Mohon tunggu...
Rahman Sabon Nama
Rahman Sabon Nama Mohon Tunggu... -

Berasal dari Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Tinggal di Denpasar, profesi jurnalis, Ketua DPD Bali Jaringan Jurnalis Indonesia (JJI). Koordinator Media Center STMIK STIKOM Bali

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Niko Ladi: Saya Bertanggungjawab

15 Desember 2013   16:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lama menghilang dan dicari-cari nasabah, wartawan dan polisi, akhirnya Direktur LKF Mitra Tiara, Niko Ladi, datang sendiri menemui saya. Celakanya, pertemuan ini ketika saya lagi enak-enak tidur. Rupanya, Niko Ladi yang selama ini diisukan kabur ke Singapura ternyata bersembunyi di Bali. Mengenakan celana pendek dan kaos oblong bermotif Bali lengkap dengan topi putih dan kacamata hitam, Niko Ladi tampak seperti turis Amerika. Berikut wawancara santai saya dengan Niko Ladi, suatu senja di bibir pantai Kuta, saat dia tengah menikmati panorama sunseet sore itu. Dia diapit dua perempuan cantik berkulit putih, bertubuh aduhai dalam balutan bikini motif bunga.
Rahman (R): Maaf bung Niko, saya mengganggu kenyamanan Anda. (sambil memperkenalkan diri dan menyodorkan ID card). Beberapa kali saya telepon dan sms tapi Anda tidak respon, syukurlah kita bisa bertemu sore ini di pantai Kuta. Saya ingin tahu lebih banyak tentang kasus Mitra Tiara (MT).
Niko: OK bung Rahman. Terima kasih sudah mengenali saya. (Niko terlihat kaget bukan kepalang. Sesekali dia membetulkan letak kacamata hitam yang dipakainya. Begitu juga dia menarik topi putih agak ke bawah hingga hampir menutup wajah bagian atas. Dua wanita seksi tadi diperintahkan berenang lagi, biar jauh dari tempat kami duduk.
R: Bagaimana perkembangan MT setelah Anda tidak berada di kantor?
N: Sebelumnya saya harus menyampaikan maaf kepada seluruh nasabah karena sudah 3 bulan saya belum bisa membayar bunga simpanannya. Kedua, saya memutuskan terpaksa keluar dari Larantuka guna menghindari resiko terburuk pada diri saya sebagai akibat MT belum membayar bunga simpanan tadi. Saya paham karakter masyarakat kita, mereka bisa berbuat anarkis jika tidak mendapat jawaban memuaskan dari saya. Jadi biarlah saya menghilang dulu, cepat atau lambat saya akan kembali untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Ketiga, selama 3 bulan ini memang MT vakum, tidak ada lagi aktifitas simpanan maupun pembayaran bunga. Mungkin nasabah takut kalau uangnya bakal tidak bisa kembali.
R: Tapi masalah sebenarnya apa sehingga MT tidak dapat membayar bunga simpanan?
N: Wah ini pertanyaan brilian. Tapi saya harus jujur menjawab ya. Sebenarnya masalah di MT cuma satu, kami tidak ada dana lagi untuk membayar bunga simpanan yang 10 persen per bulan itu. Masalahnya, uang simpanan nasabah yang dulu sudah dipakai untuk membyar bunga nasabah yang belakangan. Siklusnya begitu, jadi lama-lama tidak ada uang lagi. Selain itu, mekanisme di MT, staf atau karyawan yang rekrut nasabah mendapat fee 10 persen dari jumlah simpanan sehingga uang yang disetor ke MT sebenarnya hanya 90 persen tetapi tetap dicatat di MT dengan 100 persen.
R: Tunggu dulu bung Niko, saya ingin tahu lebih jelas lagi aturan di MT. Tadi Anda bilang, sistim di MT seperti money game, yang setor duluan dibayar (bunga) dengan nasabah yang setor belakangan. Apakah sistimnya memang begitu dan tidak ada usaha produktif agar uang lebih berkembang?
N: Lagi-lagi saya harus jujur bung Rahman. Sistim di MT ya seperti money game. Karena itu, ketika ada nasabah besar yang menarik uangnya maka di situlah kami kolaps. Memang ada bisnis lain tapi hasilnya tidak seberapa-tidak sebanding dengan kewajiban kami membayar bunga simpanan tiap bulan. Kalau selama 5 tahun kami bisa bertahan, ya karena banyak yang tertarik simpan uangnya di MT.
