Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ngobrol Pakai Bahasa Daerah Itu Perlu, tapi Was-was

4 Januari 2020   18:11 Diperbarui: 5 Januari 2020   15:49 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berbahasa dengan orang lain. (sumber: Palto via kompas.com)

Indonesia memang unik. Ia terdiri dari beragam budaya yang ada dan dari kekayaan itu pula membuat negara ini memiliki keragaman bahasa, adat, rumah, dan pakaian khas yang berbeda-beda.

Apalagi soal bahasa, setiap daerah hampir memiliki bahasa khasnya masing-masing, misalnya saja di Sumatera ada bahasa Minang, Melayu, dan Batak. 

Bahkan, dalam satu daerah yang sama saja bahasanya bisa sama namun berbeda ragam pengucapan, misalnya bahasa sunda Bogor, Cianjur, dan Bandung.

Memiliki keragaman bahasa seperti jelas merupakan sebuah keniscayaan. Namun sayangnya, belakangan ini tren penggunaan bahasa daerah mulai redup.

Bahasa daerah mulai dipandang katro dan tidak menarik. Apalagi kalangan muda saat ini begitu mendewakan bahasa luar atau setidaknya bahasa Indonesia. Memang prestise dari bahasa luar seperti Inggris menjadi kompetensi penting terutama dalam pekerjaan dan pendidikan.

Ketenaran bahasa Inggris membuat citra bahasa daerah menjadi buruk. Ia dianggap kurang bernilai guna dalam menjalani kehidupan di masa sekarang. 

Saking kurang populernya, bahasa daerah dalam pendidikan dasar sampai menengah atas hanya dijadikan muatan lokal saja. Pamornya jelas kalah jauh oleh bahasa Indonesia, apalagi Inggris.

Hal lain yang menjadi turunnya pamor bahasa daerah adalah soal ketakutan menggunakannya. Hal ini pernah dikatakan oleh Ajip Rosidi tentang masa depan budaya, khususnya budaya daerah.

Para generasi muda ketakutan menggunakan bahasa daerah, apalagi ketika berbicara dengan yang lebih tua, karena takut salah mengucapkan, takut tidak sopan, dan takut kata yang digunakan tidak sesuai.

Inilah yang dikenal dalam bahasa sunda sebagai "undak usuk basa" atau tingkatan bahasa, mulai dari bahasa untuk diri sendiri, umum, dan orang tua. Singkatnya bahasa sopan, normal, dan kasar.

ilustrasi pedesaan. (Sumber foto: Pixabay/jpeter2)
ilustrasi pedesaan. (Sumber foto: Pixabay/jpeter2)
Khususnya soal tingkatan bahasa, ini yang menurut Ajip membuat generasi muda mulai meninggalkan bahasa daerah, ia melihat banyak kasus anak muda yang sedang belajar bahasa daerah dimarahi oleh mereka yang tua atau masyarakat karena tidak menggunakan bahasa yang sepantasnya. 

Cara pembelajaran bahasa yang menyalahkan inilah penyebab bahasa daerah pantang untuk diucapkan di muka umum, apalagi dihadapan para orang tua.

Para generasi muda akhirnya memilih jalan alternatif dengan menggunakan bahasa Indonesia. Mereka menilai bahwa bahasa Indonesia dinilai lebih aman dari tuduhan tidak sopan.

Ini jelas karena dalam bahasa Indonesia tidak dikenal tingkatan seperti bahasa daerah. Kalau dalam bahasa daerah kata makan saja bisa beda-beda penggunaannya.

Misalnya dalam bahasa Sunda, kalau yang makan orang tua digunakan kata "Tuang", kalau kita yang makan memakai "Neda", dan kalau bebek yang makan memakai "Lolodok", belum lagi kata lain seperti "Nyatu", "Dahar", "Jajabres", "Emam", yang semuanya berbeda cara penggunaannya.

Belum lagi di beberapa keluarga, apalagi di daerah kota atau dekat kota, mulai meninggalkan tradisi ngobrol di keluarga dengan bahasa daerah. Orang tua mulai banyak mengajari anak berbicara dengan bahasa Indonesia, bahkan juga ada yang bahasa Inggris.

Pergesaran budaya ini sedikitnya membuat generasi muda mulai terlepas dari budaya daerahnya, dan semakin lama ia akan berpotensi besar untuk melupakannya.

Mengapa persoalan bahasa daerah ini begitu penting? Kita harus ingat petuah Ajip bahwa inti dari sebuah budaya adalah bahasa. Ini berarti bahwa jika bahasa daerah sudah lenyap, maka akan lenyaplah pula segala isi budayanya.

Misalnya jika bahasa sunda kini jarang digunakan, maka tidak heran kalau beragam kesenian daerah seperti kawih, cerita pendek, tari, hingga teater akan hilang juga, jelas ini karena inti dari mereka yaitu bahasa telah memudar. 

Lalu kemudian bagaimana? Pembelajaran bahasa daerah mutlak perlu diberdayakan, terutama perlu dikuatkan pada anak-anak muda, seperti yang dilakukan Ki Hadjar terhadap siswa kelas rendah di taman siswa. Juga pembelajaran yang dilakukan tentu tidak boleh menyalahkan siswa, tapi memotivasi ia untuk terus belajar.

Masyarakat juga mungkin terpengaruhi oleh modernisasi yang mendewakan kemampuan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Namun tentu harus dipahami juga bahwa peran bahasa daerah pun perlu dibiasakan, untuk mengembangkan karakter dan menjaga keasrian budaya daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun