Mohon tunggu...
Rahmawati Atjo
Rahmawati Atjo Mohon Tunggu... Lainnya - Menulislah, Karena Kau Bukan Anak Raja

Komunitas Aktif Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi UU ITE, Jaminan Kebebasan Berpendapat?

28 Februari 2021   20:00 Diperbarui: 28 Februari 2021   20:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revisi UU ITE, Jaminan Kebebasan Berpendapat?

Oleh Rahma Atjo

Revisi UU ITE menjadi perbincangan yang cukup hangat akhir-akhir ini. Revisi akan dilakukan bulan maret mendatang, dengan alasan ada beberapa pasal yang dianggap multi tafsir. Tim kajian UU ITE bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, rencana akan memanggil korban penerapan UU ini. Untuk dimintai keterangan dan pendapat mereka. (koran.tempo.co. 27/02/21)

Beberapa kalangan menyampaikan rasa pesimisnya terkait keberhasilan revisi ini. Apakah publik bisa tetap menyampaikan kritiknya, tanpa ada kekhawatiran atau justru semakin tertutup. UU nomor 11 tahun 2008 ini telah diberlakukan sejak kepemimpinan SBY dan akhirnya menjadi momok saat ini. Seperti dalam sebuah tayang video, bertajuk Revisi UU Ite Realita atau Retorika, (cnnindonesia.com, 16/2/21) yang membahas komitmen pemerintah dalam rencana revisi dan harapan bahwa pedoman yang dihasilkan mampu menghadirkan kepastian dan keadilan hukum.

Lain lagi dalam perbincangan UU ITE Dibuat di Era SBY, Makin Banyak Korban di Era Jokowi. Siapa Yang Salah? milik Rosi di kompas.tv, tertanggal 27/2/2021 membahas tentang praktek penerapan UU ini terkadang tidak tepat sasaran, sebut saja ada seorang wartawan di kalimantan yang menulis soal tambang di sana, yang dipidanakan dengan undang-undang ini karena aktivitas jurnalistiknya. Padahal ia dilindungi dengan undang-undang pers.

Pertanyaan pada tajuk yang sama muncul, apakah meningkatnya kasus disebabkan karena pemerintah yang represif atau hanya karena jumlah pengguna yang semakin bertambah. Zaman kepemimpinn SBY tercatat 74 kasus, sedangkan saat ini hingga tahun 2020 terjadi 231 kasus. Walau ada sanggahan bahwa kasus bermunculan disebabkan karena pengguna internet saat ini mencapai 196, 7 juta, sehingga bila rata-rata menggunakan medsos tentu dunia maya sangat 'riuh'.

Narasi juga berkembang pada masalah demokrasi yang ternodai. Padahal kebebasan berpendapat sangat dilindungi oleh undang-undang.

Melihat lebih jauh soal UU ini, tentu perlu ditelisik latar belakang undang-undang ini lahir. Telah banyak disebutkan bahwa alasannya adalah untuk melindungi pengguna internet yang melakukan aktivitas bisnis. Namun seiring berjalannya waktu, klausul-klausul dalam undang-undang ini digunakan untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat. Ini terlihat pada jumlah pejabat yang menggunakan undang-undang ini mencapai 35,92 persen, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan. Pelapor awam tercatat mencapai 32,24 persen. (tirto.id, 18/10/18)

Maka bila bicara soal demokrasi, ternyata kebebasan berpendapat hanya isapan jempol semata. Tak ada yang bisa diharapkan. Beginilah hasil adopsi sistem kapitalis.

Dengan sistem ini, muncullah pribadi-pribadi yang tidak suka bila mendapat nasehat dari saudaranya. Termasuk lembaga yang akan mengadukan konsumennya saat mengeluhkan layanan diberikan. Demikian juga pejabat negara akan melaporkan rakyat yang mengritik kebijakannya.

Padahal Allah telah berfirman "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imron: 110)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun