Di tengah riuhnya kabar tentang ancaman global, konflik regional, dan derasnya arus informasi digital yang kerap menyesatkan, istilah "bela negara" kembali menyeruak ke ruang publik. Namun, istilah ini sering disalahpahami. Di benak banyak orang, bela negara identik dengan laras panjang, seragam loreng, dan pelatihan baris-berbaris.
Padahal, makna bela negara jauh lebih luas. Ia bukan milik satu institusi bersenjata, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.
Bukan Militeristik
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara." Di sinilah letak prinsipnya. Hak dan kewajiban. Dua kata yang menjadikan bela negara sebagai pilar kebangsaan, bukan sekadar tugas militer.
Bela negara adalah sikap. Ia tidak selalu mengandung unsur kekerasan atau persenjataan. Ia adalah kesadaran kolektif untuk menjaga tanah air ini dari perpecahan, kebodohan, ketidakadilan, dan ancaman lain yang bersifat nirmiliter.
Di masa damai---yang sebenarnya tidak pernah benar-benar damai---bela negara dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dengan cara yang bermacam-macam.
Wartawan, Guru, Petani, Dokter
Seorang wartawan, misalnya, membela negara ketika ia memverifikasi informasi sebelum menulis atau menyiarkan berita. Ia menjaga nalar publik tetap jernih, tidak teracuni hoaks, fitnah, atau agitasi yang membelah bangsa.
Guru membela negara setiap kali ia menyalakan pelita ilmu di ruang kelas, membentuk karakter generasi muda yang berpikir kritis dan cinta tanah air.
Petani membela negara saat ia memastikan ladangnya tetap hijau, sawahnya panen, dan lumbung negeri tidak kosong.
Dokter membela negara kala ia merawat pasien tanpa diskriminasi, mengabdi dalam krisis kesehatan, bahkan saat dirinya terpapar risiko.