Mohon tunggu...
Rafli Marwan
Rafli Marwan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bahasa, sastra, dan Budaya

"Seorang Penulis dapat melihat segi-segi lain yang umum tidak mampu melihat (Pramoedya)"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidupkan Pramoedya dalam Sastra Modern

6 Juli 2019   03:20 Diperbarui: 6 Juli 2019   04:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melalui wawancara singkat di youtube Seno Gumira Ajidarma mengatakan dunia sastra Indonesia masih romantik. Pernyataan itu sulit dinafikan.

Penciptaan sastra Indonesia modern yang beredar masih berkutat pada keindahan, keromantisan, percintaaan. Orang sibuk berdebat apakah indah atau tidak, romantis atau tidak. Bahkan munculnya puisi kontroversial Sukmawati Soekarno Putri berjudul Ibu Indonesia orang berdebat apakah itu sastra atau bukan: pandangan terlampau struktural-formalis yang kuno untuk diperdebatkan.

Tetapi anehnya ke-kuno-an itu justru dipertahankan. Di sayembara, kita akan dikoreksi kesalahan penempatan kata dan pemilihan kata yang justru tidak relevan dengan penilaian sastra. Pengoreksian seperti itu, Sutardji Calzoum Bachri sekalipun tidak akan lolos dengan gaya puisi yang mementingkan tipografi.

Puisi-puisi romantik ataupun roman picisan menumbuhkan faedah keromantisan yang merangsang gairah pembaca dengan keindahan, tetapi perlahan menurunkan derajat sastra dan dengan sendirinya mengesampingkan sastra dari kehidupan sosial.

Ketika Seno Gumira Ajidarma diundang salah satu televisi nasional membahas cerpen "Senja Untuk Pacarku" tanpa ditanyakan dengan gamblang Seno dengan spontan menegaskan "cerpen itu bukan tentang cinta melainkan senja".

Nampaknya Seno menghindari percintaan sebagai unsur utama dalam cerpennya. Tentu saja, cinta bukanlah tujuan, melainkan cara untuk sampai pada tujuan. Hanya pembaca kelebihan "baper" yang mengatakan "bukan senja melainkan cinta".

Sutradara film Bumi Manusia, Hanung Bramantyo mengatakan roman pertama Tetralogi Pulau Buru itu intinya soal cinta antara Minke dan Annelies. Apakah Hanung kelebihan "baper" dengan ciuman Minke dan Annelies sehingga lupa bahwa Tetralogi Pulau Buru adalah roman sejarah atau-kah dia mengetahui  dan sengaja mengubah pikiran kalayak dari roman sejarah ke roman picisan demi kepentingan komersialisasi.

Sastra sebagai keindahan, percintaan, keromantisan yang terdokrinasi dalam pikiran pembaca hari ini adalah semata-mata hiburan; menghibur diri di waktu senggang, menghibur diri ketika dikecewakan. Jika sastra serupa perempuan, ia hanya pelacur yang mengisi waktu senggang lelaki hidung belang. Sastra sebagai hiburan berakhir dalam kuburan modernitas.

Pemikiran Pramoedya

Melalui artikel berjudul "Defenisi dan Keindahan dalam Kesusasteraan" 1952, Pramoedya menolak nilai sastra demi keindahan semata. Keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme lebih penting bagi manusia ketimbang keindahan (Scherer, 2019).

Perempuan dan (jatuh) cinta adalah anonimitas yang kerap menjadi bahan cerita dalam penulisan sastra dari zaman ke zaman. Dan adat-tradisi menjadi pilihan konflik untuk membenturkan serta meretakan hubungan para tokoh.

Hal ini sangat berbeda dengan peletakan pikiran Pramoedya. Pramoedya menggunakan perempuan sebagai sumber keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, bahkan idealisme. Annelies yang menjadi korban kepemilikan tanah warisan menjadi bukti perwujudan ketidakadilan. Si Gadis Pantai tercerabut dari akar kebudayaannya sebagai perempuan nelayan setelah dibawa pergi Tuan tanah feodal. Ang Sang Mei dengan idealisme memperjuangkan cita-cita angkatan muda Tiongkok.

Semua itu bukanlah imajinasi absurd. Sebagai seorang yang idealis terhadap realisme sosialis, Pramoedya mengungkap realitas melalui sastra dan menjadikan perempuan sebagai sumber revolusi di bawah kengerian zaman kolonialisme.

Melalui esai "Kesusasteraan dan Perdjuangan" 1952, Pramoedya mengatakan karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup (Scherer, 2019). Penderitaan dan perjuangan, sekali lagi bukan imajinasi absurd, atau mengada-adakan. Pramoedya menulis dengan inspirasi atas pengamatan realitas.

Untuk mengamati, Pramoedya menyarankan gagasan "Turba" (turun ke bawah) yang merupakan cara untuk menuliskan karya-karyanya.

Para penulis, terutama penulis sastra harus turun ke desa, ke kota, ke tengah-tengah masyarakat dan berbaur agar mengetahui bagaimana penderitaan dan perjuangan mereka dan munculkan dalam karya sastra. Dengan begitu karya sastra bukan saja berlaku hari ini, tetapi hidup di masa akan datang dan menjadi dokumen sejarah.

Pramoedya bahkan Turba pada kehidupannya sendiri. Dalam kumpulan cerpen berjudul "Cerita Dari Blora" Pramoedya tidak sekedar menceritakan situasi dan kondisi Blora sebagai tanah kelahirannya,

Ia juga menceritakan latar belakang kehidupan keluarganya. Dan kehidupan itu tentu disertai penderitaan dan perjuangan yang realistis sesuai ideologi yang diyakini: realisme sosialis.

Karena menulis dengan latar dan peristiwa kedaerahan di Indonesia, Pramoedya disebut sebagai  penulis primitif, dan ini diakui Pramoedya dalam esai berjudul "Lahir Sebuah Tjerita Pendek" 1956. Penulis primitif konsisten pada kepentingan rakyat, memunculkan penderitaan, perjuangan, bahkan kearifan bangsa.

Bagi Pramoedya, menulis dan kreativitas sastra adalah pengalaman mistis. Pengalaman mistis adalah pengalaman batin yang muncul secara spontan ketika ditumpahkan dalam tulisan.

Pangalaman mistis mendahului pikiran. Ia muncul membawa situasi, posisi, dan kondisi dalam cerita-cerita. Sastra dengan pengalaman mistis tidak mementingkan kualitas, melainkan tujuan.

Sastra sebagai medium untuk berbicara keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme merupakan misi progresif di zaman modern. Misi itu harus melampaui keindahan. Sastra harus mampu memunculkan penderitaan dan perjuangan manusia.

Penting untuk penulis sastra adalah melakukan Turba agar tubuh sastra tidak sekedar imajinasi absurd untuk di isi, melainkan imajinasi realis yang berisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun