Kebijakan harus dilandasi kajian secara holistik jika ingin Indonesia tidak terjun bebas dalam resesi
Hampir setahun masyarakat menikmati hasil putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan  kenaikan iuran Bantuan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Awalnya Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Secara mengejutkan, Pemerintah malah menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Beleid ini sontak membuat rakyat 'jantungan' karenannya. Terutama bagi rakyat kecil yang kesulitan ekonomi setelah dihantam pandemi virus corona atau Covid-19.
Pemerintah mengklaim dasar perpres itu 'bangkit dari kubur', salah satunya adalah untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Banyak kalangan menilai kebijakan ini memberatkan rakyat. Namun dipihak lain, penerbitan perpres masih berada dalam koridor putusan MA.
Sekilas perjalanan beleid ini, pada tahun 2018 Jokowi menandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Adapun desaran iuran BPJS Kesehatan yang dibayar peserta kelas I sebenar Rp 80.000, kelas II sebesar Rp 51.000, dan kelas III sebesar Rp 25.500.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah kemudian melalukan penyesuaian iuran melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Saat ini besarasan yang dibayar peserta kelas I sebesar Rp 160.000, kelas II sebesar Rp 110.000 dan kelas III sebesar Rp 42.000.
Tingginya nominal yang dibayar para peserta ini didugat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI). Akhirnya gugatan itu dikabulkan dan nominal besaran iuran BPJS Kesehatan kembali pada formasi Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Tapi ada perpes baru ini, tampaknya KPCDI akan kembali menggugat perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).
Hasil dari gugatan itu, dalam putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020, pemerintah disodorkan tiga opsi untuk menindaklanjuti pembatasan itu, yakni mencabut, mengubah, atau melaksanakannya. Tampak saat ini pemerintah memilih opsi mengubah. Perubahan itu tampak pada peserta mandiri kelas I dan kelas II yang dimulai pada Juli 2020 mendatang. Kemudian bagi kelas III mandiri mendapat subsidi dari pemerintah.
Secara rinci, perubahan iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, lebih rendah dari saat ini Rp80.000. Kemudian Iuran peserta mandiri kelas II meningkat hampir setengah dari nominal iuran yang dibayarkan saat ini, yakni naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000. Iuran juga naik bagi peserta mandiri kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun peserta mandiri kelas III sedikit lega karena pemerintah pemerintah memberi subsidi Rp16.500. Sehingga yang dibayarkan masih tetap Rp 25.500. Itu artinya, beban iuran setiap bulannya tidak mengganggu porsi pemenuhan kebutuhan sehari-hari rakyat kecil.