Peribahasa "mulutmu adalah harimaumu" menjadi pengingat penting untuk lebih berhati-hati dalam bertutur. Baik dan buruknya lisan akan menentukan hubungan kita dengan sesama.
Beberapa waktu terakhir, publik Indonesia disuguhi parade pernyataan kontroversial dari para pejabat maupun tokoh publik.
Ucapan-ucapan yang dianggap tidak sensitif, cenderung merendahkan, bahkan menyakiti hati rakyat terus bermunculan.
Masih segar dalam ingatan publik, ucapan Gus Miftah yang kerap mengeluarkan candaan yang dianggap menyinggung. Tak lama kemudian, Deddy Corbuzier dengan komentarnya yang bernada merendahkan anak-anak.
Tidak berhenti sampai di situ. Nusron Wahid soal kepemilikan tanah. Yusril Ihza Mahendra, bahkan menyebut peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada 1998 tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Pernyataan yang akhirnya diklarifikasi sendiri.
Luhut Binsar Panjaitan saat menanggapi tagar #IndonesiaGelap, Immanuel Ebenezer, Sri Mulyani, Nasaruddin Umar, hingga yang terbaru Purbaya Yudhi Sadewo.
Fenomena ini menggambarkan betapa public speaking pejabat di Indonesia tengah memasuki fase darurat.
Fenomena: Krisis Public Speaking dan Empati
Fenomena ini sesungguhnya merupakan krisis komunikasi publik di tengah era digital yang serba transparan dan instan.
Jika di masa lalu ucapan pejabat dapat "ditambal" oleh media arus utama, kini setiap kata segera terdokumentasi dan viral.