Di balik senyum ramah dan kata-kata manis di ruang kerja, sering tersembunyi naluri purba manusia untuk bertahan hidup dalam hierarki kekuasaan.
Sugar coating, istilah yang sering dipahami sebagai bentuk komunikasi yang memperlihatkan kebiasaan "mempermanis kenyataan" bukan sekadar sopan santun modern, melainkan warisan sosial dari zaman feodal.
Dalam sebuah prinsip Jawa dikenal kalimat "Ngono yo ngono ning ojo ngono", apabila diterjemahkan menjadi "Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu". Bertindak boleh, punya keinginan boleh, tapi jangan berlebihan.
Pitutur Jawa ini mungkin analogi yang paling sederhana dan mendalam sekaligus sindiran terhadap praktik sugar coating. Kita bersepakat bahwa praktik tersebut dapat terjadi di hampir semua level jabatan, suku, bangsa, dan tidak peduli kaya atau miskin.
Kini, di balik gedung-gedung perkantoran yang berkilau, praktik itu hidup kembali dalam bentuk yang lebih halus, namun sama berbahayanya: menjilat tanpa merasa menjilat.
Praktik semacam ini tampak dalam bentuk pujian berlebihan kepada atasan, pernyataan diplomatis yang menutupi kebenaran, hingga sikap seolah-olah tunduk untuk mendapat simpati kekuasaan.
Namun, jauh sebelum istilah ini dikenal dalam psikologi organisasi modern, praktik serupa telah menjadi bagian dari peradaban manusia selama berabad-abad.
Dalam konteks sosiologis, sugar coating bukan sekadar perilaku individu, melainkan representasi dari relasi kuasa, hierarki sosial, dan kebutuhan akan pengakuan dalam struktur dominasi (Weber, 1947).
Akar Sejarah: Ketika Menjilat Menjadi Seni Bertahan Hidup
Sejarah manusia menunjukkan bahwa sugar coating berakar pada strategi bertahan hidup di dalam sistem feodal dan kerajaan.