"Ariel can't be black! she's white with red hair and blue eyes!"
Dua belas tahun gerakan black lives matter yang digaungkan Amerika hanya ucapan belaka, Halle Bailey dengan perannya sebagai Ariel pada live action The Little Mermaid mengalami rasisme nyata. Film ini menuai banyak kontroversi meskipun dipuji karena penampilan dan gambarnya. Perdebatan seputar representasi muncul dari perekrutan Bailey, seorang aktris berkulit hitam, dengan beberapa reviewer film yang menginginkan untuk tetap berpegang teguh pada animasi aslinya, seorang gadis berkulit putih dengan rambut merah dan mata biru.
Disney mendapat kritik karena diduga melakukan whitewashing dan blackwashing pada beberapa karakternya, kritik ini memicu tanggapan bahwa Disney sengaja mengganti representasi dari cerita original sebagai strategi pemasaran. Selain Ariel, karakter Tinker Bell pada live-action Peter Pan and Wendy (2023) mengalami blackwashing dengan diperankan oleh aktris keturunan Afrika-Amerika, Yara Shahidi. Padahal, versi original Peter Pan karakter Think, digambarkan sebagai kulit putih dengan rambut pirang dan mata biru.
Disney menanggapi kontroversi yang muncul dari film Little Mermaid dengan menyebutkan Bailey sudah merepresentasikan Ariel dengan baik, Ariel merupakan putri duyung Denmark yang memiliki kulit hitam dan rambut merah. Sedangkan penikmat film Disney merasa pemilihan sosok Ariel tidak sesuai karena menyimpang dari ekspektasi masa kecil mereka. Di tengah isu rasisme yang diterimanya, Bailey mengungkapkan dirinya hanya fokus pada komentar positif tentang filmnya dan membagikan sisi terang perannya sebagai Ariel. Ada satu video reaksi di internet yang menampilkan anak - anak berkulit hitam yang senang karena melihat representasi warna kulit mereka pada film Disney.
Hak Asasi Manusia dan Diskriminasi dalam Industri Film
Hollywood sendiri sering kali tidak mempermasalahkan perubahan ras pada karakter minoritas, tetapi menghadapi kritik besar ketika karakter kulit putih diperankan oleh aktor dari kelompok minoritas. Fenomena ini menyoroti ketidaksetaraan dalam industri film, aktor dari kelompok minoritas masih menghadapi hambatan sistemik yang membuat mereka lebih sulit mendapatkan peran utama. Kesempatan kerja yang tidak setara dalam industri ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena secara tidak langsung membatasi akses mereka terhadap representasi yang adil di layar lebar.
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi, termasuk berdasarkan ras. Ujaran kebencian yang diterima Bailey melalui media sosial merupakan bentuk nyata dari diskriminasi rasial dan pengucilan sosial. Perdebatan ini pun melampaui sekadar representasi budaya dalam film, karena menyentuh isu yang lebih luas terkait hak asasi manusia, terutama prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Tidak hanya dalam aspek ras, tetapi juga dalam isu lain seperti gender, media sering kali memperkuat bias yang telah lama ada.
Pengaruh Media terhadap Persepsi Gender
Selain perdebatan mengenai ras, The Little Mermaid juga mendapat kritik karena mempertahankan norma gender tradisional dalam ceritanya. Salah satu aspek yang paling disorot adalah bagaimana Ariel "mengorbankan suara demi cinta." Alur ini dianggap mendukung pandangan lama yang menggambarkan perempuan sebagai sosok pasif yang rela mengorbankan kebebasannya demi hubungan romantis. Representasi semacam ini dinilai dapat memperkuat ketidakadilan gender dalam media, di mana karakter perempuan lebih sering digambarkan berfokus pada hubungan pribadi dibandingkan mengejar impian dan ambisi mereka sendiri.
Di balik perubahan representasi karakter Disney yang menuai pro dan kontra, muncul pertanyaan: apakah langkah ini benar-benar bertujuan untuk mendukung keberagaman atau sekadar strategi pasar yang mengikuti tren sosial? Representasi dalam media memang penting, tetapi motif di baliknya juga patut dikritisi. Sebagian pihak melihat perubahan ini sebagai upaya Disney untuk menarik perhatian publik dan memperluas pasar, bukan sebagai dorongan nyata untuk mendorong kesetaraan dan inklusivitas.
Referensi
Auster, C. J., & Michaud, M. A. (2013). The Internet Marketing of Disney Theme Parks: An Analysis of Gender and Race. SAGE Open, 3(1), 1-12. .Â