R: Apakah nasabah tahu sistim seperti itu?
N: Ooooo..., tentu tidak. Kalau sampai nasabah tahu, tidak ada yang simpan di MT. Buat nasabah, selama pembayaran bunga bulannya lancar, gak ada yang mau tahu macam-macam dalam internal MT. Terbukti selama 5 tahun ini gak ada yang protes. Mereka enjoy saja sebagai OKB. Saya juga ngeri melihat perilaku mereka. Kadang-kadang bicaranya loss control, padahal mereka tidak tahu kalau tiap bulan saya malah pontang panting membayar mereka. Haaaaa.... Haaaaa... Haaaa.
R: Loh kok Anda malah ketawa ngakak? Banyak nasabah di sana sudah strooke dan stres gara-gara Anda.
N: Maaf bung Rahman. Baru kali ini saya bisa tertawa lepas. Selama 3 bulan ini saya sangat tertekan. Hidup dalam ketakutan, tidak nyaman. Malu dengan keluarga dan ada rasa bersalah yang luar biasa. Pokoknya semua berkecamuk dalam dada saya. Jadi biarlah saya tertawa lepas dulu. (Dia menerawang jauh ke arah ujung landasan pacu Bandara Ngurah Rai, menyaksikan sebuah pesawat yang sedang landing). Mulutnya komat kamit, tak jelas apa yang diucapkan. Sesaat kemudian, dia mengatakan meski ditemani dua perempuan cantik, jangan dikira saya bahagia. Barangkali ini hanya kenikmatan sesaat sebelum saya meringkuk dalam penjara nanti. Kembali dia terdiam, lama.
R: Bisa kita lanjutkan bung?
N: (Niko setengah kaget lalu mempersilahkan saya melanjutkan wawancara). Mau tanya apalagi?
R: Info yang saya peroleh, dana nasabah dipakai untuk bermain forex. Benar?
N: Betul itu. Tetapi namanya investasi di forex ada saatnya kita untung, ada saatnya kita rugi. Kalau untung terus, bisa-bisa perusahaan orang bangkrut. Karena itu saya mencoba investasi di bidang perhotelan. Tetapi tentu kita tidak bisa mengharapkan untung besar dalam waktu dekat. Perlu promosi intens. Celakanya, sebelum hotel itu beroperasi, MT sudah tertimpa masalah.
R: Intinya, MT kolaps karena ada nasabah besar yang tarik uangnya atau memang nasabah ramai-ramai menarik uangnya.
N: Begini bung Rahman. Sebenarnya aturan di MT bahwa hanya ada simpanan dan tidak ada penarikan uang dalam waktu tertentu. Meski begitu, ada nasabah yang sudah menyimpan 3 tahun, terutama nasabah besar, mulai tarik uangnya. Dari situlah kesulitan ini muncul. Akibatnya kami mengalami kesulitan likuiditas. Kami tidak bisa membayar bunga lagi. Yang paling kasihan ya nasabah baru simpan belakangan, Ada yang belum dapat bunga sama sekali. Karena memang tidak ada lagi. Jadi, meski saya dicaci maki, paling tidak saya telah berbuat meningkatkan taraf hidup nasabah yang duluan, sekalipun saya menggunakan uang orang lain untuk membesarkan mereka. Ini saya sadari betul, jadi biarlah saya tanggung resikonya.
R: OK bung, kesiapan Anda menanggung resiko itu satu hal. Tapi hal lain yang lebih penting adalah bagaimana caranya Anda mengembalikan duit nasabah sejumlah 1,7 triliun itu?
N: Itulah yang saya maksudkan dengan menanggung segala resiko tadi. Maksud saya, saya tidak mungkin mengembalikan duit sebanyak itu. Jika mau jujur-meski ini tidak mungkin, yang bisa saya lakukan adalah mengembalikan duit nasabah yang disimpan 2 tahun belakangan. Artinya, nasabah tahun pertama sampai tahun ketiga, mereka harus ikhlas bahwa simpanan pokoknya tidak bisa diambil. Toh mereka sudah menikmati untung lebih dari 3 kali simpanan pokok. Sedangkan untuk mengembalikan simpnan nasabah 2 tahun belakangan ini, caranya dengan menjual aset-aset saya dan karyawan yang diperoleh selama 5 tahun mereka bekerja di MT.
R: Kedengarannya sih gampang tapi ada 2 persoalan muncul. Pertama, apakah nasabah tahun pertama hingga tahun ketiga itu rela simpanan pokoknya hilang? Kedua, berapa lama jaminan simpan pokok untuk nasabah 2 tahun terakhir bisa memperoleh kembali uangnya? Ketiga, secara hukum, pengembalian uang itu kan tidak bisa menggugurkan tindak pidana yang Anda lakukan?
N: Saya jawab per poin juga ya. Pertama, nasabah harus ikhlas. Seperti sudah saya jelaskan, mereka kan sudah mendapat keuntungan besar, melebihi simpanan pokok. Kedua, jangka waktunya bisa dirembukan lagi dengan aparat terkait-polisi dan jaksa. Ketiga, saya tahu resiko hukum seperti itu tapi setidaknya upaya ini adalah itikad baik saya sehingga bisa mengurangi hukuman kelak.
R: Katakanlah nasabah kelompok pertama OK. Tak masalah dengan solusi yang Anda tawarkan. Tapi bagaimana dengan nasabah kelompok kedua? Apakah aset-aset Anda dan karyawan-yang diduga diperoleh selama mereka bekerja di MT-setelah dijual bisa menutupi total uang mereka? Masalahnya, seperti bung jelaskan tadi, karyawan yang mendapatkan nasabah berhak memperoleh fee 10 persen. Itu artinya apa yang mereka dapatkan adalah sah dan menjadi hak mereka sesuai aturan MT yang Anda buat sendiri. Apakah karyawan Anda mau harta bendanya itu disita lalu dijaual guna mengembalikan duit nasabah?
N: Lama dia terdiam, seperti sedang mencari jawaban yang tepat. Secara hukum, kata Niko kemudian, kalau saya bersalah, otomatis mereka juga "kena". Aturan yang saya buat itu kan hanya bisa-bisanya saya saja dan sekedar "bumbu" bisnis.
R: Artinya Anda menyadari bahwa bisnis ini ilegal?
N: Hemmmm... Yang benar saya terlambat mengurus legalisasinya. Tapi rupanya nasabah terkecoh karena selain LKF MT saya juga punya koperasi MT. Yang terakhir ini yang punya legalitas. Itulah sehingga LKF ini seolah-olah legal, baik dalam perizinan maupun operasionalnya. Yang benar, adalah money game semata. Soalnya karakter masyarakat kita kan maunya punya uang banyak dengan cara gampang. Tapi saya juga kaget karena nasabah saya tidak hanya orang bodoh tapi juga orang pintar, tokoh masyarakat, tokoh agama dan para pejabat.
R: Terus apa kaitan MT dengan kredit motor lewat Adira?
N: Itu begini ceritranya. Nasabah simpan uang di MT, kalau mereka kredit motor di Adira kamilah yang membayar cicilan motor ke Adira menggunakan bunga simpannnya di MT.
R: Lalu kenapa ada nasabah yang sudah lunas cicilannya tapi di Adira justru belum lunas sehingga dikejar-kejar Adira untuk ambil motor?
N: Wah itu pasti anak buah saya yang "main". Saya malah baru tahu kalau ada kasus begitu.
R: Loh kok Anda terkesan cuci tangan?
N: Bukan begitu bung Rahman, saya tidak mungkin mengurus semua kegiatan MT, ada staf saya yang mengurus itu. Tapi pada akhirnya begini, ya biarlah saya yang bertanggungjawab.
Tiba-tiba ombak besar merangsek menerjang kami. Niko Ladi terseret arus ke tengah laut. Saya berteriak sekeras-kerasnya minta tolong para penjaga pantai. "Tolongggg... Tolongggggg... Tolong selamatkan Niko Ladi. Dia masih banyak hutang..... Dia mau kembalikan duit nasabah.... Tolong selamatkan Niko Ladi".
"Hei.... Kenapa kamu teriak-teriak sebut nama Niko Ladi," bentak istriku sambil menggoyang-goyang kepalaku.
"Astagfirullah... Astagfirullah... Aku bermimpi. Aku wawanacarai Niko Ladi di pantai Kuta tapi dia terseret arus," jawabku sambil mengusap mata. Aku segera bangkit dari tidur, lalu meraih sebatang Marlboro putih sekedar menghilangkan kekagetanku.
Rahman Sabon Nama
Villa Ayung Bali, 14 Des 2013

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun