Di saat Kongres AS gagal mengesahkan RUU pendanaan sementara sebelum batas waktu 30 September 2025, pemerintahan federal resmi memasuki kondisi shutdown pada 1 Oktober 2025.
Pemerintahan yang sebagian besar berhenti beroperasi itu bukan sekadar kegagalan teknis dalam proses anggaran--ia adalah cermin dari dinamika politik, permainan kekuasaan, dan kelemahan prosedural yang berulang dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat.
Sebelum jauh dan mendalam, ada baiknya kita pahami dulu apa itu kondisi shutdown yang terjadi di negeri Paman Sam.
Shutdown: Lagu lama, kaset baru
Dalam literatur politik Amerika Serikat, government shutdown merujuk pada penghentian sebagian besar operasi pemerintahan federal akibat terhentinya proses penganggaran.
Secara konstitusional, Pasal I Konstitusi AS memberi kewenangan penuh kepada Kongres untuk meloloskan appropriations bills (rancangan undang-undang pendanaan) sebagai dasar legal pengeluaran negara. Mirip APBN di Indonesia.
Ketika rancangan pendanaan tidak tercapai hingga batas tahun fiskal, pemerintah terikat oleh prinsip Antideficiency Act yang melarang pengeluaran tanpa otorisasi legislatif.
Akibatnya, lembaga federal yang tidak tergolong esensial harus menghentikan layanan, sementara pegawai dirumahkan atau bekerja tanpa bayaran.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran, melainkan refleksi dari polarisasi politik, logika veto players, serta strategi brinkmanship yang kerap digunakan partai-partai politik dalam negosiasi kebijakan.
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Shutdown telah berulang sejak era Presiden Jimmy Carter di akhir 1970-an.