurangan dan kebenaran manusia yang tidak sempurna membuat kita dapat berlaku toleran terhadap sesama.


Kata "jangan merasa paling benar" memang jadi sebuah kata yang mampu membukam para pelaku intoleran dan fanatik namun saat kita dalami kembali kata tersebut sesaat kita tahu bahwa ada yang kurang dalam memakai hal tersebut dalam perdebatan nyata nan ilmiah. Sebenarnya apa kekurangannya?.


Paradoks Retorika


Dalam mengatakan "jangan merasa paling benar" sebenarnya kita juga meragukan apa yang yang kita katakan tersebut. Walaupun dalam kaitanya untuk menggoyahkan kekakuan cara pandang para pelaku intoleran tersebut, namun hal itu malah mempertanyakan kembali kebenaran ucapan tersebut.


Sederhananya hal tersebut berputar seperti paradoks dimana jika orang tersebut berkata "jangan merasa paling benar" maka dia meragukan kata-kata nya yang jangan merasa paling benar itu juga. Paradoks yang muncul dari retorika inilah yang terkadang tidak menjadi kesimpulan bersama.


Tentu saja amat tidak mungkin kita melayangkan kata itu hanya kepada mereka yang intoleran sedangkan kepada pendapat kita sendiri kita malah merasa paling benar. 

Kata tersebut yang sebetulnya diarahkan pada kebenaran kehidupan sosial yang tentram malah melemparkan imajinasi kehidupan sosial yang penuh keragu-raguan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun