Mohon tunggu...
Bare minimum writer
Bare minimum writer Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

The past is just a story we tell ourselves -Samantha-

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bosen Menjomblo Terus? Coba Pahami dan Pelajari Deh Konsep Stockholm Syndrom, But Don't Do It!

9 Desember 2020   15:44 Diperbarui: 9 Desember 2020   15:52 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin kalian pernah menonton sebuah film yang bercerita mengenai seorang korban penculikan yang mengalami berbagai perlakuan yang tidak 'menyenangkan' dari penculiknya, seperti disiksa, tidak diberi makan, diisolasi dari dunia luar, dan perilaku tidak 'menyenangkan' lainnya. Namun anehnya, di tengah-tengah atau di penghujung film, korban penculikan tersebut mulai merasa simpati dan empati terhadap penculiknya. Bahkan, ia mulai merasa jatuh cinta terhadap penyiksanya tersebut.

V for Vendetta (2005) merupakan salah satu film iconic yang berhasil menggambarkan kondisi tak lazim tersebut dengan baik. Film tersebut bercerita mengenai kondisi masa depan Inggris yang berada di bawah pemerintahan yang tirani, di mana seorang yang berinisial "V" yang tidak lain merupakan pejuang kebebasan bersama seorang wanita muda berusaha untuk meruntuhkan pemerintahan tirani tersebut.

Dalam film tersebut terdapat suatu bagian di mana "V" berusaha meyakinkan Evey, yang merupakan wanita muda yang berusaha membantu mewujudkan tujuannya tersebut, untuk mengubah secara radikal pandangannya mengenai masalah politik pemerintahan Inggris. "V" dalam usahanya untuk merubah pandangan Evey menyamar menjadi agen pemerintah yang kemudian menyiksa dan mengisolasinya untuk mendapatkan informasi mengenai "V". Setelah Evey mengetahui bahwa yang selama ini menyiksa dirinya adalah "V", pandangannya terhadap pemerintahan tirani Inggris berubah dan dia mulai merasa jatuh cinta terhadap "V".  Namun apakah yang digambarkan dalam film V for Vandetta tersebut merupakan sesuatu yang benar adanya dalam kehidupan nyata?

Ternyata apa yang tergambar dalam film V for Vandetta tersebut merupakan suatu kondisi yang dalam dunia sains disebut sebagai Stockholm syndrome. Stockholm syndrome merupakan suatu reaksi psikologis yang timbul akibat dari adanya penahanan dan kekerasan. Korban yang mengalami penahanan dan kekerasan tersebut mengembangkan gambaran positif terhadap penyiksa atau penculiknya.

Meskipun begitu, para ahli belum terlalu memahami bagaimana reaksi tersebut dapat terbentuk. Mereka berpendapat bahwa reaksi tersebut merupakan bentuk coping mechanism yang terbentuk dalam diri orang yang mengalami trauma. Karena masih adanya keraguan dalam mendefinisikan Stockholm syndrome tersebut, maka pakar kesehatan tidak mengakui sindrom tersebut sebagai salah satu gangguan kesehatan mental sehingga tidak terdaftar dalam edisi kelima Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).

Seperti namanya, sindrom ini pernama kali teridenfikiasi di Stockholm, Swedia, di mana pada saat itu seorang Psikiater bernama Nils Bejerot membuat istilah Stockholm syndrome untuk menjelaskan fenomena yang terjadi setelah terjadinya perampokan bank di Stockhom pada 1973. Jan-Erik Olsson dan temannya yang bernama Clark Olofsson mencoba untuk melakukan perampokan di bank Normalmstorg pada 23 Agustus 1973. Dalam perampokannya tersebut Olsson dan temannya menawan empat pegawai bank tersebut, yaitu Brigitta Lundblad, Elisabeth Oldgren, Kristin Ehnmark, dan Sven Safstrom.

Pelaku dan empat sandera yang terlibat dalam perampokan tersebut tetap berada dalam bank selama enam hari berturut-turut karena terlibat situasi yang alot dengan polisi. Akhirnya, setelah serangkaian negosiasi, keempat sandera itu pun dilepaskan. Otoritas yang memeriksa keempat sandera tersebut menemukan bahwa mereka telah mengembangkan suatu ikatan emosional dengan kedua pelakunya. Keempat sandera itu pun mengaku bahwa Olsson dan Oloffson memperlakukan mereka secara baik. Kemudian, mereka pun membela serta menolak untuk bersaksi melawan penyanderanya.

Para ahli, seperti psikolog, psikiater, dan kriminolog tidak mememahi sepenuhnya mengenai sindrom yang satu ini, serta masih memperdebatkan apakah sindrom tersebut merupakan suatu sindrom yang benar-benar ada atau tidak. Meskipun begitu, banyak pakar meyakini bahwa Stockholm syndrome mulai muncul pada saat :

  • korban penculikan diperlakukan secara manusiawi oleh penculiknya
  • Penculik serta sanderanya melakukan komunikasi tatap muka yang intense, sehingga kemungkinan besar terbentuk suatu koneksi diantara  penculik dan sanderanya.
  • Anggapan dari para sandera penculikan bahwa aparat yang berwenang tidak melakukan tugasnya dengan baik serta mengesampingkan kepentingan mereka

Sebenarnya, empat puluh tahun sebelum terjadinya perampokan bank Normalmstorg yang menjadi asal mula munculnya istilah Stockholm syndrome, telah terjadi gejala serupa pada tahun 1933 di mana seorang wanita bernama Mary McElroy diculik oleh empat pria, yang kemudian meminta uang tebusan sebesar $30.000. Setelah uang tebusan mereka terima, mereka pun melepaskan Mary dan pada akhirnya keempat pria tersebut ditangkap polisi dan harus menerima hukuman. Meskipun Mary mengakui bahwa mereka layak untuk mendapatkan hukuman, dia merasa simpati terhadap mereka dan bahkan ia kerap melakukan kunjungan terhadap mereka di penjara.

Kasus lainnya terjadi pada tahun 1988 di mana seorang pria bernama Wolfgang Priklopil melakukan penculikan terhadap seorang anak kecil yang bernama Natascha Kampush, yang pasa saat itu masih berumur 10 tahun. Prikopil mengisolasi Natascha Kampush selama lebih dari 8 tahun di ruang bawah tanah miliknya. Ia pun melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap Natascha, baik secara fisik maupun psikologis, Tetapi, Prikopil juga mengurus Natascha dengan cukup baik, seperti memandikannya, memberikannya makan hingga memberikannya hadiah. Setelah lama dia diisolasi dan diperlakukan tidak baik oleh Prikopil, Natascha Kampusch akhirnya berhasil melarikan diri dari rumah Prikopil. Natascha menangis setelah mengetahui bahwa Prikolpil tewas dengan cara melakukan bunuh diri. Pada suatu wawancara dengan Guardian, Natascha berkata "I find it very natural that you would adapt yourself to identify with your kidnapper... Especially if you spend a great deal of time with that person."

Meskipun banyak kasus yang menunjukan bahwa Stockholm syndrome itu ada, namun para ahli masih meragukan hal tersebut dan membuka peluang untuk mendiskusikan eksistensi dari sindrom yang satu ini.

Sumber:

Kosenda, Patryk. 2017. The 15 Best Movies About Stockholm Syndrome. (diakses pada 9 Desember 2020)

Eske, Jamie. 2020. What is Stockholm syndrome? Diakses pada 9 Desember 2020)

https://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=https://www.imdb.com/title/tt0434409/&prev=search&pto=aue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun