Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Bertemu Hiu Paus Bukanlah Mimpi, Ancaman Mabok Laut pun Harus Diatasi

14 Agustus 2018   18:31 Diperbarui: 14 Agustus 2018   23:54 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Botubarani, Bone Bolanga, Gorontalo. (Foto Ganendra)

MESTI hati-hati aku mengangkat kaki kananku ke perahu kecil itu. Sedikit saja meleset, aku bisa terbanting lalu jatuh ke asinnya air laut. Basah di badan mungkin tak seberapa, namun bisa berakibat fatal untuk ponsel dan kamera yang kugantungkan di leherku. Terendam air garam adalah sebuah kondisi 'haram' untuk perangkat elektronik.

Berhasil. Kaki kananku masuk ke dasar perahu. Menapak dengan pasti, tak terpeleset.  Itu memudahkanku mengangkat kaki kiriku mengikuti ke dalam perahu. Kedua tanganku memegang bibir perahu kayu beratap kain itu. Selepasnya duduklah aku di ujung perahu berukuran panjang sekira 3 meteran itu. Duduk tepat di belakang Om Kayang, sang pengemudi perahu bercadik.

Om Kayang adalah salah satu guide perahu di Desa Botubarani, Bone Bolango, Gorontalo. Desa yang mendapat berkah dikunjungi Hiu Paus setiap rentang Mei -- July. Kunjungan mamalia laut yang membawa berkah bagi nelayan di Botubarani.

Pantai Botubarani, Bone Bolanga, Gorontalo. (Foto Ganendra)
Pantai Botubarani, Bone Bolanga, Gorontalo. (Foto Ganendra)
Jika bukan karena keinginan kuat dan rasa penasaran bertemu Hiu Paus yang terkenal di pantai desa ini, mungkin aku akan berpikir sekian puluh kali ikut 'melaut' kemari. Duduk di warung-warung pantai, menikmati kelapa muda mungkin akan jadi pilihan. Tapi tidak! Aku harus bertemu Hiu Paus!

"Ini catatan traveling yang berbeda dan berharga. Ini mimpi yang sudah dekat terwujud," kata batinku yang semakin menebalkan tekad menuju lokasi 'palung' sana. Itulah sebabnya aku mantap melangkah dan naik perahu bercadik Om Kayang itu. Perahu yang standar dipatok harga Rp. 75 ribu/ perahu, berdaya tampung maksimal 3 orang (tak termasuk pengemudi).

Awalnya aku ingin ikutan snorkeling, namun aku berubah pikiran. Mendingan melihat dari atas perahu saja daripada nyebur. Sekaligus bisa mengabadikannya. Jadi aku naik perahu hanya dengan 3 orang termasuk Om Kayang.

Perahu bergoyang-goyang diantara ombak di samping puluhan perahu serupa lainnya. Jam menunjuk waktu Dhuha. Cuaca cukup terik. Berlindung di atas kain perahu hanya mengurangi sedikit panas yang terasa. Maklum cuaca laut sekira 100 meter dari bibir pantai, terlalu cerah.

Cuaca tipikal pantai seperti itu sudah kuperkirakan sejak keberangkatan dari penginapan di Kota Gorontalo. Apalagi bagi "anak darat" yang sangat jarang naik transportasi laut. Itu tak mudah. Kondisi fisik mesti dipersiapkan untuk mengantisipasi kondisi yang berbeda. 

Cuaca, juga kondisi di perahu. Rasa pusing 'kliyengan', mual, mabok, "jackpot" (muntah-muntah) adalah ancaman yang sangat mungkin menyerang. Biasanya tubuh bereaksi dengan keringat dan tubuh panas dingin, seperti masuk angin.

Jika tak mampu mengantisipasi gejala-gejala itu, maka pupuslah hasrat menyaksikan Hiu Paus itu. Mimpi pun entah kapan bisa berkesempatan mewujudkannya lagi, secara Gorontalo cukuplah jauh dari tempat kediaman di Jakarta.

Anti Mabok Laut, Anti "Jackpot"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun