Rancangan Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tengah menjadi sorotan publik dan menjadi polemik di berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis hak asasi manusia, masyarakat sipil, hingga para mahasiswa. Hal ini dinilai menjadi ancaman nyata bagi stabilitas nasional dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia,
Sejak disahkan pada 2004, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas membatasi peran dan tugas militer hanya dalam konteks pertahanan negara. Namun, dalam draft terbaru RUU TNI, militer diberikan kewenangan lebih besar untuk ikut terlibat dalam urusan pemerintahan. Hal inilah yang memicu kekhawatiran akan terjadinya Dwifungsi ABRI kembali serta terkikisnya supremasi sipil.
Runtuhnya supremasi sipil
Cita-cita reformasi 1998 kini telah dikhianati, peran TNI yang semakin diperluas dengan kewenangan menduduki posisi-posisi strategis di kementerian dan lembaga negara non-pertahanan jelas bertentangan dengan cita-cita reformasi. Selain itu, langkah ini juga menandai runtuhnya prinsip bahwa urusan pemerintahan sepenuhnya harus berada di bawah kendali otoritas sipil.
Supremasi sipil yang selama ini menjadi pilar demokrasi kini terancam. RUU ini berpotensi mengembalikan pola kekuasaan yang menempatkan militer sebagai aktor dominan dalam pengambilan kebijakan publik. Dengan wewenang tersebut, TNI tidak hanya berperan dalam urusan pertahanan, tetapi juga berpotensi mengintervensi kebijakan politik, ekonomi, dan sosial.Â
Selain itu, keterlibatan jauh TNI dalam jabatan-jabatan sipil berpotensi merusak tatanan birokrasi dan mekanisme pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh tenaga sipil profesional di bidangnya. Sebab, militer dididik untuk menghadapi ancaman keamanan nasional dan tidak dirancang untuk menangani urusan pemerintahan yang menuntut transparansi, partisipasi publik, serta akuntabilitas administratif. Kondisi ini juga dapat memicu ketidakefektifan dalam pengambilan kebijakan dan pelayanan publik, sekaligus memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Bayang-bayang orde baru
Sejarah kelam Orde Baru juga menjadi bukti nyata bahwa keterlibatan militer di luar fungsi pertahanan seringkali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap masyarakat dan para mahasiswa. Kasus-kasus represifitas, intimidasi politik, hingga penindasan terhadap gerakan mahasiswa merupakan catatan hitam yang tak terpisahkan dari masa lalu tersebut.Â
Alih-alih membangun demokrasi yang sehat, peran ganda militer saat itu justru memupuk kekuasaan otoriter yang membungkam suara kritis rakyat. Kembalinya militer ke ruang-ruang sipil melalui RUU TNI membawa risiko menghidupkan kembali pola kekuasaan otoritarianisme. Jika dibiarkan, bukan hanya supremasi sipil yang runtuh, tetapi juga hak-hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi akan kembali berada dalam ancaman dan ketakutan.
Kesimpulan: Ancaman nyata bangsa ini