Ramadan, sahabat yang teramat dekat. Aku menulis ini sambil tersedu, di antara tarawih terakhir dan sahur yang mulai enggan datang.
Kau hampir pergi, meninggalkanku dengan setumpuk dosa yang baru saja kau ampuni, dan mungkin beberapa kilo berat badan yang naik karena ketupat lebaran nanti.
Sebentar lagi, hari-hari kita bersama akan berlalu. Kini saatnya kita berpisah. Dan hatiku terasa hampa. Aku tahu, kau kadang jengkel di saat aku berniat bangun untuk tahajud, tapi alarmku lebih sering kumat (baca: terlalu malas...).
Tapi kau, Ramadan yang sabar, tetap memberiku maaf. Kau biarkan aku merasakan indahnya sahur bersama, nikmatnya berbuka dengan kurma dan air putih (sebelum akhirnya diserbu kolak dan gorengan...).
Aku ingin memeluk erat hari-harimu yang tersisa, menit-menit terakhir di mana pintu ampunan masih terbuka lebar. Aku ingin berlari mencari Lailatul Qadar, meski mungkin aku malah ketiduran di atas sajadah.
Oh Ramadan, engkau datang membawa Cahaya. Di tengah gelapnya malam dan hiruk-pikuk dunia. Setiap detik bersamamu adalah anugerah. Setiap tarawih dan doa menjadi pelipur lara.
Namun kini, waktu tak lagi berpihak. Saatnya engkau pamit, meninggalkan jejak.
Aku merindukan kesunyian malam. Ketika sepertiga malam kau hadir dalam doa. Menemani jiwa yang lelah dan letih. Membawa harapan dalam setiap sujudku.
Kini, suara adzan mulai mereda. Mengantarkan kita pada perpisahan yang pahit.
Ramadan, engkau adalah pelajaran hidup. Tentang sabar dan syukur yang tak terhingga. Engkau mengajarkan arti berbagi, peduli, dan empati. Dalam setiap suapan yang kita nikmati bersama.