Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada Cinta Beda Strata

6 April 2019   20:55 Diperbarui: 6 April 2019   20:59 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Autumnsgoddess0

Ada pepatah yang mengatakan bahwa cinta itu tak kenal usia. Pernyataan ini tentunya sudah jamak terdengar di telinga kita. Bahkan mungkin kita sudah dibuat budeg karena terlalu seringnya di dengungkan fatwa tersebut. 

Dasar itu dapat diterima oleh khalayak ramai jelas bukan tanpa alasan, ada karena pengalaman kesuksesan orang-orang, hasil pengkajian dan penelitian atau mungkin pengalaman pribadi masing-masing dalam membina bahtera cinta beda usia.

Memang ihwal beda strata usia menjadi hal yang sangat lumrah terjadi, dan bahkan mungkin hakikatnya memang seperti itu. Wong bapak ibu saya, bibi paman, kakek nenek, om dan tante saya pun hampir semuanya memiliki rentang usia yang cukup jauh. Tapi toh buktinya mereka langgeng, dan bisa memproduksi saya dan sanak saudara juga pada akhirnya.

Kesuksesan mereka harusnya bisa memotivasi kita untuk tidak mempermasalahkan hubungan beda usia. Namun, di tengah kondisi masyarakat bucin fundamentalis yang nista maja utama ini, perihal perbedaan strata usia dalam sebuah hubungan menjadi satu persoalan pelik, apalagi di kalangan kaum millenial yang terkenal gandrung makan micin itu.

Dalam jalinan cinta kasih masa muda, cinta beda usia oleh beberapa orang masih dianggap sebuah hal yang tabu untuk dilakukan. Terutama pada kasus hubungan seorang perempuan dengan laki-laki yang lebih muda darinya, atau jamak dikenal sebagai aliran "Brondongisme". Banyak stigma negatif disematkan pada mereka yang menganut aliran ini.

Justifikasi publik mengenai ini didasarkan pada beberapa alasan utama, diantaranya adalah kekhawatiran atas jomplangnya pola pemikiran si perempuan dan laki-lakinya. Itu merupakan penuturan nyata teman-teman saya sendiri, yang entah mengapa ketika berbicara tentang cinta mereka seolah menjadi profesor yang serba tahu ilmu dan tahu harus bertindak seperti apa.

Mereka mengatakan bahwa perempuan itu pola pemikirannya lima tahun lebih jauh dibandingkan laki-laki, maka hubungan "Brondongisme" berpotensi akan memicu kerenggangan pola pemikiran yang terlalu jauh, yang pada akhirnya berujung pada banyak kasus dimana si laki-lakinya tidak dapat menyamaratakan pola pemikiran perempuan. 

Maka, tidak heran yang terjadi adalah sikap kekanak-kanakan laki-laki tadi akan muncul dan susah untuk dipahami perempuan karena pola pemikirannya dianggap masih labil dan belum matang. Disinilah kemudian benih world war 3 yang memunculkan berbagai macam prahara antar kedua belah pihak tak lagi terelakan.

Saya rasa teman-teman saya ini kemungkinan sudah membaca hasil penelitian Sven Drefahl sebagai tambahan data mereka, seorang peneliti dari Stockholm University di Swedia, seperti dilansir dari detik.com ia menyebutkan bahwa, perempuan yang memiliki pasangan lebih muda dianggap melanggar norma-norma sosial. Benak masyarakat kita nyatanya kebanyakan sudah terpatri dan beranggapan bahwa hal tersebut memang melanggar norma.

Bahkan saya menduga bahwa mereka juga telah membaca hasil penelitian Max Plank Institute di Jerman, yang mengatakan bahwa harapan hidup perempuan akan menurun jika terdapat perbedaan usia yang terlalu jauh dari suaminya. Atas dasar ini inilah saya makin paham mengapa paradigma masyarkat kita menjadi sangat sinis terhadap hubungan perempuan dengan laki-laki yang lebih muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun