Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Filsafat Jomblo, dari Konservatif sampai Liberal

3 Juli 2019   20:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   22:30 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/pixel2013

Kepada segenap insan di seluruh alam raya yang saya muliakan. Langsung saja, di sini izinkan saya untuk mengetengahkan satu pokok kasus yang sudah kadung disalahtafsirkan oleh pihak-pihak garis keras dalam memandang hakikat seorang jomblo.

Banyak dari mereka menjustifikasi bahwa jomblo adalah seorang manusia yang tidak mempunyai status keterhubungan yang terlegitimasi dengan satu manusia yang lainnya. Singkatnya ketika seseorang tidak mempunyai pacar, maka seseorang itu mutlak adalah jomblo.

Fenomena justifikasi jomblo secara legalitas formal tadi tentu tidak bisa dilihat dan dimaknai sebagai arti jomblo yang hakiki. Jika kita boleh jujur, itu hanya merupakan buih di samudera jatidiri jomblo yang paripurna. Bahkan tidak sebiji zarah pun menggambarkan secara jelas sosok jomblo yang dimaksud. Dalam paradigma tersebut, jomblo jelas belum disarikan pemaknaannya secara komprehensif.

Beberapa hal yang perlu saya pertanyakan sebelum memulai tulisan ini lebih jauh adalah, apakah sebenernya jomblo itu? Siapakah dia? Apa syarat sah seorang jomblo? Dan apakah jomblo merupakan pilihan atau takdir? Tentu pertanyaan ini akan menjadi pemandu bagi kita untuk sedikit demi sedikit menyelami filosofi jomblo itu sendiri.

Oke, pertama, apa sebenarnya jomblo? Secara harfiah jomblo bisa kita samakan dengan lajang yang artinya adalah sendirian (Baca: Belum kawin).

Lalu masih berkaitan dengan pertanyaan pertama, siapa itu jomblo? Yang jelas ia adalah anak cucu adam, baik wanita ataupun pria yang sendirian. Sampai sini makna jomblo masih bias dan belum penuh.

Ketiga, apa syarat sah jomblo? Dalam teori dan prakteknya syarat jomblo bermacam-macam. Bahkan jika kita kaji dalam tinjauan etnografi dan sosiologi maka akan ditemukan bahwa standar pengukuran keshahihan seorang jomblo itu berbeda-beda pula.

Pada masyarakat golongan religi, syarat seorang jomblo adalah belum menikah dan tidak pacaran. Sedangkan bagi masyarakat dari golongan reguler syaratnya setingkat lebih rendah yaitu tidak pacaran tapi ingin pacaran.

Lebih jauh bagi masyarakat anarko, syaratnya amat lebih rendah yaitu asal ia tidak pacaran tapi ingin pacaran, plus incaran juga memang tidak ada dan dikuadratkan pula dengan tidak ada yang mau.

Itu baru secara golongan, belum secara kasta sosial. Jomblo ini terbagi menjadi dua, jomblo borjuis dan jomblo proletar. Tentu membedakannya mudah saja, borjuis adalah mereka dengan strata ekonomi mapan, dan proletar dari strata ekonomi engap-engapan. Jomblo borjuis kalau internetan ya pakai Indihome, tapi kalo proletar ya In Their Home.

Belum lagi kategori jomblo secara hukum. Di sini dalilnya juga terbagi dua, ada secara kualitatif dan kuantitatif. Seperti asasnya, jomblo kuantitatif perlu dibuktikan keabsahannya dengan fakta-fakta di lapangan, hal ini misalnya bisa berupa rekam jejak digital. Sedangkan secara kualitatif ini bisa diambil dari pembuktian verbal dari para saksi dan penjustifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun