Mohon tunggu...
Rafli Marwan
Rafli Marwan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bahasa, sastra, dan Budaya

"Seorang Penulis dapat melihat segi-segi lain yang umum tidak mampu melihat (Pramoedya)"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidupkan Pramoedya dalam Sastra Modern

6 Juli 2019   03:20 Diperbarui: 6 Juli 2019   04:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal ini sangat berbeda dengan peletakan pikiran Pramoedya. Pramoedya menggunakan perempuan sebagai sumber keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, bahkan idealisme. Annelies yang menjadi korban kepemilikan tanah warisan menjadi bukti perwujudan ketidakadilan. Si Gadis Pantai tercerabut dari akar kebudayaannya sebagai perempuan nelayan setelah dibawa pergi Tuan tanah feodal. Ang Sang Mei dengan idealisme memperjuangkan cita-cita angkatan muda Tiongkok.

Semua itu bukanlah imajinasi absurd. Sebagai seorang yang idealis terhadap realisme sosialis, Pramoedya mengungkap realitas melalui sastra dan menjadikan perempuan sebagai sumber revolusi di bawah kengerian zaman kolonialisme.

Melalui esai "Kesusasteraan dan Perdjuangan" 1952, Pramoedya mengatakan karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup (Scherer, 2019). Penderitaan dan perjuangan, sekali lagi bukan imajinasi absurd, atau mengada-adakan. Pramoedya menulis dengan inspirasi atas pengamatan realitas.

Untuk mengamati, Pramoedya menyarankan gagasan "Turba" (turun ke bawah) yang merupakan cara untuk menuliskan karya-karyanya.

Para penulis, terutama penulis sastra harus turun ke desa, ke kota, ke tengah-tengah masyarakat dan berbaur agar mengetahui bagaimana penderitaan dan perjuangan mereka dan munculkan dalam karya sastra. Dengan begitu karya sastra bukan saja berlaku hari ini, tetapi hidup di masa akan datang dan menjadi dokumen sejarah.

Pramoedya bahkan Turba pada kehidupannya sendiri. Dalam kumpulan cerpen berjudul "Cerita Dari Blora" Pramoedya tidak sekedar menceritakan situasi dan kondisi Blora sebagai tanah kelahirannya,

Ia juga menceritakan latar belakang kehidupan keluarganya. Dan kehidupan itu tentu disertai penderitaan dan perjuangan yang realistis sesuai ideologi yang diyakini: realisme sosialis.

Karena menulis dengan latar dan peristiwa kedaerahan di Indonesia, Pramoedya disebut sebagai  penulis primitif, dan ini diakui Pramoedya dalam esai berjudul "Lahir Sebuah Tjerita Pendek" 1956. Penulis primitif konsisten pada kepentingan rakyat, memunculkan penderitaan, perjuangan, bahkan kearifan bangsa.

Bagi Pramoedya, menulis dan kreativitas sastra adalah pengalaman mistis. Pengalaman mistis adalah pengalaman batin yang muncul secara spontan ketika ditumpahkan dalam tulisan.

Pangalaman mistis mendahului pikiran. Ia muncul membawa situasi, posisi, dan kondisi dalam cerita-cerita. Sastra dengan pengalaman mistis tidak mementingkan kualitas, melainkan tujuan.

Sastra sebagai medium untuk berbicara keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme merupakan misi progresif di zaman modern. Misi itu harus melampaui keindahan. Sastra harus mampu memunculkan penderitaan dan perjuangan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun