Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senang Ditakut-takuti atau Memang Penakut?

28 Juli 2025   16:16 Diperbarui: 28 Juli 2025   16:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rahadi Wangsapermana dan Boneka Annabelle, Sumber : Istimewa

Film horor, seperti hantu yang tak pernah lelah gentayangan, terus menakut-nakuti layar bioskop Indonesia. Setiap tahun, judul baru bermunculan-dari yang berbumbu urban legend desa terpencil hingga hantu warisan kolonial. Anehnya, penonton tak pernah jera. Mereka kembali, antre, dan menjerit - berkali-kali. Lalu pulang dengan puas.

Dari era Suzanna hingga film seperti KKN di Desa Penari, genre ini terus mendominasi layar lebar nasional, bahkan melampaui film drama, komedi, atau action lokal. Mengapa film horor begitu kuat mencengkeram hati -- dan syaraf -- penonton Indonesia?  KKN di Desa Penari menembus rekor penonton nasional, horor menjadi genre yang tak sekadar laris. Ia menempati takhta. Menyisihkan drama romantis, meminggirkan komedi, bahkan mengalahkan patriotisme film laga.

Apakah ini soal selera? Apakah orang Indonesia senang ditakut-takuti, atau justru karena memang penakut sehingga penasaran? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri lebih dalam, dari sisi sosial-budaya hingga ke seluk-beluk otak manusia.

Rasa Takut yang Kolektif

Indonesia punya hubungan panjang -- dan rumit -- dengan dunia gaib. Dari sudut kampung hingga gedung perkantoran metropolitan, kisah hantu selalu menemukan ruang. Di dalam rumah, di pinggir jalan, di hutan, di kolong ranjang.

Budaya lisan kita diwarisi oleh cerita mistis. Petuah nenek soal larangan keluar magrib bukan sekadar etika waktu, tapi alarm akan keberadaan makhluk lain. Penonton film horor, dengan kata lain, hanya memperpanjang ritual takut kolektif yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Di negeri dengan ribuan mitos lokal, film horor adalah panggung besar untuk menonton kembali ketakutan sendiri. Penonton bukan sekadar mencari hiburan -- mereka menonton bagian dari diri dan budaya mereka sendiri. Ini bukan konsumsi biasa. Ini ziarah rasa takut.

Rahadi Wangsapermana dan Jason Friday the 13th, Sumber : Istimewa
Rahadi Wangsapermana dan Jason Friday the 13th, Sumber : Istimewa

Industri Ketakutan

Namun, jangan lupakan ekonomi rasa takut. Film horor relatif murah diproduksi. Minim bintang besar, cukup kamera gelap dan suara mengagetkan. Tapi daya jualnya luar biasa. Produser tahu betul rumus ini: modal cekak, untung bejibun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun