Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sugar Coating: "Ngono yo Ngono Ning Ojo Ngono"

10 Oktober 2025   22:15 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:12 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi atasan dengan karyawan di kantor. (Sumber: preefoto/ Freepik via kompas.com)

Di balik senyum ramah dan kata-kata manis di ruang kerja, sering tersembunyi naluri purba manusia untuk bertahan hidup dalam hierarki kekuasaan.

Sugar coating, istilah yang sering dipahami sebagai bentuk komunikasi yang memperlihatkan kebiasaan "mempermanis kenyataan" bukan sekadar sopan santun modern, melainkan warisan sosial dari zaman feodal.

Dalam sebuah prinsip Jawa dikenal kalimat "Ngono yo ngono ning ojo ngono", apabila diterjemahkan menjadi "Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu". Bertindak boleh, punya keinginan boleh, tapi jangan berlebihan.

Pitutur Jawa ini mungkin analogi yang paling sederhana dan mendalam sekaligus sindiran terhadap praktik sugar coating. Kita bersepakat bahwa praktik tersebut dapat terjadi di hampir semua level jabatan, suku, bangsa, dan tidak peduli kaya atau miskin.

Kini, di balik gedung-gedung perkantoran yang berkilau, praktik itu hidup kembali dalam bentuk yang lebih halus, namun sama berbahayanya: menjilat tanpa merasa menjilat.

Praktik semacam ini tampak dalam bentuk pujian berlebihan kepada atasan, pernyataan diplomatis yang menutupi kebenaran, hingga sikap seolah-olah tunduk untuk mendapat simpati kekuasaan.

Namun, jauh sebelum istilah ini dikenal dalam psikologi organisasi modern, praktik serupa telah menjadi bagian dari peradaban manusia selama berabad-abad.

Dalam konteks sosiologis, sugar coating bukan sekadar perilaku individu, melainkan representasi dari relasi kuasa, hierarki sosial, dan kebutuhan akan pengakuan dalam struktur dominasi (Weber, 1947).

Akar Sejarah: Ketika Menjilat Menjadi Seni Bertahan Hidup

Sejarah manusia menunjukkan bahwa sugar coating berakar pada strategi bertahan hidup di dalam sistem feodal dan kerajaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun