Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah bangunan monumental yang berdiri megah di jantung Kota Banda Aceh, menjadi saksi perjalanan panjang sejarah, budaya, agama, dan perjuangan rakyat Aceh sejak berabad-abad silam. Sejarah masjid ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan spiritualitas masyarakat Aceh, sebab keberadaannya mencerminkan betapa erat hubungan antara Islam dengan identitas orang Aceh. Sejak awal berdirinya pada masa Sultan Iskandar Muda di awal abad ke-17, masjid ini telah menjadi pusat kegiatan keagamaan, pusat ilmu pengetahuan, hingga simbol perlawanan terhadap penjajah. Hingga kini, masjid tersebut masih berdiri kokoh, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ikon peradaban Islam di Nusantara yang mendunia.
Awal mula berdirinya Masjid Raya Baiturrahman terjadi pada tahun 1612, ketika Sultan Iskandar Muda memerintah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa itu, Aceh berada pada puncak kejayaannya sebagai pusat perdagangan sekaligus pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Letaknya yang strategis di ujung barat Nusantara membuat Aceh menjadi gerbang masuk para pedagang dari India, Arab, hingga Eropa. Kejayaan ekonomi itu berjalan seiring dengan berkembangnya ilmu agama. Sultan Iskandar Muda, yang dikenal sebagai raja besar, membangun Masjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai tempat shalat berjamaah, tetapi juga sebagai pusat pengajaran agama, tempat berkumpulnya para ulama, dan ruang musyawarah kerajaan. Masjid ini menjadi lambang bahwa Kesultanan Aceh berpegang teguh pada syariat Islam dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan sosial.
Pada masa itu, arsitektur masjid masih kental dengan ciri khas Nusantara. Atapnya berbentuk tumpang yang menjulang bertingkat, mirip dengan masjid tradisional lain di Jawa atau Sumatra. Masjid tersebut dihiasi ukiran kayu, tiang-tiang besar, serta halaman luas yang mampu menampung ribuan jamaah. Dari dalamnya, para ulama besar Aceh mengajarkan tafsir, fikih, hadis, dan tasawuf. Bahkan beberapa tokoh Islam terkenal seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili diduga pernah mengajar dan berkhutbah di masjid ini. Dengan demikian, Masjid Raya Baiturrahman bukan hanya sekadar bangunan ibadah, melainkan juga pusat lahirnya pemikiran Islam di kawasan Asia Tenggara.
Namun perjalanan panjang masjid ini tidak selalu berjalan mulus. Ketika Kesultanan Aceh mulai melemah pada abad ke-19, Belanda melihat peluang untuk menguasai Aceh. Perang Aceh yang pecah pada tahun 1873 menjadi salah satu perang terlama dalam sejarah kolonial di Indonesia. Dalam penyerangan pertama ke Banda Aceh pada April 1873, pasukan Belanda menjadikan Masjid Raya Baiturrahman sebagai salah satu target. Masjid yang kala itu berdiri megah sebagai simbol Islam dan identitas rakyat Aceh dibakar hingga rata dengan tanah. Kehancuran itu menimbulkan duka dan amarah yang mendalam di hati masyarakat Aceh. Mereka merasa bukan hanya rumah Allah yang dihancurkan, tetapi juga simbol kehormatan dan martabat mereka. Akibatnya, perlawanan rakyat Aceh semakin berkobar dan Perang Aceh menjadi salah satu peperangan paling sengit yang pernah dihadapi Belanda di Nusantara.
Belanda menyadari bahwa penghancuran masjid justru membuat rakyat Aceh semakin bersatu melawan mereka. Maka, pada tahun 1879, Belanda memutuskan untuk membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Pembangunan ulang itu dilakukan bukan semata-mata untuk menggantikan bangunan lama, tetapi juga sebagai strategi politik untuk meredakan amarah rakyat dan menunjukkan bahwa Belanda peduli pada simbol keislaman Aceh. Namun, pada awalnya masyarakat Aceh menolak masjid yang dibangun Belanda karena menganggapnya bukan lagi masjid peninggalan leluhur mereka, melainkan simbol kekuasaan kolonial. Seiring berjalannya waktu, pandangan itu mulai berubah, terutama ketika masjid tersebut semakin indah dan kokoh, hingga akhirnya kembali diterima sebagai rumah Allah yang layak dimuliakan.
Arsitektur masjid yang dibangun Belanda berbeda jauh dengan masjid aslinya. Belanda mengadopsi gaya arsitektur Mughal yang terinspirasi dari India, dengan kubah besar berwarna hitam dan menara yang menjulang tinggi. Pada awal pembangunannya, masjid hanya memiliki satu kubah. Namun dalam beberapa dekade kemudian, dilakukan berbagai renovasi besar sehingga jumlah kubah bertambah menjadi tujuh. Kubah-kubah itu terbuat dari bahan berkualitas tinggi dengan desain megah yang memancarkan keindahan. Sejak saat itu, wajah Masjid Raya Baiturrahman berubah total dari masjid tradisional Nusantara menjadi masjid bergaya Timur Tengah-India, menjadikannya berbeda dari kebanyakan masjid di Indonesia.
Seiring waktu, Masjid Raya Baiturrahman terus mengalami perkembangan. Pada abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melakukan perbaikan dan perluasan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah daerah Aceh bersama masyarakat juga melakukan berbagai renovasi besar. Salah satu renovasi penting terjadi pada era 1990-an, ketika kapasitas masjid diperluas agar dapat menampung lebih banyak jamaah. Halaman masjid dipercantik dengan kolam air mancur, taman, dan lantai marmer yang berkilau. Perubahan itu membuat masjid semakin megah dan menjadi salah satu ikon arsitektur Islam modern di Asia Tenggara.
Masjid Raya Baiturrahman bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga pusat kehidupan masyarakat Aceh. Di dalamnya berlangsung berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari shalat berjamaah, pengajian, tabligh akbar, hingga acara keagamaan besar seperti Maulid Nabi, Isra Mi'raj, dan peringatan 1 Muharram. Masjid ini juga menjadi tempat pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bermusyawarah. Banyak pula wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang datang untuk menyaksikan keindahan arsitektur masjid dan merasakan atmosfer religius yang khas. Keberadaan masjid ini telah menjadikan Banda Aceh sebagai destinasi wisata religi yang mendunia.
Namun kisah paling menyentuh dari masjid ini terjadi pada 26 Desember 2004. Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia memicu gelombang tsunami raksasa yang melanda Aceh dan menewaskan ratusan ribu orang. Kota Banda Aceh luluh lantak, rumah-rumah hancur, dan ribuan jenazah bergelimpangan di jalanan. Di tengah kehancuran itu, Masjid Raya Baiturrahman berdiri kokoh. Air tsunami memang masuk ke halaman masjid, tetapi bangunan utamanya tetap utuh. Ribuan orang yang saat itu berlindung di dalam masjid berhasil selamat. Kejadian itu menimbulkan kesan mendalam di hati masyarakat Aceh. Mereka percaya bahwa masjid ini telah dilindungi Allah, menjadi bukti kebesaran-Nya di tengah bencana yang begitu dahsyat. Sejak itu, Masjid Raya Baiturrahman semakin dipandang bukan hanya sebagai simbol sejarah, melainkan juga simbol spiritual yang memberi harapan.
Pasca-tsunami, masjid ini semakin diperhatikan baik oleh pemerintah maupun komunitas internasional. Renovasi dan pemugaran dilakukan untuk memperindah masjid tanpa mengubah bentuk aslinya. Halaman masjid kini dilengkapi dengan payung raksasa seperti yang ada di Masjid Nabawi di Madinah, sehingga menambah kenyamanan jamaah saat beribadah. Lampu-lampu megah, ukiran marmer, serta tata ruang yang modern semakin menambah keindahan masjid. Masjid ini tidak hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga pusat wisata religi yang menyedot perhatian dunia. Setiap orang yang datang ke Aceh hampir pasti menyempatkan diri singgah ke Masjid Raya Baiturrahman untuk shalat, berdoa, atau sekadar menikmati keindahannya.