Mohon tunggu...
Bare minimum writer
Bare minimum writer Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

The past is just a story we tell ourselves -Samantha-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Ajaran Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia

23 Desember 2019   16:29 Diperbarui: 23 Desember 2019   16:57 4541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini Indonesia sedang dilanda masalah radikalisme dan intoleransi yang keadaanya sudah cukup memperihatinkan. Oleh karena itu, maka kedua masalah tersebut harus segera mendapatkan penanganan yang sangat serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat. Hal ini bukan tanpa alasan, karena dampak yang ditimbulkan dari adanya paham radikal serta tumbuh suburnya sifat intoleransi ini berdampak secara multidimensi, yang artinya implikasi atau efek yang ditimbulkan tersebut tidak hanya menyasar pada satu aspek bidang kehidupan saja, namun juga berdampak pada aspek yang lain seperti ekonomi, sosial, dan keamanan. 

Lebih jauh lagi radikalisme dan intoleransi ini bisa mengganggu kehidupan warga negara Indonesia dalam beragama, bermasyarakat dan bernegara. Misalnya pada tragedi Bom Bali I yang terjadi tahun 2002. Pada tragedi tersebut, selain memakan ratusan korban jiwa dan luka-luka, juga berdampak pada bidang ekonomi dan kesehatan, baik kesehatan fisik atau mental dari para korban. Pasca 2,5 tahun tragedi tersebut, keadaan ekonomi di Bali tidak menunjukan perbaikan yang signifikan, malah sebaliknya, tingkat pengangguran di Bali meningkat sebesar 3,5 persen, penurun upah riil sebesar 47 persen, menurunya jam kerja sebesar 4,2 persen dan masih banyak lagi dampak yang ditimbulkan dari tragedi Bom Bali tersebut.[1] 

 Dari contoh Bom Bali I tersebut dapat kita lihat bahwa pandangan intoleran dan paham jaringan radikalisme tersebut sangat merugikan bagi semua pihak, khususnya bagi orang-orang yang menjadi korban pada tragedi tersebut. Dan dampak yang ditimbulkan pun tidak hanya pada satu aspek saja namun  juga berdampak pada aspek lainnya atau bersifat multidimensi. Lantas bagaimana bisa sifat intoleran dan paham radikalisme ini bisa muncul dan tumbuh subur di Indonesia? 

Menurut Prof. Masdar Hilmy yang merupakan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, mengatakan bahwa munculnya sifat intoleran dan paham radikalisme ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, malainkan ada faktor lain yang mempengaruhinya. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa munculnya radikalisme agama ini disebabkan oleh adanya proses penafsiran isi kitab suci yang tidak sempurna dan tidak dipertimbangkan kaitan isinya. Misalnya ajakan untuk memerangi kaum lain dan merenggut nyawa manusia. 

Senada dengan hal tersebut, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Ishomuddin mengatakan bahwa radikalisme bisa muncul dikarenakan adanya beberapa faktor. Yang pertama, kurangnya pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh terhadap nilai-nilai keagamaan. Yang kedua, kurangnya pengetahuan akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan yang ketiga, karena adanya faktor lain di luar kedua faktor sebelumnya. Misalnya, merasa menjadi masyarakat kelas dua atau inferior, baik dari segi politik, ekonomi dan lain sebagainya.[2] Serta munculnya rasa curiga dan prasangka terhadap kelompok masyarakat yang lain. 

Berdasarkan uraian sebelumnya, dijelaskan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat membuat seseorang menjadi intoleran dan berpaham radikal dan ini berimplikasi pada bahwasannya semua golongan masyarakat dari strata manapun, baik miskin atau kaya, berpendidikan tinggi atau berpendidika rendah, dapat berpotensi menjadi seseorang yang terapapar paham radikal dan bersikap intoleran. Fenomena tersebut dapat kita lihat misalnya dari kasus seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama Abdul Basith yang diduga akan meledakan bom jenis molotov  yang ia simpan terlebih dahulu di kediamannya, di Tanggerang. Yang kemudian akan dibawa pada aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI.[3] 

Contoh  lain yang memperlihatkan bahwa radikalisme tidak pandang bulu dalam mencari korban dapat kita lihat dari pernyataan yang dipublikasikan oleh Halili,Direktur Riset Setara Institute, yang meyatakan bahwa di Indonesia terdapat 10 perguruan tinggi negeri atau PTN yang terpapar radikalisme. Adapun 10 nama PTN tersebut, diantaranya UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta, UIN Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR. Menurutnya, paham radikal ini disebarkan oleh kumpulan orang-orang yang bersatu dalam grup keagamaan eksklusif, seperti salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah yang menggunakan masjid dan mushala sebagai media perantara, lalu kemudian menyasar lembaga dakwah yang ada di perguruan tinggi tersebut baik di tingkah fakultas atau di tingkat kemahasiswaan.[4] 

Dua contoh tersebut memperkuat alasan bahwa paham radikalisme tidak melihat apakah orang tersebut datang dari golongan orang berpendidikan tinggi atau tidak, apakah orang tersebut kaya atau tidak atau orang tersebut merupakan dosen, mahasiswa, ASN, atau  yang lainnya. Yang pasti semua orang punya potensi yang sama untuk menjadi korban dari radikalisme dan sikap intoleran.

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa semua orang dapat berpotensi menjadi seseorang yang terpapar paham radikal serta bersikap intoleran. Hal ini juga berlaku untuk mahasiswa yang pada dasarnya merupakan kaum yang memiliki tingkat itelektualitas yang tinggi.  Namun, memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi bukan merupakan jaminan mahasiswa bisa bebas dari paham radikal, seperti yang bisa kita lihat dari contoh sebelumnya. Terlebih jika mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa baru yang pada dasarnya belum memiliki pola pikir yang kuat dan tangguh untuk menangkal paham radikal. Hal ini disebabkan karena mahasiswa baru masih dalam tahap transisi dari kehidupan SMA ke kehidupan kuliah. 

Tetapi tidak menutup kemungkinan mahasiswa yang sudah mengenyam pendidikan cukup lama di perguruang tinggi pun bisa terkena paham radikal, dikarenakan sejumlah faktor seperti disebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Oleh karena itu, agar mahasiswa tidak terjerumus dalam radikalisme, terorisme, dan sikap intoleran, maka diperlukan sikap-sikap dan karakter yang harus dikembangkan dan dimiliki oleh seorang mahasiswa, baik selama  dan sesudah mereka mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Lantas sikap dan karakter apa saja yang diperlukan agar mahasiswa tidak terpengaruh ajaran radikalisme dan intoleran?

Setidaknya ada lima karakter dan sikap yang harus dikembangkan agar mahasiswa tidak terjerumus dalam radikalisme dan intoleransi. Adapun sikap dan karakteristik tersebut diantaranya sebagai berikut.

  • Memiliki rasa toleransi yang tinggi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun