Menelusuri Ilmu Sosial: Filsafat, Sejarah, dan Tantangan Pendidikan Sejarah di Indonesia
Pendahuluan
Ilmu sosial merupakan disiplin yang mempelajari perilaku manusia dan dinamika masyarakat. Salah satu cabangnya, sejarah, membantu memahami peristiwa masa lalu untuk memberikan wawasan bagi masa kini. Artikel ini menguraikan asal-usul ilmu sosial, hubungannya dengan ilmu eksakta dan seni, perkembangan disiplin sejarah di dunia dan Indonesia, tantangan pendidikan sejarah di Indonesia dibandingkan negara lain, serta penerapan konsep sejarah dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat dan Sejarah Lahirnya Ilmu Sosial
Ilmu sosial muncul pada abad ke-18 di Eropa selama era Pencerahan, dipicu oleh perubahan sosial akibat Revolusi Industri dan revolusi politik, seperti Revolusi Prancis. Auguste Comte, seorang filsuf, memperkenalkan positivisme, yaitu pendekatan yang menggunakan metode ilmiah untuk memahami masyarakat, mirip dengan ilmu eksakta seperti fisika atau kimia. Ia menyatakan, "savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir," yang berarti "mengetahui untuk meramalkan, meramalkan untuk mengendalikan" (Gramedia, 2023). Maksudnya, dengan memahami pola sosial secara ilmiah, manusia dapat memprediksi dan mengatur kehidupan masyarakat. Namun, Wilhelm Dilthey mengusulkan hermeneutika, yaitu pendekatan yang menekankan pemahaman makna budaya dan sejarah, serupa dengan pendekatan seni yang berfokus pada interpretasi dan ekspresi.
Di Indonesia, ilmu sosial mulai berkembang pada masa kolonial melalui studi etnografi oleh tokoh seperti Thomas Stamford Raffles. Namun, ilmu sosial baru terlembaga secara formal pada abad ke-20 melalui pendirian fakultas di universitas, seperti Universitas Indonesia (Kyoto Review, 2017). Ilmu sosial memiliki keunikan karena menggabungkan ketelitian ilmu eksakta dengan kepekaan seni. Berbeda dengan ilmu eksakta yang mencari hukum universal, ilmu sosial bersifat kontekstual dan berorientasi pada nilai kemanusiaan. Berbeda pula dengan seni yang bersifat subjektif, ilmu sosial menggunakan data empiris untuk mendukung analisis.
Disiplin Sejarah
Asal-Usul Disiplin Ilmu SejarahÂ
Secara global, sejarah menjadi disiplin ilmiah pada abad ke-19 di Eropa, ditandai dengan pendekatan Leopold von Ranke yang menekankan penggunaan dokumen asli untuk mencapai objektivitas (Stanford Encyclopedia, 2020). Di Indonesia, sejarah awalnya berbentuk tradisi lisan dan tulisan, seperti Babad atau Hikayat, yang mencatat peristiwa kerajaan. Sejarah sebagai disiplin akademik berkembang pada masa kolonial melalui karya orientalis Eropa dan terus berlanjut pasca-kemerdekaan dengan pendirian fakultas sejarah di universitas seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia pada 1950-an (Kyoto Review, 2017). Publikasi An Introduction to Indonesian Historiography pada 1965 menjadi tonggak penting, meskipun perkembangannya sempat terhambat pada era Orde Baru.
Â
Filsafat Ilmu Sejarah
Dari sudut pandang filsafat, sejarah menggabungkan positivisme dan hermeneutika. Positivisme terlihat dari upaya mencari fakta melalui sumber primer, seperti dokumen arsip atau artefak, serupa dengan pendekatan ilmu eksakta. Namun, hermeneutika berperan dalam interpretasi fakta, karena sejarawan perlu memahami konteks sosial, budaya, dan psikologis peristiwa. R.G. Collingwood menyebut sejarah sebagai "rekonstruksi imajinatif" masa lalu, yang mengharuskan sejarawan memahami pikiran pelaku sejarah (Stanford Encyclopedia, 2020).
Secara ontologi, sejarah berfokus pada peristiwa unik, bukan hukum universal seperti ilmu eksakta. Secara epistemologi, sejarah bergantung pada verifikasi sumber dan analisis data untuk menjelaskan peristiwa. Pendekatan ini membedakan sejarah dari ilmu eksakta yang bersifat prediktif dan seni yang bersifat ekspresif.
Tantangan Pendidikan Sejarah di Indonesia
Pendidikan sejarah di Indonesia tentu mendapatkan sebuah tantangan, yang dapat dibandingkan dengan praktik di negara lain:
- Pendekatan Hafalan: Kurikulum sejarah di sekolah cenderung berfokus pada menghafal fakta, tanggal, dan nama tokoh, bukan analisis kritis. Ini berbeda dengan Jerman, yang mendorong diskusi kritis tentang masa lalu, seperti refleksi terhadap Holocaust (World Education, 2019).
- Narasi Tunggal: Sejarah sering disampaikan dari perspektif nasionalis, mengabaikan cerita lokal atau kelompok minoritas. Sebaliknya, Inggris menerapkan kurikulum multikultural yang mencakup sejarah imigran (Lowy Institute, 2018).
- Kurangnya Sumber Primer: Siswa jarang dilatih menggunakan dokumen asli, seperti arsip, yang umum dilakukan di Amerika Serikat melalui proyek penelitian (World Education, 2019).
Kendala ini diperparah oleh kurangnya pelatihan guru dan kurikulum nasional yang kurang fleksibel (World Education, 2019). Fokus pada pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 juga mengurangi perhatian pada sejarah.
Saran Perbaikan:
- Menerapkan pendekatan inkuiri, di mana siswa menganalisis sumber primer untuk mengasah keterampilan kritis.
- Memanfaatkan teknologi, seperti arsip digital, untuk memudahkan akses sumber, seperti praktik National Archives di AS.
- Mengintegrasikan sejarah lokal dan perspektif minoritas dalam kurikulum, mengikuti pendekatan multikultural Inggris.
- Melatih guru untuk menggunakan metode interaktif, seperti diskusi atau simulasi sejarah, seperti di Finlandia (Sampoerna Academy, 2023).